2. Moving out

3.2K 344 37
                                    

Wkwkwk minta maap banget aku malah up cerita yang ini bukannya Suga, tapi aku hari ini ga ada kegiatan dan rencananya emg nulis Suga wkwkwkwk. Pokoknya abis ini aku update Suga deh soalnya idenya numpuk blm aku tulis2.
Enjoy reading ya, jangan lupa follow ig kita @anindyamin ya gaessss....


Aku adalah tipikal anak manja yang tidak pernah berpisah oleh orangtua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Aku adalah tipikal anak manja yang tidak pernah berpisah oleh orangtua. Dari sekolah dasar sampai kuliah aku lakukan pulang pergi dari rumah orang tuaku sejauh apapun itu. Ibuku menangis sejadi-jadinya ketika mengantarkan aku ke bandara untuk ikut pergi bersama Jimin, masih ingat dalam ingatanku bagaimana dia memukul pundak Jimin dan mengatai Jimin tega membawa lari putrinya. Padahal dia yang paling semangat ketika tahu calon suamiku mapan dan dari keluarga berada.

Dia tidak memikirkan resiko dari aku menikahi Jimin, artinya aku ikut dimanapun Jimin mengembangkan bisnis.

Usai resepsi Jimin memang tidak punya waktu banyak karena dikejar deadline, jadi tidak sampai 3 hari kami beristrirahat di hotel tempat kami resepsi, kami langsung berangkat.

Seperti biasa aku awalnya menawarkan Jimin solusi agar dia berangkat saja duluan, biar aku menyusul setelah mantap untuk pergi, aku juga rencananya ingin bertemu teman-temanku dulu sebagai perpisahan,

Seperti biasa juga jimin menolak, alasannya karena dia ingin aku cepat beradaptasi di lingkunganku yang baru disana nanti, dia juga bilang jangan terlalu memikirkan akan rindu rumah karena dia berjanji akan membolehkanku mengunjungi Seoul kapanpun aku ingin.

Ibuku sudah histeris sejak aku mempack barang-barangku yang sedikit itu untuk dikirim duluan ke penthouse Jimin di China, wajar saja, aku anak perempuan satu-satunya. Kudengar sampai sekarang ibu masih sulit makan walau sudah hari ketujuh aku pindah dari rumah. Memikirkan ibu yang masih tidak nafsu makan membuatku cukup sedih.


"Kau memasak sesuatu?" tanya jimin yang datang dari arah kamar wardrobe, ia berjalan sambil mengaitkan kancing di lengan bajunya dan menyampirkan dasi di pundak.

"Nasi goreng untukku dan waffles untukmu." aku menyodorkan piring berisi waffles kehadapannya yang sudah duduk di atas meja makan yang terhubung dengan kitchen set tempat aku memasak.

Jimin bilang dia tidak biasa makan makanan berat di pagi hari, tapi sejak menikah denganku dia mencoba merubah kebiasaanya. Aku membiasakannya pergi dengan perut berisi, dimulai dengan buah untuknya sarapan, telur dadar sampai hari ini waffles. Dia selalu sibuk berkerja dan aku ingin setidaknya dia makan sesuatu, bukan hanya kopi hitam di pagi hari.

"Kau sungguh tidak perlu melakukan ini." ucapnya menatapku yang masih sibuk menuangkan jus jeruk segar untuknya. Aku biasanya makan setelah semua hidangan Jimin lengkap di meja.

"Melakukan apa?"

"Memasak untukku, kita bisa menyewa orang untuk itu."

"Aku biasa menyiapkan sarapan dirumahku dulu kok." jawabku seadanya sambil mulai melahap nasi gorengku.

Jimin menghela nafas, "Kau bahkan repot-repot membuatkan dua hidangan berbeda. Besok beri saja aku apapun yang kau masak."

Aku memerhatikan ekspresinya ketika menyuapkan waffle buatanku, aku sudah lama tidak membuat itu, aku takut rasanya tidak enak karena komposisinya kurubah menyesuaikan yang ada di kulkas saja.

"Aku akan mencari orang yang bisa berkerja untukmu secepatnya." lanjutnya.

"Tidak perlu, aku butuh kegiatan agar tidak bosan... Lagi pula aku belum bisa bahasa Mandarin." Jimin memang memasukkan ku ke kelas bahasa Mandarin, kelasnya berlangsung secara private lewat video meeting dan dilakukan dari rumah.

Aku berencana melanjutkan kuliahku disini, maka sampai aku bisa bahasa Mandarin, tidak banyak yang bisa kulakukan. Sekedar nonton TV saja tidak bisa karena tidak mengerti bahasanya.

Jimin kemudian menatapku dengan ekspresi prihatin, dia pernah mengatakan kalau dia merasa bersalah telah membuatku meninggalkan keluarga dan teman-temanku di Korea, dia bilang padaku agar bertahan sampai aku bisa menemukan kegiatan yang bisa kulakukan agar tidak selalu kepikiran rumah, terutama ibuku.

Bagian memikirkan ibuku, aku setuju itu hal yang cukup membebaniku. Tapi bagian tidak ada kegiatan? itu adalah hal yang sedang kunikmati sepenuhnya saat ini.

Aku menamatkan 2 series netflix yang di Korea tidak sempat aku tonton. Aku mandi busa dalam jacuzzi setiap hari selama satu jam, kulitku tak pernah selembab ini. Aku memasak makanan sehat karena banyak waktu dan memiliki dapurku sendiri disini. Aku juga tidur siang dengan tirai blackout yang membuat kamar menjadi gelap gulita tidak ada cahaya masuk.

Singkatnya, aku sedang menikmati jadi nyonya muda istri pengusaha.

"Aku usahakan pulang sebelum larut." kata Jimin ketika aku mengantarkannya sampai ke depan pintu untuk pergi berkerja.

"Tidak usah dipikirkan."

Aku melambai padanya yang masuk lift sampai pintunya tertutup. Aku tahu situasi ini cukup canggung, tapi aku membiasakan diri untuk membangun kegiatan-kegiatan yang sekiranya bisa mempererat hubunganku dengannya.

Jimin sangat sibuk, usahaku untuk menjadi dekat dengannya hanyalah disaat dia hendak pergi kerja dan saat menyambutnya pulang, makanya aku selalu mati-matian kerja keras di dua waktu tersebut. Biasanya sih kalau Jimin sudah pergi aku lanjut tidur lagi, atau nonton netflix sambil ngemil seperti pengangguran beban keluarga pada umumnya. Lanjut berbersih penampilan kalau sudah dekat waktu Jimin pulang saja.

Saking sibuknya, kami belum pernah melakukan 'itu'. Memangsih kami baru menikah kurang dari 2 minggu, tapi bukannya hal itu dilakukan ketika malam pertama ya? aku makin khawatir ketika sampai di sini pun tidak terlihat gelagat Jimin hendak menyentuhku.

Bagaimana kalau dia sebenarnya gay? dan menikahiku hanya sebagai kedok?

Tapi Jimin pernah pacaran dengan perempuan kok, aku dengar dari Jisung kalau mantan pacar Jimin itu  orang korea yang sama-sama berkuliah di Standford.

Tapi aku makin khawatir, bagaimana kalau selera Jimin adalah wanita cerdas yang bisa merangsang pikirannya, jadi dia tidak bernafsu padaku???

Tidak memiliki kegiatan memang memancingku untuk memikirkan hal yang sangat jauh, yang paling sering sih aku berpikir bagaimana hariku seharusnya saat ini kalau tidak menikah dengan Jimin.

Aku melihat jam dan berkata, 'biasanya aku sedang menunggu bus untuk kekampus jam segini.' atau 'biasanya aku makan-makan bersama teman kampusku di kedai pastrie jam segini.'

Dibandingkan kegiatanku dulu, kegiatanku sekarang sangat berbeda. Aku seperti hidup hanya untuk Jimin, aku bangun pagi dan menyiapkan keperluan Jimin, lalu setelah Jimin pergi kerjaanku yang tersisa adalah bersiap untuk menyambut Jimin pulang kerja.

Aku sebenarnya rindu rumah juga, aku rindu jalanan padat Seoul juga rumahku yang berisik. Disini rasanya terlalu sepi.

Mungkin rasanya akan sedikit terobati kalau aku punya anak kelak. Tapi sampai sekarangpun Jimin terlihat seperti belum tertarik untuk menyentuhku.

Padahal aku menjalani rangkaian perawatan pengantin yang membuat tubuhku lebih mulus dari sebelumnya, aku juga melanjutkan perawatan itu sendiri sampai kesini untuk jaga-jaga, jadi kapanpun Jimin merasa ingin melakukan 'itu' aku sudah siap luar dalam.

Tapi sepertinya aku tidak semenarik itu bagi Jimin,

Mungkin Jimin menikahiku karena aku dianggapnya mau diajak pindah dan tidak banyak menuntut, disisi lain ibunya juga menerimaku sehingga Jimin tidak perlu repot-repot memikirkan restu dari orang tuanya.

Wajar saja dia selalu terlihat merasa bersalah ketika melihatku...

Dia merasa bersalah karena tidak mencintaiku tapi merenggut semuanya dari hidupku.






To be continued😌✨

Brave Things (PJM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang