🌿Part 25: Impian

29 3 0
                                    

Azhar Dzuhairi

"Kewajiban manusia untuk belajar ilmu agama itu seumur hidup. Tapi kalo sudah belajar ya diamalkan."

Mungkin itu secuil yang bisa ku ambil dari kajian di majlis ilmu malam ini. Kali ini membahas konsep ilmu dan amal. Di mana setiap orang Islam punya kewajiban menuntut ilmu agama dan punya kewajiban mengamalkan ilmu itu.

Mungkin ini sudah kali ketiga aku mengikuti kajian di masjid dekat rumah bunda Hasna. Entah dapat hidayah dari mana aku bisa menggiyakan ajakan bang Barra.

Acara ini diadakan setiap malam minggu dan malam selasa. Biasanya malam-malam seperti itu aku udah di rumah Aabid untuk nongkrong. Tapi tiga kali ini aku berangkat sebelum Maghrib ke rumah bunda Hasna. Sholat magrib di masjid dekat rumahnya sekaligus mengikuti kajian sampai adzan isya'. Dan langsung jamaah sholat isya' di sana.

Berhubung rumah bang Barra itu dekat dengan rumah bang Hamdan. Bang Hamdan dan om Burhan beserta istrinya juga ikut ke majlis tersebut. Jadilah aku sering bertemu mereka.

Tapi yang aku heran, Izma selalu tidak ikut. Padahal seluruh keluarganya ikut.

Ternyata ini memang kebiasaan warga sini. Kajian di masjid setiap malam minggu dan malam selasa. Tapi sayangnya tidak semua daerah seperti ini. Daerah rumahku tidak ada seperti ini. Jadilah aku setiap dua minggu sekali ke sini. Ya meskipun jaraknya cukup jauh sih.

Kembali ke topik.

Untuk kewajiban menuntut ilmu agama. Sepertinya aku masih terlalu jauh. Maka dari itu masih bodoh sekali aku.

Dan kayaknya emang ini waktunya aku belajar agama. Terlambat ga sih?

"Dari mana sih? Jam segini baru sampai?" gerutu Haqi melihat aku baru datang. Di sampingnya ada Ziya yang fokus pada ponsel milik Haqi.

"Dari rumah bang Barra. Ada perlu di sana."

Mereka memang ga tau jika aku sering ke rumah bang Barra untuk mengikuti kajian di masjid dekat rumahnya. Jika mereka tau, bisa-bisa aku ditertawakan. Sebenarnya juga ga masalah. Tapi malas aja ngasih tau.

"Bego! Ngapain Eira bawa Farah sih!?" geramku melihat Eira dan Farah berjalan mendekat.

Tanpa pamit aku langsung berlari ke belakang rumah Aabid. Biar pun gelap. Bodo amat. Malas gue ketemu Farah.

Segera ku kirim pesan ke Aabid. Sebisa mungkin Farah harus pergi dulu.

Cukup lama aku berada di belakang rumah Aabid. Menunggu mak lampir pergi dari sana. Dan begonya gue lupa kalo motorku ada di depan.

Setelah ku mendapat pesan jika Farah pergi. Aku baru berani keluar dari persembunyian.

"Ngapain sih lo bawa Farah ke sini!?" omelku pada Eira dan dia hanya tertawa. Bukan hanya dia. Tapi juga Aabid, Haqi dan Ziya.

"Lo takut banget ketemu Farah?" tanya Eira di sela tawanya.

"Malas gue ketemu mak lampir kayak ulet keket," jawabku. Aku mengambil kacang rebus yang disuguhkan. Menunggu Farah pergi capek sendiri.

"Ulet keket gitu cewek lo, Har!" cetus Haqi yang tentu membuat amarahku naik.

Spontan aku melempar kulit kacang ke arahnya.

Malas banget punya cewek kayak gitu!

"Har," panggil Ziya cukup lirih. Dan hanya ku balas lirikan.

"Lo sama Izma baik-baik aja kan?"

"Emang ada apa?" tanyaku serius.

"Lo akhir-akhir ini ga kayak biasanya. Kayak berubah gitu."

Aku akui. Aku mengikuti ucapan Izma. Aku membiarkan dia fokus ke olimpiade. Dan aku sendiri fokus ke turnamen yang akan diadakan dalam waktu dekat. Kali ini tingkat provinsi. Untuk pertama kalinya SMA ini lolos ke tingkat provinsi. Dan ada harapan besar di dalamnya.

Izma yang awalnya ku harapkan menjadi support system pribadi. Dan ternyata dia menginginkan untuk fokus ke impian sendiri. Aku pun menggiyakannya.

Terlebih lagi. Setelah tiga kali aku mengikuti kajian bersama bang Barra. Aku menjadi sadar. Keputusan yang diambil Izma itu yang terbaik.

"Berubah gimana sih? Gue ya tetep sama kali."

"Lo akhir-akhir ini kayak ga peduli sama Izma. Bahkan Izma lewat aja, lo udah ga peduli," tutur Ziya.

"Dan kayaknya lo ga tau kalo dia lolos olimpiade kimia tingkat provinsi," sahut Aabid.

Aku bersyukur sekali. Dia meraih impiannya. Keinginannya sudah berhasil. Dan aku yakin, orang seperti Izma pasti punya planning untuk maju ke tingkat nasional.

"Alhamdulillah dong kalo dia jadi juara olimpiade. Terus masalahnya di mana?"

Haqi tiba-tiba merangkul pundakku. "Lo ada masalah apa?"

"Apaan sih? Ga ada apa-apa," balasku.

"Lo untuk fokus ke turnamen ga sampe segininya biasanya. Pramuka juga ga lagi ada masalah."

"Lo beneran ga mau ngikutin saran dari kita waktu itu? Tembak di tempat umum?"

Yang ada malah kayak aku yang membuat dia malu.

Ucapan yang dari bang Barra kembali terngiang di kepalaku. Gue merasa jadi orang terjahat jika tetap memaksanya menjadi pacar.

"Engga. Kalian ga perlu mikirin kejombloan gue. Gue udah nyaman sama diri gue sendiri."

Gue udah nyaman dengan kebiasaan dua kali seminggu ke rumah bang Barra untuk mengikuti acara di majlis ilmu itu. Meskipun rumahnya dekat dengan rumah Izma. Tapi ga pernah sekalipun kepikiran untuk mampir ke rumahnya.

Dia juga tidak mengikuti kajian itu. Yang ada aku malah lebih dekat dengan bang Hamdan dan om Burhan. Ditambah lagi dapat ilmu banyak dari beliau.

"Jangan bilang lo suka cewek lain. Bukan mak lampir itu kan?" tanya Eira yang ku balas dengan cepat.

"Ga!"

"Lo gagal dari Izma kayaknya bisa dapatin Farah dengan mudah," tambah Aabid.

Gue udah ga peduli ocehan mereka. Masa bodoh kalo udah bahas Farah ataupun fans gue yang seabrek itu.

Bukannya sombong. Tapi kenyataan. Dari fans yang seabrek itu yang paling berani ya Farah. Dan mereka pun pada takut sama Farah.

Jika fans Aabid dan Haqi ga berani mendekat karena udah ada Ziya dan Eira.

Tapi berbeda dengan fans Abidzar. Mereka ga berani mendekat karena Abidzar emang menegasi. Tapi Abidzar menghargai fans nya itu. Hanya saja, kalo ada yang lebih berani. Maka Abidzar yang langsung menegasi.

Ga tau bagaimana pemikiran anak itu. Kenapa menolak didekati wanita. Padahal fans nya ga seberani fansku.

Kayaknya itu gara-gara kelebihan ketampanan deh. Baru kali ini gue merasa good looking membawa masalah.

Tapi ku tetap bersyukur diberi kelebihan oleh Allah berupa ketampanan. Tapi setelah otak gue terkena siraman rohani. Gue merasa lebih beryukur ketika berada di dekat orang-orang yang sholih.

"Rencana lo kedepannya tetap jadiin Izma pacar?" tanya Haqi kembali topik awal. Padahal gue udah bersyukur mereka mengganti topik.

"Ga tau nanti."

Dia prinsipnya ga mau pacaran kan?

Tujuh tahun lagi lamar berarti boleh kan?

MaHar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang