🌿Part 5: Pria Baik

89 21 12
                                    

Alishba Izma

Niatnya menghindar, tapi malah datang ke kelasnya. Tentunya karena terpaksa. Dan bukan untuk bertemu kak Azhar, melainkan kak Haqi.

"Assalamualaikum," ucapku di ambang pintu kelas sebelas ipa satu.

"Waalaikumsalam," jawab wanita di bangku paling depan. "Cari siapa?"

"Cari gue ya?" sahut kak Azhar dari bangku belakang. Pria itu berjalan ke arah pintu, tepatnya tuk menemuiku.

Orang kalo terlalu percaya diri ya gini jadinya. Aku kesini buat ketemu kak Haqi, bukan kak Azhar.

"Kemarin aja di telpon yang ngangkat Abangnya, sekarang nyari ke kelas gue," ujar kak Azhar dengan bangganya. Untung ucapnya ketika sudah berada di dekatku, jadi lirih. Ya gak dekat juga sih. Sekitar dua meter mungkin. Aku pun hanya geleng-geleng kepala melihat tingkat kepedean pria spesies ini.

"Kak Haqi ada?" tanyaku mengabaikan keberadaan kak Azhar.

"Gue kok kasian sama lo sih, Har. Pedenya dikurangin aja ya!" ujar salah satu wanita mengejek kak Azhar. Kalo gak salah itu namanya kak Eira, dia di jurnalistik menjadi koordinator bidang broadcast. Denger-denger pacarnya kak Aabid. Itu cuma berita. Dan aku belum tau pasti.

"Lo tuh gak tau, sebenarnya dia ke sini nyariin gue. Cuma pake alasan Haqi." Pria itu rupanya masih belum menyerah.

"Jangan lupa minum obat ya! Biar cepet sehat," tambah kak Haqi menepuk bahu Azhar waktu melewatinya. Saran yang bagus kak Haq!

Kak Haqi yang kebetulan juga berada di kelas, segera keluar waktu tau aku mencarinya. Dengan kecewa kak Azhar kembali ke belakang. Salah sendiri kepedean.

"Ada apa? Kartu pelajar?" tanya kak Haqi ketika sudah berada di luar kelas.

"Iya, tapi-," jawabku ragu.

"Tapi apa?"

"Kartu pelajarku ada di kak Azhar."

"Azhar?" tanya kak Haqi yang tak percaya. Pria itu masuk ke kelasnya dan keluar menyeret paksa kak Azhar. Tentu pria bernama Azhar itu memberontak.

"Apaan sih, Qi?"

"Kartu pelajar Izma masih ada di lo?"

"Iya, terus kenapa?"

"Belum lo kembaliin?"

"Gue mau kasih ke Izma, Izma aja ga mau," ujar kak Azhar santai. Ia melipat tangannya tak merasa salah sama sekali.

Aku masih sabar kok. Sepatuku belum melayang.

"Kalo emang mau ngasih ya tanpa syarat lah," lirihku.

"Gue udah mau kasih baik-baik."

"Kasih baik-baik apaan?"

Kenapa waktu ketemu dia emosiku memuncak sih?

Aku gak sadar jika Kak Haqi yang diam karena jengah mendengar perdebatanku dengan kak Azhar. Kedua tangannya terlipat di dada dan pandangan lurus ke depan. Aku yang menyadari itu langsung diam. Tetapi kak Azhar tetap mengoceh sendiri.

Heran kan? Laki kok suka ngoceh.

"Udah?" tanya kak Haqi membuat kak Azhar diam seketika. "Dari kemarin-kemarin gue udah bilang. Kartu pelajar tuh penting banget di sekolah ini. Kenapa masih lo bawa sih?"

Good sekali ketua ekstraku.

Lebih parahnya kak Azhar yang diomeli tetap santai seperti tidak ada masalah. Dan tentu membuat kak Haqi kesal.

"Sekarang mana?"

"Ya masih gue bawa lah."

"Mana?"

MaHar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang