🌿Part 17: Tanggung Jawab

23 6 0
                                    


Alishba Izma

Apa perlakuan Rania selama ini bisa dikategorikan bully? Selama ini aku bodo amat diperlukan seperti itu. Lebih tepatnya ga merasa di permalukan.

Setelah kak Azhar bilang untuk ga diam aja kalo di bully, aku baru sadar kalo aku di bully. Kemana aja aku selama ini?

Bukan sekali dia mengingatkan. Tapi ya tetap aku abaikan.

Pada dasarnya aku malas cari ribut.

Beberapa waktu lalu, kak Farah menemuiku. Masih ingat kan? Kakak kelas yang tiba-tiba memeluk kak Azhar.

Ya dia menemuiku. Memeringatkan aku untuk menjauhi kak Azhar. Padahal dari awal aku sudah menjauhinya.

Yang aku heran. Dengan sikapnya kak Azhar yang seperti itu, kok ada cewek yang rela mengabaikan harga dirinya hanya untuk mendekati kak Azhar. Sealiran dengan Rania sih menurutku.

Ya aku tau, kak Azhar itu baik. Wajah juga mendukung, tapi baju sekolahnya ga pernah rapi kecuali waktu upacara dan kegiatan Pramuka.

Pasti bajunya keluar. Kalo semuanya masih mending. Nah itu kanan masuk ke dalam celana. Sisi kirinya keluar dari celana.

Untuk tanggung jawab dan jiwa kepimpinannya memang perlu di akui. Tapi sayangnya tidak tau cara menghormati wanita. Itu saja.

Tapi ga tau juga kalo menghormati wanita versiku dan versi kak Azhar itu berbeda.

Ambisinya berpacaran sepertinya bukan dari dirinya. Melainkan karena pergaulannya.

"Izma, nanti kalo Azhar ke sini. Tolong jaga mood nya ya. Tolong banget nih," tutur kak Haqi yang tiba-tiba di sampingku.

Saat ini aku lagi sendirian di kantin. Jangan tanya kenapa aku sendirian. Yang pasti karena ga punya temen.

"Ngagetin aja, kak."

"Maaf. Tapi tolong ya kali ini. Buat mood dia kembali baik. Orangnya lagi pesan makanan. Aku tinggal dulu."

Aku? Di suruh naikin mood? Ku kira anak laki-laki acuh dengan mood. Ternyata sama aja.

Kak Haqi langsung pergi untuk memesan makanan. Tentunya agar tak membuat kak Azhar curiga.

"Hai, Sayang," sapa kak Azhar mengambil duduk di depanku. Di sampingnya ada kak Haqi yang tentunya hanya diam saja.

Dengan panggilan seperti itu, hilang sudah niatku memenuhi permintaan kak Haqi.

"Kok diem aja?"

Katanya mood nya buruk? Kok tetep kayak gini?

"Har! Mau ya!" celetuk kak Arshad yang baru datang dan duduk di samping kananku. Spontan aku bergeser ke kiri untuk mengambil jarak.

"Apaan sih, Bang! Malas gue. Masih banyak yang lain."

"Yang lain siapa? Tau sendiri anak-anak kayak apa?" balas kak Arshad. "Izma! Tolong bujuk Azhar buat jadi kandidat pradana ya! Lo kan ceweknya. Tolong ya," pintanya menghadap ke arahku.

Kandidat pradana? Ga salah denger nih aku?

"Aku bukan ceweknya, kak," lirihku. Berita hoax dari mana aku ceweknya kak Azhar?

"Ga perlu bujuk Izma, Bang! Urusan organisasi ga boleh disangkutpautkan dengan urusan personal. Apalagi percintaan," cetus kak Azhar dingin.

Dan sepertinya mood kak Azhar memang benar-benar buruk.

"Ya ga gitu juga, Har. Lagian ya, sekarang lo pikir pake akal sehat ya. Kalo lo ga maju, yang kena akibatnya organisasi. Gue bukannya ga percaya sama temen seangkatan lo. Tapi menurut gue dan BPH lain,  selain empat kandidat yang dipilih ga ada yang berkompeten."

Kak Azhar memilih menunduk menatap kosong minuman di depannya. Jarang banget aku melihat kak Azhar seperti ini. Biasanya kalo ga happy ya marah. Jarang banget diam kayak gini.

"Ya bukannya menyepelekan mereka. Aku tau mereka juga aktif, tapi kan tetep butuh pemimpin yang tepat. Tapi perlu kamu tau, Har. Salah milih ketua itu ga cuma rusak satu periode jabatan, tapi juga seterusnya. Angkatan Izma sampe seterusnya bakal sulit buat maju."

Sepertinya aku salah tempat. Aku berada di antara orang-orang penting. Dan pembicaraannya pun masalah berbobot.

"Bang Arshad, udah kan? Pergi yuk, Bang. Daripada mood temen gue makin buruk. Ntar yang kena imbasnya gue. Dua temen gue dari kemarin mood nya dah buruk cuma gara-gara baca chat dari bang Arshad. Jangan ditambahi ya, Bang."

Pria yang menjabat sebagai ketua jurnalistik itu merangkul bang Arshad untuk mengajaknya menjauh pergi.

Dan aku berasa ingin pergi. Karena di sini hanya ada aku dan kak Azhar. Tapi sisi lain hatiku menolak untuk beranjak pergi. Ga tega untuk meninggalkan dia yang sejak tadi menunduk. Bukan karena menjaga pandangan, tapi karena merenungkan diri.

"Kak?" panggilku memberanikan diri.

"Hm?"

"Maaf sebelumnya ya kak. Tentang tawaran kandidat pradana. Jadi kakak ambil?" tanyaku hati-hati.

Pria satu tahun di atasku itu melirik sekilas. Kemudian kembali menatap minumannya tanpa berniat meminumnya.

"Sepertinya nggak."

"Kenapa? Kan lewat itu kakak bisa buktiin kalo kakak bisa tanggung jawab. Bisa jadi pemimpin yang baik"

"Berarti sekarang ga tanggung jawab?" tanyanya dingin.

Sepertinya aku salah ucap.

"Ya ga gitu juga kak. Kak Azhar tuh tanggung jawab. Makanya kak Arshad kasih kesempatan kak Azhar buat jadi kandidat."

"Kirain pandanganmu tentangku cuma pria buruk yang gak tanggung jawab," tuturnya membuatku hanya diam.

"Jadi ketua tuh bukan soal jabatan. Bukan cuma soal namanya jadi terkenal. Tapi tentang amanah yang harus di jaga. Tanggung jawab jadi ketua gak semudah itu. Jangankan jadi ketua. Kamu ikut lomba atau organisasi itu semua ada tanggung jawabnya. Bukan cuma soal nama yang tertulis di kertas yang di bawahnya ada nama jabatannya."

Kesambet apa kak Azhar nih?

Dan kini aku tambah diam. Bingung mau jawab apa. Aku baru tau sisi lain kak Azhar. Ya aku emang tau kalo dia tanggung jawab. Tapi aku baru tau kalo dia sekritis ini terhadap suatu masalah. Sangat berbeda dari kak Azhar biasanya.

"Maaf," lirihnya.

"Boleh aku bicara kak?"

"Hm."

"Ayah pernah bilang ke aku. Kalo ada kesempatan emas itu harus di ambil. Apalagi kalo kesempatan itu ga semua orang dapat. Kalo ada resiko itu jangan dijadikan alasan buat mundur. Tapi untuk di lawan. Kalo dikasih amanah itu buat dijaga. Bukan ditinggalkan."

"Jarang banget orang dikasih kesempatan besar. Kak Azhar dikasih kesempatan itu karena kak Arshad melihat sesuatu dari diri kak Azhar yang ga dimiliki orang lain."

"Dan bisa jadi kan kalo kak Azhar jadi pradana. Kak Azhar bisa tau titik terhebat dari diri kakak."

"Impianku itu ga di pramuka. Tapi di basket. Aku ingin masuk tim basket provinsi. Sama sekali ga kepikiran buat ngembangin diri di pramuka. Masuk Pramuka inti aja gara-gara Haqi nulis namaku."

"Ya meskipun ga tau nanti yang bakal jadi pradana putra aku atau Aabid. Tapi seandainya aku yang jadi. Aku ga tau bisa kejar mimpi aku di basket atau ga. Seleksi tingkat kota juga belum keluar hasilnya."

"Aku ga tau bisa manage waktu antara basket sama pramuka apa engga. Di basket jadi ketua tim inti. Dan di pramuka ga tau nanti. Tapi makasih ya buat kata-katanya. Cukup naikin semangat."

Dia pun memilih beranjak pergi. Tapi kembali aku cegah.

"Kak!" panggilku berhasil membuat dia berhenti.

"Tentang kata-kataku tadi jangan sampe kebawa waktu pendadaran bantara ya," pintaku lirih.

"Bisa dipikirin ulang tentang itu. Makasih idenya," cetusnya dengan senyum jahil.

Alamat mati aku!

MaHar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang