🌿Part 1: Pacar Gue

209 33 61
                                    

Alishba Izma

Semenjak ia masuk SMA hanya sedikit orang yang berteman denganku. Dan silih berjalannya waktu mereka malah menjauhiku.

Mereka sering bilang aku cari perhatian ke guru. Sok-sokan tampil yang terbaik di depan guru. Padahal nyatanya aku hanya melakukan apa yang menurutku baik.

Aku bukan ketua kelas, bahkan aku bukan pengurus kelas. Tapi gak tau kenapa guru lebih mempercayaiku daripada yang lain. Ada tugas di sampaikan lewat aku. Ada pengumuman disampaikan lewat aku.

Bukannya sombong atau gimana ya? Tapi aku hanya menjalankan amanah. Melakukan apa yang diperintahkan dan apa yang menurutku baik.

"Rania? Gimana itu kelanjutannya? Itu tugas udah satu minggu lho," ujar guru matematika. Rania diam, bahkan tak berkeinginan menjawab. Mungkin karena tidak mengetahui kelanjutan dari jawabannya.

"Izma! Kamu lanjutin soal yang di kerjakan Rania." titahnya. "Dan Rania berdiri di pojok kelas sambil kerjakan soal baru di buku tulis."

Aku yang tadinya mengerjakan di buku tulis langsung terdiam. Memang soal ini sudah di tugaskan minggu lalu. Tapi masalahnya ke depan itu gak bawa buku. Kan biasanya kalo maju ke depan gak bawa buku, lihat buku tulis dulu untuk meyakinkan. Nah buku tulisku di bawa Wafi.

Aku sempat mendengar ocehan yang sudah tak asing. Ocehan teman-teman yang mungkin iri denganku. Namun sayangnya ocehan itu sangat lirih hingga tak terdengar sang guru. Dan hal seperti ini sudah teramat sering aku rasakan.

"Kebanyakan gaya lo!" cetus temannya ketika aku melewatinya. Apa dosa dan salahku sih?

***

Ketika jam pulang sekolah, aku sibuk mencari keberadaan sepatu bagian kananku. Teman-temanku satu persatu pulang. Mungkin hanya anak yang sedang piket dan beberapa lainnya.

"Tau sepatu aku gak?" tanyaku pada anak yang piket sembari mencari sepatu di seluruh sudut ruangan.

"Sepatu punya lo, nanya ke gue. Mana gue tau."

"Balik dari masjid udah ga ada."

"Ya itu kan urusan lo!"

Oh aku sadar. Jika ini kerjaan mereka. Kembali dari masjid untuk sholat dzuhur menggunakan sandal. Kesempatan besar untuk mengerjaiku.

Masih memakai sandal aku duduk di depan kelas. Gak mungkin aku pulang tanpa sepatu. Mungkin hari ini bisa pulang agak sore agar tidak kena satpam. Tapi besok? Ah rupanya tidak.

Berpikir dimana keberadaan sepatunya itu.

Tanpa sengaja aku melihat ranting pohon di halaman sekolah. Dan disitu terdapat sepatuku.

Huh! Benar-benar orang kurang kerjaan yang melakukan itu.

Karena tinggi badan kurang dari seratus enam puluh centi meter. Tentu kesulitan mengambil sepatu yang diletakkan pada ketinggian dua meter. Lompat pun masih tak sampai. Yang ada malah di tertawakan. Jika ini berada di rumah. Pasti aku sudah memanjat pohon itu. Sayangnya ini di sekolah, bukan di rumah.

"Berdiri dong! Jangan jongkok."

Sebuah tangan mendahului mengambil sepatu itu. Setelah sadar jika tangan itu adalah tangan laki-laki. Aku mundur dua langkah untuk menjauhi lelaki itu.

Aku mengenyritkan kening kala menyadari jika lelaki itu adalah lelaki yang sama beberapa waktu lalu. Dia menggunakan baju basket dengan seragam abu-abu putih di pundaknya. Rupanya dia baru selesai ganti baju.

"Lo gak pengen ngelawan mereka gitu?" tanya pria itu meletakkan sepatu tepat di depanku.

Tanpa sengaja ikat pinggangnya jatuh tapi lelaki itu mengabaikannya.

MaHar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang