"Lo tuh emang luarnya aja ya yang lugu. Ternyata gatel sama kak Azhar," cecar Rania menghampiriku. Tentunya dengan dua teman di sisi kanan dan kirinya.
"Ha?" cengoku belum paham.
"Ga perlu sok polos. Ini apa?"
Dia menunjukkan sebuah foto melalui ponselnya. Lebih tepatnya fotoku dan kak Azhar ketika di kantin beberapa waktu lalu.
"Terus? Ngapain?"
Tangannya spontan ingin menamparku. Beruntung tanganku bergerak cepat menangkapnya.
Tipikal pemarah seperti ini sudah bisa ditebak gerak-geriknya.
"Perlu lo ketahui ya. Kalo lo suka sama kak Azhar. Sana deketin! Jangan cuma berani sama gue. Kalo ga tau apa-apa ga usah marah. Gue diem bukan berarti gue ga berani sama lo."
"Heh! Berani ya tangan kampungan lo sentuh tangan Rania! Turunin ga!?" Rena—teman Rania menyolot.
"Oke gue turunin," tuturku menurutinya. Maksudnya aku menurunkan tangannya dengan cara diputar. Bukan dilepaskan. Tentu saja yang punya tangan menjerit kesakitan.
"Heh! Lepasin!"
Aku pun melepaskannya.
"Tangan lo yang kampungan berani sentuh gue?" tanya Rania dengan nada alay. Asli, jijik dengernya.
"Apa lo bilang? Kampungan? Dari mana lo bisa simpulkan kalo Izma dari keluarga yang ga berada? Penampilan? Sikap? Bahkan attitude lo jauh di bawah Izma."
Itu bukan aku. Melainkan Abidzar. Dia baru datang dari luar. Dan langsung mendekat ke arah adu mulutku dengan Rania.
Dari sekian anak di dalam kelas. Ga ada yang berani lawan geng Rania. Dan ya, yang berani cuma Abidzar.
"Ya kamu liat aja sendiri penampilannya?" Rena yang terkenal suka dengan Abidzar, langsung bersuara.
Abidzar itu seperti kak Azhar. Sama-sama most wanted. Sama-sama dikejar banyak cewek. Bedanya, Abidzar menghindar dari semua cewek. Kak Azhar menghindar dari cewek yang terlalu gatal, terlalu narsis, dan terlalu alay.
"Yakin ga salah lihat lo? Sepertinya perlu periksa mata deh."
"Dzar! Awas sampe bocor!" peringatku pada Abidzar.
Dari sekian banyak siswa di sekolah ini. Hanya Abidzar yang tau latar belakang pekerjaan keluargaku. Bahkan kak Azhar pun ga tau. Abidzar sudah tau sejak awal. Karena dia teman bang Hamdan.
Lebih tepatnya teman mengaji dulu. Tapi sekarang bang Hamdan udah ga mengaji di tempat yang dulu, karena kuliah dan malamnya kerja.
"Aman!"
"Dzar! Lo apa-apaan sih ikut campur kayak gini. Ini permasalahan gue sama Izma," ucap Rania pada Abidzar. Dasarnya Rania emang takut sama Abidzar sih. Makanya ga berani bicara keras.
"Ya lo ngapa-ngapain Izma. Terus minta gue ga ikut campur gitu!?" Kali ini Abidzar menaikkan nada bicaranya.
"Sayang, jangan kayak gitu dong sama Rania," cetus Rena dengan nada alaynya.
"APA LO!!! SAYANG SAYANG! PALA LO PEYANG!!!" tegas Abidzar mampu menarik perhatian seisi kelas.
Baru kali ini aku lihat Abidzar seperti ini. Benar-benar terkena virusnya bang Hamdan kalo marah.
Dan jangan tanya Rena sekarang. Dia makin ketakutan.
Udah aku bilang kan. Abidzar kalo didekati cewek tuh tegas nolak. Dipanggil sayang aja udah kayak gitu.
Dengan lancang Abidzar melihat foto di ponsel Rania tadi. Ponselnya ada di atas meja. Dan tentu saja Abidzar bisa melihat.
"Lo marah ke Izma cuma karena ini?" tanya Abidzar mengangkat ponsel Rania.
"Gue kasih tau ya. Semua anak basket, anak pramuka, bahkan anak jurnalistik. Semua tau kalo bang Azhar itu suka sama Izma. Dan harusnya marahnya ke bang Azhar dong! Kenapa? Takut lo pada sama bang Azhar?"
"Udah ngefotoin diam-diam. Marah pula. Heh gue tau lo gangguin Izma, bahkan gangguin Hanna juga karena mereka deket sama bang Azhar. Heh! Lo ga tau Hanna siapa. Hanna itu adiknya bang Azhar!"
"Rasulullah kalo masih hidup mungkin malu punya umat modelan kayak kamu. Sekolah bukannya ngejar ilmu malah ngejar cowok!"
"Dan kalo lo masih ga percaya kalo yang deketin itu bang Azhar, bukan Izma. Nih buktinya."
Aku terkejut melihat Abidzar mengangkat cokelat yang dibungkus rapi dengan secarik kertas. Apa maksudnya?
"Ini dari bang Azhar. Lo ga pernah kan dikasih kayak ginian sama bang Azhar?"
"Jangan ngada-ngada, Dzar," lirihku pada Abidzar.
Bukannya aku ga percaya kalo itu dari kak Azhar. Percaya banget malah. Ini bukan kali pertama kak Azhar ngasih sesuatu. Udah terlampau sering. Tapi ga ada yang ku terima.
"Yakin kalo ini dari kak Azhar?"
Dengan tidak sopannya Rania mengambil cokelat itu dari tangan Abidzar. Tangannya lancang membuka surat.
"Kayak gini dari kak Azhar? Jangan ngada-ngada deh, Dzar!"
Rania menunjukkan isi surat itu. Benar-benar ga bisa dibaca.
"Nih!" cetusnya memberikan surat yang tak terbaca itu. "Emang cewek kampungan kayak lo bisa makan cokelat? Kayaknya ga bisa deh."
Dengan tidak tau diri Rania membawa pergi cokelat itu. Emang ga ada malu sih.
"Heh itu hak nya Izma! Woy!"
"Udah biarin aja, Dzar. Gue bisa beli cokelat sendiri. Kali aja dia yang ga pernah makan cokelat," cetusku membiarkan Rania membawa cokelat itu.
"Ya emang Rania yang kampungan sih!"
Aku memilih duduk. Mengabaikan seisi kelas yang sejak tadi memperhatikan perdebatan ini.
"Gratis ga pembelaan tadi?"
"Gratis kok. Udah jadi tanggung jawab gue juga," cetus Abidzar membuatku terkejut.
"Maksudnya?"
Seketika wajahnya berubah bingung. Sebenarnya apa yang dimaksud?
"Bang Hamdan nyuruh gue jagain lo," jawabnya. Tapi sepertinya itu mustahil. Bang Hamdan ga mungkin kayak gitu. Aku kenal pasti.
"Eh, gue baru sadar lo cocok jadi adiknya bang Hamdan," ujarnya mengalihkan pembicaraan.
"Emang selama ini ga cocok?"
"Ya cocok. Tapi sifat bang Hamdan yang pemberani baru ada dalam diri lo sekarang."
Bang Hamdan itu bukan hanya sekedar tegas. Tapi juga pemberani dan bisa bela diri. Tapi sepertinya sifatnya yang tegas malah nularnya ke Abidzar.
"Nih. Pasti belum ngerjain kan? Sebagai rasa terima kasih atas pembelaan."
Aku memberikan buku tugasku. Sebenarnya bukan karena rasa terimakasih. Lebih ke kasihan. Dia selama ini ngerjain pekerjaan rumah di sekolah bukan karena malas atau apa. Tapi karena dia sibuk. Selain latihan basket. Dia harus membantu ibunya jualan sampai malam. Makanya terkadang dia sekali ada pekerjaan rumah dikerjakan di sekolah saat itu juga. Tapi kalo ga selesai ya dikerjain sebelum masuk kayak gini.
"Kalo ini diterima. Sebenarnya udah ngerjain. Tapi belum selesai. Makasih."
Dia pun menerima bukuku dan mulai menulis. Ya karena mejanya ada di dekatku jadi ya mudah komunikasi.
Resiko bangku di perbatasan cowok cewek sih.
"Eh, Izma. Kata bang Azhar, cek ukuran kertas."
"Maksudnya?"
"Aku sendiri juga ga paham."
Aku pun mengabaikannya. Dan mulai kepo dengan isi surat itu. Kali aja kalo dari deket bisa kebaca. Nyatanya tetap ga bisa.
"Dzar! Paham?" tanyaku yang dibalas gelengan oleh Abidzar.
Ga paham maksudnya kak Azhar.
KAMU SEDANG MEMBACA
MaHar [END]
Teen FictionSekali ditolak udah menyerah? Azhar aja ditolak puluhan kali masih diperjuangkan? Karena baginya mengejar wanita cantik itu biasa. Tapi mengejar wanita berprinsip itu luar biasa. Apalagi cantik dan berprinsip. Izma, wanita yang tingginya kurang dari...