🌿Part 26: Eira

22 4 0
                                    

Alishba Izma

Kebiasaan tambahan setelah selesai upacara di SMA ini yaitu pengumuman-pengumuman.

Yang membedakan, kali ini aku juga ikut dipanggil ke depan. Ini karena dua Minggu lalu aku memenangkan olimpiade kimia tingkat provinsi. Sungguh pencapaian yang tak pernah ada di benakku.

Upacara di sini diadakan dua kali dalam sebulan. Dan maju ke depan seperti ini, sebenarnya hal yang membuatku malas. Tentunya karena menjadi pusat pandangan.

Hal yang membuatku malas lagi yaitu fotoku terpampang di sosial media sekolah. Dan yang membuatku kaget, tim basket sekolah ini juga menjuarai turnamen tingkat provinsi.

Pagi ini aku maju di antara barisan peserta upacara karena penghargaan itu. Dan tentunya kak Azhar selaku kapten basket juga ikut maju untuk menerima penghargaan.

Yang membedakan kali ini. Kak Azhar berubah. Hal yang membuatku terkejut sekaligus bersyukur. Mungkin sekedar mengucapkan selamat ketika berpapasan. Sederhana.

Dan yang membuatku kagum adalah dia tak menatapku. Melainkan memilih menundukkan pandangan. Sungguh di luar dugaanku.

Kalo hal yang melakukan seperti itu adalah Abidzar. Itu hal yang normal. Karena Abidzar sendiri sudah seperti bang Hamdan dalam hal menjaga. Bahkan bisa dibilang lebih dari bang Hamdan.

Ketika di kelas, aku tak sengaja mendengarkan Rania beserta gengnya berbincang. Saking kerasnya berbicara, aku yang jaraknya cukup jauh pun mendengar dengan jelas.

Mungkin orang melihat aku sedang membaca buku. Tapi sebenarnya aku sedang mendengarkan mereka berbicara. Sudah mirip mata-mata aja.

"Tau ga sih? Kak Azhar sekarang ga mau diajak foto. Padahal dulu kalo diajak foto mau-mau aja," gerutu Rania pada teman-temannya.

"Kayaknya ga cuma kamu aja sih, Ran. Anak-anak lain kalo minta foto kak Azhar juga ditolak. Ketularan virusnya ayang Abidzar kayaknya," balas Rena menimpali.

Beruntung Abidzar ga ada di sini. Kalo ada, udah ngomel terus itu anak gara-gara sebutan ayang.

"Beberapa waktu lalu aku minta foto ke kak Azhar juga nolak," tutur temannya yang lain.

Kak Azhar nolak diajak foto? Sungguh perubahan yang luar biasa.

Aku baru tersadar, history chat ku dengan kak Azhar terakhir tiga minggu lalu. Itu pun di nomor dia yang baru. Nomor itu sengaja ga aku blokir karena kak Azhar sudah tidak seperti dulu.

Hanya untuk ada keperluan di pramuka. Takutnya kalo ada hal penting.

Sebenarnya, sampai saat ini aku masih berhubungan baik dengan Fiza dan tante Maira. Entah dari siapa tante Maira mengetahui nomorku. Yang pasti Fiza tau nomorku setelah dia bongkar ponsel milik kakaknya. Dan ternyata itu tanpa sepengetahuan kak Azhar.

Fiza dengan alasan meminta bantuan mengerjakan pekerjaan rumah alias pr. Tapi pada akhirnya dia bongkar rahasia kakaknya, tanpa ku pancing terlebih dahulu.

Jangan heran anak sekecil itu udah lancar bermain gadget. Bahkan dia sudah mempunyai ponsel sendiri di usianya yang mungkin belum terlalu butuh ponsel.

Bagitu pun dengan tante Maira. Beliau seperti menganggap ku putri sendiri. Berulang kali beliau menyuruhku untuk main ke rumah beliau. Tapi selalu aku tolak.

Kali terakhir beliau meminta untuk ketemuan di luar. Tapi karena aku yang belum dapat izin naik motor sama ayah. Ya tentu tidak bisa.

Sewaktu di kantin, aku sendirian. Tiba-tiba kak Eira memilih duduk di bangku depanku. Bukan hal aneh sebenarnya. Tapi di bangku yang pojok, itu ada kak Azhar lengkap dengan kak Aabid, kak Haqi dan kak Ziya.

Anehnya kenapa tidak memilih dengan mereka?

"Kamu udah biasa ya sendirian?" tanya kak Eira mengawali.

"Bisa dibilang gitu kak. Udah jadi kebiasaan juga."

Sebenarnya ku ingin menanyakan alasannya tidak bergabung dengan kak Aabid. Tapi ku tak enak hati untuk menanyakan itu. Dan malah kak Eira sendiri yang mengawali cerita.

"Sekarang aku tau alasan kamu selama ini nolak Azhar," cetusnya memulai. "Aku kemarin putus sama Aabid. Dia deket sama cewek lain."

Jujur aku terkejut dengan penuturannya. Kak Aabid yang selama ini bucin abis sama kak Eira kok bisa seperti itu? Aku ga berani men-judge apapun.

"Harusnya aku ga pacaran dari awal. Daripada harus tau dia selingkuh kayak gini."

Aku belum tau akar masalahnya. Jujur sebenarnya belum percaya jika kak Aabid seperti itu.

"Sebenarnya aku udah sadar sejak lama, Izma. Tapi tetep aja percaya. Dan kemarin bisa-bisanya dilabrak sama selingkuhannya."

Aku malah semakin bingung. Kak Eira nangis di sini. Aku memilih pindah tempat untuk berada di sampingnya. Berusaha menenangkannya. Meskipun ... sepertinya gagal.

"Kak Eira tenangin diri dulu ya. Minum aja dulu kak."

Biasanya pawangnya kak Aabid. Lah ini nangisnya karena kak Aabid. Kan jadi bingung.

Kini kak Eira sudah tenang. Ditambah sekarang ada kak Ziya yang juga ikut menenangkan. Sepertinya komplotan orang yang duduk di pojok menyadari kak Eira.

"Udah dong Ra, jangan kayak gini terus. Kamu ga percaya sama Aabid? Itu cuma cewek yang mau rusakin hubungan kalian. Aabid itu ga selingkuh," tutur kak Ziya merangkul kak Eira.

Aku yang ga tau akar masalahnya tentu bingung sendiri. Aku ga tau apa-apa tentang masalah ini. Dan berada di antara kakak kelas dengan masalahnya yang ga bisa aku pahami.

"Udah lah, Zi. Kalo kamu mau bela Aabid silakan. Tapi aku tetep ga percaya."

Posisi duduk sekarang itu aku di ujung, tengah kak Eira dan ujung satunya kak Ziya. Dan aku ga paham masalah awalnya.

Dan kini di bangku depanku malah ada kak Azhar dan kak Haqi. Lebih tepatnya kak Azhar yang di depanku. Sedangkan kak Aabid masih memilih di tempat awal. Pojok kantin ini.

"Lo kemarin diapain sih sama cewek itu?" tanya kak Haqi mengawali.

Kak Eira hanya diam. Dan anehnya kak Azhar kali ini juga diam. Tapi diamnya kak Azhar itu memilih untuk meletakkan kepalanya di atas meja kantin dengan tumpuan kedua lengannya yang dilipat. Sungguh aneh untuk seorang kak Azhar.

"Kamu cerita dong, Ra," pinta kak Ziya.

Kak Eira memilih untuk tidak menjawab. Dan malah menggandengku pergi.

Tau ga yang ku pikirkan apa? Aku pesan nasi goreng belum datang. Malah ditinggal pergi.

Tapi sepertinya saat ini ku perlu mengabaikan nasi gorengku dulu. Biarlah perut kosong untuk sementara waktu.

Aku mengikuti arah langkah kak Eira. Ternyata menuju ke tempat duduk dekat green house.

Awalnya kak Eira diam. Tapi setelah tenang, dia mulai bercerita tentang masalahnya. Dan aku sungguh tidak menduga jika aku menjadi tempat bercerita kakak kelas.

Dari sini aku tau. Jika masalahnya lagi-lagi tentang perebutan laki-laki. Sungguh di luar nalar wanita yang melakukan hal seperti ini. Merendahkan harga dirinya sendiri hanya untuk laki-laki.

Singkat cerita kak Eira kemarin didatangi salah satu teman kak Aabid. Dia beda sekolah dan menyuruh kak Eira menjauhi kak Aabid.

Dan parahnya main kasar. Latar belakang wanita itu yang dari keluarga yang mapan membuat dia berani bertindak seperti itu. Padahal yang kaya orang tuanya, bukan dia.






MaHar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang