🌿Part 20: Gudang

26 5 0
                                    

Azhar Dzuhairi

"Jadi kan traktirannya?" tanya Aabid melompat ke punggungku. Aku yang belum siap tentu sedikit oleng. Untung saja hidungku tidak sampai mencium tanah.

Capek-capek latihan basket. Langsung melompat aja ini anak.

Setelah hasil musyawarah ambalan kemarin, aku mendapat tugas untuk menjadi pradana.

Tanggung jawab besar itu berani aku ambil setelah pertimbangan cukup besar. Keputusan yang ku ambil untuk menjadi kandidat pradana sebenarnya bukan hanya karena Izma. Tapi juga karena ucapan bang Arshad. Dan setelah sholat istikharah, menjadi lebih yakin untuk maju menjadi kandidat pradana.

Aku sudah menduga kalo jabatan ini tidak setimpal dengan tanggung jawabnya. Kalo di luar sana memandang dari jabatannya dan popularitasnya. Maka itu salah besar. Tugas dan tanggung jawab jauh lebih besar dari jabatannya.

Dan singkat cerita, aku yang mendapat poling tertinggi. Untuk jabatan pradana putri didapat oleh Ziya.

"Traktir apaan? Ga ada traktiran."

"Haqi dah nungguin lho, Har!"

Pada dasarnya Aabid juga tidak menginginkan jabatan itu. Maka dari itu, dia kalah malah seneng. Dan aku yang susah.

Sekarang jam setengah lima. Masih mengenakan baju basket. Yakin langsung pergi nurutin Haqi sama Aabid. Sepertinya itu hal yang buruk.

Pulang sekolah jam tiga, itu sudah termasuk sholat ashar. Dan masih latihan basket. Ini mau mampir cari makan? Yang ada pulang isya'.

Berjalan menuju parkiran, ekor mataku tak sengaja melihat pria yang tak asing di mataku. Dan ternyata bang Hamdan.

"Turun woy! Ada calon ipar," titahku memukul pelan tangannya yang ada di leherku.

Protes Aabid pun tak ku hiraukan, aku mendekat ke bang Hamdan.

"Nungguin Izma, Bang?" tanyaku ketika sudah di dekatnya.

"Iya, lihat Izma ga?"

Jangankan lihat Izma, di jam segini sudah ga ada anak di sekolah. Hanya ada anak basket. Itu pun sudah buyar.

"Ga lihat, Bang. Sekolah aja dah sepi begini," jawabku membuat wajahnya cemas.

Sejujurnya aku juga cemas. Gak mungkin seorang Izma pulang sekolah langsung main. Tanpa izin pula.

"Ga pergi ke rumah Hana atau gimana gitu?" sahut Aabid.

"Ga bilang apa-apa. Tadi pagi cuma bilang untuk jemput kayak biasa. Dan tadi emang telat jemput. Tapi dari jam setengah empat sampai sekarang ga ada kabar itu anak," jawab bang Hamdan.

Fiks ini ada yang ga beres.

"Bid, lo hubungin Haqi. Kali aja ada acara jurnalis. Gue hubungin Hana."

Dengan cepat Aabid mengotak-atik ponselnya. Aku pun juga.

Tiba-tiba Abidzar pun menyalami bang Hamdan. Ternyata sudah kenal mereka. Kenal dekat malahan.

"Dzar! Di kelas ada tugas kelompok atau apa gitu? Kali aja kan kelompok," tanya Aabid setelah memutus sambungannya dengan Haqi.

Dan ga ada kabar tentang Izma sama sekali.

"Ga ada, Bang. Ga ada tugas kelompok dua minggu ini."

Otakku berpikir keras. Jika tidak ada tugas kelompok, tidak ada acara jurnalistik dan tidak ada di rumah Hana. Maka di mana?

Kelas? Tapi sekolah udah sepi.

"Bang, motornya taruh situ aja dulu. Kita cari ke dalam."

Padahal aku tau, sekolah udah kosong. Bahkan anak basket sudah pulang kecuali aku, Aabid dan Abidzar. Pelatihku pun juga sudah pulang.

MaHar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang