Azhar Dzuhairi
Betapa beruntungnya Allah menyayangiku. Menjauhkan diriku dari permasalahan pacaran yang begitu membingungkan.
Yang dapat masalah Aabid dan Eira. Yang bingung satu tongkrongan. Sebenarnya ini sudah hal biasa dalam hal tolong menolong. Tapi aku merasa tolong menolong dalam maksiat itu tidak diperbolehkan.
Mungkin dulu gue pikir adalah sistem kerjasama antar teman. Tapi sekarang ... gue merasa pemikiranku dulu perlu dibenahi.
"Lo gila apa gimana sih? Lo santai aja Eira kayak gitu?" cecar Haqi pada Aabid.
"Eira udah ga percaya lagi sama gue. Ya mau gimana lagi. Percuma juga gue jelasin panjang lebar kalo dia ga percaya."
Gue tau, kepercayaan adalah salah satu hal penting untuk sebuah hubungan. Hal itu selayaknya digunakan untuk hal pernikahan. Namun sepertinya hal itu sudah beralih ke perihal lainnya, pacaran misalnya.
"Ini pasti ada hal yang ga beres tentang Eira. Ga biasanya dia kayak gini," tambah Ziya.
Di waktu istirahat kayak gini. Biasanya kumpulnya berlima. Namun kali ini hanya berempat. Eira memilih untuk tidak bergabung.
Memang benar ya. Jika ada masalah dalam percintaan. Yang dulunya pertemanan menjadi renggang.
Netraku menangkap keberadaan Eira. Bersama wanita yang tidak asing untukku. Siapa lagi kalau bukan Izma.
Bahkan sampai saat ini, gue belum berhasil menghilangkan wanita itu dari pikiranku.
"Bid, cewek lo nangis tuh!" tuturku menyenggol lengan Aabid.
Spontan Ziya dan Haqi yang awalnya membelakangi posisi Izma dan Eira langsung mencari keberadaan mereka.
"Samperin, Bid!" titah Haqi yang diabaikan oleh sang empu.
"Ini orang dibantu malah kayak gini. Udah gue aja yang nyamperin." Eira langsung beranjak pergi.
Namun sepertinya usaha Ziya sia-sia.
"Bid, lo cuma diem aja?" tanya Haqi pada Aabid.
"Gue ke sana yang ada di usir sama Eira. Tau sendiri kalo lagi ngambek gimana?"
Tanpa berbasa-basi Haqi langsung menyeretku untuk ke meja Eira. Sialnya ku sulit untuk menetralisir hatiku. Ku berusaha menghindari Izma. Tapi malah ditarik untuk mendekat.
Biasanya gue bahagia kalo dekat Izma. Tapi setelah mengikuti saran Bang Barra. Ku jadi sadar jika itu ga baik. Dan kini ku berusaha menghindari. Tapi sulitnya minta ampun.
Kini gue duduk tepat di depan Izma. Ga punya pilihan lain selain diam. Berat memang, gue yang biasa banyak bicara dan posisi seperti ini memaksa gue untuk diam.
Sebenarnya hati ini berontak ingin menyuarakan lebih baik putus saja. Tapi masih didominasi rasa pertemanan. Munafik memang.
Pertemanan yang sudah terjalin bertahun-tahun. Dan saat ini gue sadar kalo temen gue berada di posisi yang salah. Namun mulut gue terbungkam untuk mengingatkannya.
Hingga Eira dan Izma pergi. Baru gue berani berbicara. Dan kali ini Aabid baru bergabung kembali.
"Telat, Bid!" cecar Haqi geregetan.
"Kayaknya emang lebih baik putus aja. Eira juga udah ga mau lanjut kan? Kalian ga perlu susah-susah bantuin gue deket lagi."
Sebenarnya gue turut sedih mendengar ucapan Aabid. Tapi hati gue malah seneng dengernya.
"Yakin lo, Bid?" tanyaku memperjelas.
Aabid yang gue tau selama ini bukan orang yang mudah menyerah. Pdkt Aabid sama Eira dulu bukan hal yang mudah. Gue adalah orang yang ikut andil dalam pdkt itu. Bisa dibilang saksi dari pdkt sampai putus.
"Yakin."
"Lo ga punya keinginan deket sama cewek yang dimaksud Eira kan? Yang dibilang Eira itu ga bener kan?" tanya Haqi meragukan Aabid.
"Apaan sih lo!" balas Aabid menunjukkan ekspresi tak suka.
Perhatian kami teralih waktu ibu kantin datang mengantarkan nasi goreng. Dan di antara kami berempat tidak ada yang memesan.
"Eira ga mungkin pesen nasi goreng," cetus Aabid mengingat mantannya tidak menyukai nasi goreng. Gue bilang mantan bener kan?
"Kayaknya Izma deh," sahut Ziya.
"Gimana jadinya? Apa bungkus aja?" tanya ibu kantin dengan nada khasnya.
Akhirnya aku memutuskan untuk dibungkus. Dan sialnya Ziya dan Haqi malah menyuruhku untuk memberikan ke Izma. Padahal ada Ziya yang sama-sama cewek.
Gini banget cobaan tobat.
Akhirnya aku mendatangi kelasnya Izma. Beruntung ada Abidzar di depan kelas. Tapi sialnya Rania langsung keluar setelah mengetahui keberadaanku.
"Izma ada di dalam ga?" tanyaku pada Abidzar. Aku sengaja mengeraskan suaraku agar Rania tau tujuanku ke sini.
"Lagi istirahat deh kayaknya. Ga ada di dalam."
Sebenarnya aku bisa saja menitipkan bungkusan ini ke Abidzar. Tapi yang ada Izma ga makan siang. Karena dipastikan dia kembali ke kelas jika bel sudah berbunyi.
"Sibuk ga?"
Setelah mengetahui jawabannya aku langsung menyeretnya untuk mencari Izma. Gue ga mau sendirian nemui Izma.
Langkahku terhenti kala melihat wanita yang kucari. Ada di gazebo bersama Eira.
"Mau ngapain, Bang?"
"Sebenarnya cuma antar ini doang. Lo mau antar?"
Gelengan Abidzar sudah membuatku paham. Pada akhirnya aku mendekat ke Izma. Tapi bersama Abidzar. Aku memberikan bungkusan nasi goreng yang kubawa.
"Apa ini, Kak?"
Sial, mulutku kelu untuk mengucap.
"Pesenanmu tadi. Ga perlu diganti uangnya."
"Udah selesai kan? Sana buruan pergi!" cecar Eira mengusirku.
Gue terdiam sejenak. Gue paham, dia lagi kebawa emosi. Tapi emosinya kan ke Aabid, bukan gue.
"Lo ada masalah apa sama gue, Ra? Masalah lo kan sama Aabid. Kalo mau putus, yaudah putus aja. Allah lebih suka."
Mungkin ini kali pertama gue terlihat sok agamis. Dari tadi nahan ga kasih tau temen, padahal gue tau itu salah.
Daripada gue terlihat makin sok agamis, lebih baik pergi. Keperluan gue cuma antarin nasi goreng Izma.
Gue bukannya malu dibilang sok agamis. Tapi kenyataannya gue ga se-agamis itu. Masih jauh dari kata baik.
"Ga nyangka bang Azhar bicara kayak gitu," cetus Abidzar diakhiri tawa. Sialan! Diketawain adik kelas.
Tapi biarpun.
Anak ini diam-diam sebenarnya paham agama. Cuma ga keliatan aja gara-gara parasnya.
Gue ga malu mengakui jika gue banyak belajar dari dia. Dan ... dari Abidzar, gue belajar tentang sholat sunnah. Mulai dari sholat dhuha hingga tahajud.
Dan gue baru tau, alasan dia selama ini memakai rangkapan celana ketika basket. Kukira karena takut belang. Ternyata karena menutup aurat.
Dan aku baru tau jika itu kewajiban. Kalo kewajiban. Kenapa seakan lenyap karena zaman?
Celana basket memang selutut, tapi kalo lompat bisa kelihatan auratnya. Itulah alasan yang dipakai Abidzar waktu itu. Alasan simple tapi sungguh menampar diriku.
Hal sekecil itu aku pun ga tau. Bodoh memang.
Tapi satu kalimat dari Abidzar yang membuatku yakin. Ga ada kata terlambat untuk mencari ilmu agama, kecuali kematian. Dari situ gue sadar. Gue masih bisa berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MaHar [END]
Ficțiune adolescențiSekali ditolak udah menyerah? Azhar aja ditolak puluhan kali masih diperjuangkan? Karena baginya mengejar wanita cantik itu biasa. Tapi mengejar wanita berprinsip itu luar biasa. Apalagi cantik dan berprinsip. Izma, wanita yang tingginya kurang dari...