🌿Part 16: Calon Ipar

31 4 0
                                    

"Har! Buruan ke sini! Ditungguin dari tadi lama amat! Kayak cewek lu!" cecar Aabid melalui sambungan telepon.

Acara kumpul yang sudah menjadi rutinan itu kalo ga datang bisa cerewet temen satu itu.

"Iyaa ... iyaa .... Bawel lu! Kayak cewek lu!"

Agar dia tak melanjutkan ocehannya. Mematikan sambungan telepon adalah solusinya.

Sekarang jam setengah delapan. Yang pasti pulangnya tengah malam.

"Titip antar ini ke rumahnya Barra ya! Buat bundanya."

Bang Barra adalah sepupuku. Rumahnya cuma beda kecamatan dari sini. Lumayan juga sih.

"Kamu nanti jam sepuluh harus sampai rumah lho, Bang! Jangan malam-malam. Bawa kunci garasi kan?"

"Kunci garasi aman, Ma. Tapi kalo pulang jam sepuluh Azhar ga bisa janji Mama cantik. Assalamualaikum."

Buru-buru aku menyalaminya, sebelum beliau mengoceh. Ya meskipun dari luar tetep kedengaran petuah-petuah yang keluar darinya. Apalagi kalo bukan petuah jangan pulang larut malam.

Sesampainya di rumah bang Barra. Ada motor terparkir di depan rumahnya. Menandakan jika ada tamu. Akhirnya aku masuk lewat pintu samping.

"Masuk, Har! Lama ga main ke sini," sambut bunda Hasna yang tak lain adalah kakaknya Papa.

Saking seringnya main ke sini sewaktu kecil. Panggilan bunda melekat sampai sekarang. Dan beliau sendiri seperti ibu kedua bagiku.

"Emang lama sih ga main ke sini, Bun. Pulang sekolah juga udah capek. Ini ke sini aja karena antar titipan mama."

Aku memberikan bingkisan yang aku bawa tadi. Aku sendiri pun ga tau isinya apa. Dan ga mau tau juga. Di suruh antar ya antar aja.

"Makasih lho, Har. Tadi bunda emang di tawari cumi sama Mama kamu. Rencana besok bunda ke sana. Eh malah kamu antar malam ini."

"Gapapa kali, Bun. Ini juga kebetulan mau ke rumah temen," jelasku. "Itu di depan siapa tamunya, Bunda? Kok kayak ga asing."

"Itu Hamdan, temannya Barra. Kamu kenal? Temuin ke depan sana."

Benar sesuai dugaanku. Dari motornya aku sudah kenal kalo itu bang Hamdan. Cuma kurang yakin aja.

"Eh kamu belum makan kan? Makan di sini dulu ya."

"Aduh, Bun. Ini tadi dari rumah udah makan. Maaf banget. Meledak nanti perut Azhar kalo makan banyak-banyak. Yang ada ga bisa main basket nanti."

"Kamu ini pinter banget kalo alasan."

Tentunya aku cuma beralasan. Ga lucu kalo seorang Azhar Dzuhairi berubah jadi gendut. Badanku kayak gini aja di tolak Izma. Apalagi kalo gendut.

Akhirnya aku memilih untuk menemui bang Barra. Bonus nemuin bang Hamdan sih. Bismillah calon ipar. Bisa lah gitu.

"Har! Dari tadi?" tanya bang Barra.

"Engga bang. Tadi ada titipan ke bunda. Makanya mampir ke sini," balasku menyalaminya.

"Loh, bang Hamdan?" Aku pun menyalami bang Hamdan juga. Beliau pun membalasku dengan senyuman. Awal yang baik lah!

"Kamu kenal Azhar dari mana, Dan?" tanya bang Barra pada bang Hamdan.

"Temennya adekku."

"Izma? Yakin mau temenan sama bocah model begini?" cetus bang Barra seenak jidat.

Kayak aku tuh buruk banget di mata dia. Padahal ya ... ya emang buruk.

MaHar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang