🌿Part 13: Perhatian

48 7 0
                                    


"Izma! Tolong izinin ke bang Arshad atau yang lain. Aku sama Aabid agak terlambat ke sana!" teriak kak Azhar dari lapangan basket.

"Siapp, kak!" balasku cukup keras karena jarak antara kami terlalu jauh. Dia melanjutkan latihan basket terlalu jauh.

"Semangat latihan!" seru kak Azhar menyemangatiku.

Sontak teman-temannya heboh mendengar kata itu keluar dari mulut kak Azhar. Aku yang gak mau ikut di soraki. Ya lebih baik pergi.

Bukankah seharusnya dia yang patut disemangati? Dia kan juga latihan. Ah biarlah! Makin kepedean nanti dia.

***

Akhir-akhir  ini waktuku sering di habiskan untuk sekolah dan latihan pionering. Begitu juga dengan Hana. Setiap pulang sekolah selalu latihan pionering. Khusus kak Azhar dan kak Aabid, mereka latihan setelah selesai latihan basket. Jangan bayangkan capeknya.

Perihal kak Azhar, dia sekarang lebih profesional. Satu hal yang perlu aku syukuri. Karena dengan begitu aku menjadi lebih nyaman.

Beberapa waktu lalu aku baru mengetahui satu fakta. Sebenarnya Hana adalah adik sepupu kak Azhar. Sekaligus adik sesusuan. Itu artinya mahram dengan kak Azhar. Pantas saja mereka kemarin kayak akrab banget.

"Woy Haq! Bantuin lepasin nih! Jangan pacaran mulu!" cetus kak Azhar dengan tangan tetap membongkar tali.

"Sirik aja lu!" balas kak Haqi dengan nada mengejek. Spontan kak Azhar melempar tali yang baru selesai di rapikan tepat ke kak Haqi.

"Sakit, Har! Iya ... iya ... aku bantuin," cerocos kak Haqi mendekati mulai membantu membongkar pionering. "Lagian Lo udah sama Izma ngapain rewel sih?"

"Ya logikanya, Lo pacaran ga tau tempat, Haq!" cetus kak Azhar serius. Yang tadinya becanda langsung berubah.

Kak Aabid yang sejak tadi diam langsung memberikan kode padaku untuk membantu yang lain. Wajahnya memancarkan ketakutan jika kak Azhar ga bisa mengontrol emosi.

Tiga manusia itu tetap saling bungkam. Bahkan sampai selesai pun tetap saling diam.

"Kenapa lu ikutan diem. Padahal gue cuma marah sama Haqi," cetus kak Azhar membantuku mengangkat tongkat.

"Ngeri aja kak."

"Lu angkat tali aja. Ini biar aku yang bawa."

Setelah semua barang masuk ke sanggar, evaluasi kemudian pulang.

"Han, yakin tadi kamu taruh di tas? Ga dimana gitu?" tanyaku melihat Hana mengeluarkan semua isi tasnya.

"Iyaa, tadi aku taruh di tas. Aku anti banget naruh kunci di saku. Duh mana dah hampir maghrib pula."

"Pelan-pelan, Han. Kamu coba ingat-ingat lagi deh. Duduk dulu biar tenang."

Kebetulan aku pulang bareng Hana. Dan masalahnya kuncinya ga tau dia taruh dimana.

Hanna akhirnya memilih duduk dan mencoba mengingat-ingat. Aku perlahan membongkar tasnya.

"Bukannya tadi motormu di pinjam kak Azhar ya?"

"Eh iya ... Astaghfirullah ...," pekik Hanna. "Izma, pinjam ponselmu. Ponselku baterainya habis."

MaHar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang