🌿Part 9: Terlambat

65 13 0
                                    

Alishba Izma

Pernah membaca di dinding perpustakaan. Intinya, memiliki seribu teman masih terbilang kurang. Tetapi memiliki satu musuh terbilang banyak. Namun apakah kata-kata itu berguna untukku? Satu teman pun tak mau mendekat.

Aku pernah berpikir tentang alasan teman-temanku menjauhiku. Alasannya simple, karena aku sering menjadi perhatian guru. Padahal aku sendiri tak mencari muka di depan guru. Aku hanya melakukan apa yang di suruh oleh guru. Tidak lebih.

"Absen belum di ambil?" tanyaku pada teman sekelas. Namun satu pun tidak ada yang menjawab. Hingga akhirnya ada anak laki-laki yang menjawab pertanyaanku.

"Belum kayaknya. Ambil, gih!"

"Tapi udah jam masuk lho ini."

"Kayaknya gurunya telat deh! Ambil aja dulu daripada nanti gurunya masuk ga ada absen."

Meskipun ini bukan jadwal piketku. Namun aku tak keberatan mengambil absen di ruang piket. Bagiku yang penting gak merugikan gak masalah.

"Piket kamu kan kemarin? Ngapain ambil absen? Biar yang piket hari ini aja lah!"

"Sekalian jalan-jalan," jawabku ringan.

Benar, jalan-jalan. Turun tangga lanjut ke ruang piket melewati aula, ampliteater, lapangan basket, halaman utama itu termasuk jalan-jalan kan?

Kelasku sebenarnya tidak berada di ujung sekolah. Tapi juga termasuk jauh dari ruang piket yang berjajar dengan ruang guru.

Di depan ruang piket netraku menangkap dua lelaki yang tidak asing. Kak Azhar dan kak Haqi. Dua lelaki itu sedang di introgasi oleh guru yang cukup familiar di sekolah ini. Guru yang cukup ditakuti siswa-siswi seantero sekolah karena termasuk tim tata tertib.

"Haqi ... Haqi! Gara-gara kamu deket Azhar jadi ketularan biang masalah di sekolah. Prestasi kamu sudah bagus malah kena poin. Kamu itu salah satu contoh yang bagus di sekolah. Malah terlambat!"

"Kalo si Azhar prestasi sama poin seimbang. Udah gak heran kalo poinnya numpuk."

Dua lelaki itu diam tak bersuara. Kepalanya menunduk dan tak berani menoleh sedikit pun. Bahkan mereka tak mengetahui jika aku melihat mereka.

"Kamu juga! Mau koleksi berapa poin? Poin kamu udah numpuk lho, Har! Sekarang malah bawa-bawa temen pula!"

Mungkin efek langganan BK, sampai guru ingat seberapa banyak poinnya. Padahal kak Azhar sendiri gak mengingat jumlah poinnya. Ya karena kurang kerjaan mengingat poin.

Setauku poin dan prestasi hanya selisih sedikit. Di samping poinnya yang hampir mendekati full. Prestasinya di kelas dan ekstra juga bagus.

Dia sepertinya gak heran jika orang tuanya sering dipanggil ke sekolah. Ada yang memang murni kesalahannya. Ada yang tidak sepenuhnya salah. Karena terkadang dia lepas kendali. Berniat menolong, malah dia yang kena yang kena imbasnya.

Itu sih hanya info dari temen sekelas. Cuma denger aja waktu mereka cerita. Bukannya nguping. Tapi mereka yang cerita terlalu keras.

Aku segera masuk ke dalam ruang piket untuk mengambil absen. Setelah aku keluar dari ruang piket dua lelaki itu sudah tidak ada di tempatnya.

"Sorry, Har! Gara-gara gue lo juga kena imbasnya," sesal kak Haqi.

Nah! Seperti kali ini. Aku gak berniat nguping. Tapi tetep kedengaran. Jelas malahan.

"Apaan sih lo? Santai aja lah! Udah biasa kena poin."

"Ya tapi kan tetep aja gara-gara lo bantu benerin motor gue, poin lo jadi tambah."

"Sejak kapan sih lo jadi ngerasa bersalah kayak gini? Sama temen sendiri ga masalah. Udah lah! Ayo cepet ke halaman utama!"

Mendengar itu terbesit rasa kagum dalam diriku. Ngeselin kayak gitu juga masih punya hati yang baik. Tapi bagiku tetep banyak ngeselinnya.

____

Azhar Dzuhairi

Mungkin nasib sial sedang menghampiri aku dan Haqi. Bisa dikatakan sial yang beruntun.

Awalnya ban motor milik Haqi bocor. Aku yang kebetulan lewat tentu menolongnya. Ya kali mana tega temen sendiri lagi kesusahan di biarin gitu aja.

Aku menemani Haqi ke bengkel terlebih dahulu. Motornya di tinggal di bengkel. Alhamdulillah kalo bengkelnya deket. Bengkelnya jauh pula. Ya tau sendiri lah.  Sedikit bengkel yang buka di jam setengah tujuh. Dan akhirnya kita berdua berakhir kena hukuman.

Karena aku sudah menjadi langganan BK. Maka dari itu aku yang di anggap salah. Padahal aku hanya membantu teman sendiri. Tapi biarlah! Itung-itung melindungi temen.

"Izma!"

Bukannya apa-apa nih. Denger orang manggil nama Izma langsung membuatku menoleh mencari keberadaannya. Dan ternyata memang dia tidak jauh dari tempatku berdiri.

"Jam pertama pelajaran Ibu di kelas kamu kan?"

"Iya, Bu."

"Tolong beritahu teman-teman kamu. Langsung ke laboratorium fisika aja. Ibu tunggu di sana ya."

Izma pergi begitu saja. Mungkin untuk menyampaikan amanah guru fisika tersebut. Namun aku rasa dia cukup mendengar percakapanku dengan Haqi. Ah biarlah!

Namanya juga punya banyak fans. Bersih-bersih halaman aja jadi pusat perhatian dong! Apalagi ada beberapa kelas yang jam kosong. Makin jadi incaran aku.

Bukannya kepedean ya. Tapi mereka sampai ngintip dati jendela. Buat apa coba kalo bukan lihatin orang bersih-bersih. Hahaha!

Tak sedikit orang yang menyapaku dan Haqi. Kalo tampan ya gini. Di hukum aja masih tetap tampan. Dan itu kebanyakan cewek.

"Semangat kak!

"Semangat kak Azhar! Kak Haqi!"

Aku dan Haqi tak segan menjawab sapaan mereka. Parasku yang terbilang tampan sama sekali tak pudar meskipun menjumputi sampah.

"Gak mau ikut-ikutan semangatin?" tanyaku kala Izma melewatinya. Padahal dia sama sekali tak melihat ke arahku. Atau mungkin pura-pura tidak tau.

"Kalo kamu yang semangatin, jadi ekstra semangat nanti si Azhar," tambah Haqi menimpali.

"Semangat kak Haqi!" ujar Izma menyemangati. Emang ngeselin tuh cewek! Yang minta disemangatin aku. Malah nyemangatin Haqi.

"Yang minta disemangatin aku! Bukan Haqi!" protesku.

Namun sayangnya Izma sudah pergi menjauh. Tentu membuatku kesal. Haqi justru tertawa penuh kemenangan.

"Mungkin dia salah satu fans-ku," celetuk Haqi asal. Padahal dia tau dengan jelas. Jika itu sama sekali tidak benar.

"Sialan, lo!"

"Buktinya tadi Izma nyemangatin gue. Bukan lo!"

"Tau ah! Nikung temen sendiri, lo!"

Mengabaikan adu mulut. Aku memilih melanjutkan pekerjaanku membersihkan sampah. Meskipun aku tau jika aku sekarang menjadi pusat perhatian. Tapi tanpa rasa malu menjalankan hukumannya. Selain menjalankan hukuman, kan lumayan dapat free di jam pertama.

"Bang! Itu sampahnya masih banyak lho! Itu masih ada. Di sana juga masih ada!" celetuk Abizar padaku dan Haqi.

"Daripada cuma nunjuk mending bantuin sini!" balasku geregetan.

"Eh! Ga mau dong!" cetus Abizar lari menjauhiku. Namun pria itu kembali lagi menghampiri Azhar dan Haqi.

"Bang nitip ya!" ujarnya memberikan bungkus makanan dihadapanku. Sedetik kemudian sudah lari dari hadapanku. Padahal jelas-jelas ada tong sampah di dekatnya. Emang bikin cari gara-gara tuh anak.

"Lama-lama nih sepatu bisa melayang!"

"Ke siapa? Izma atau Abizar?"

"Abizar lah! Mana tega kalo ke Izma."

MaHar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang