🌿Part 6: Psyco

79 20 19
                                    

Berhari-hari aku benar-benar menghindari kak Azhar. Bahkan aku sampai menghindari kantin, mengabaikan perutku yang keroncongan. Karena aku yakin jam istirahat kak Azhar ada di situ. Waktu istirahat aku gunakan untuk di perpustakaan. Hanya bisa membaca, gak bisa meminjam buku.

Bukan untuk membaca buku pelajaran, melainkan buku bacaan. Lebih tepatnya novel.

Karena tidak bisa meminjam buku. Maka dari itu aku membaca buku hanya ketika di perpustakaan. Karena meminjam buku harus menggunakan kartu pelajar. Sedangkan kartunya berada pada kak Azhar.

Lari dari kenyataan rupanya sulit. Tiga hari menghabiskan jam istirahat di perpus masih tenang. Tapi lagi-lagi kak Azhar mengetahui itu dan datang ke perpustakaan.

Mengetahui kak Azhar di ambang pintu, aku langsung menutup wajahku menggunakan buku. Tapi sayangnya dia tetap mengenaliku.

Padahal hidupku sudah tenang karena tiga hari lebih tidak bertemu dia. Bahkan selama ini aku gak pernah tau jika kak Azhar ke perpus. Bukannya sok tau. Tapi aku sudah lama menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan. Sama sekali gak pernah melihat keberadaan dia.

Setelah mengambil buku secara asal, kak Azhar dan kak Aabid duduk di depanku. Mau pindah tempat ya sudah penuh. Mereka berdua duduk di sini ya karena meja lain sudah penuh. Untung saja meja penghalang di antara kami cukup lebar. Dan cukup memberi jarak antara kami.

Aku sebenarnya sadar dengan kehadiran kak Azhar. Tapi saat ini pura-pura gak sadar menjadi pilihan terbaik.

"Izma!" panggil kak Azhar lirih. Namun aku tak ingin merespon.

Kak Aabid saja sudah fokus pada buku di depannya. Pria pecinta genre horror itu sudah diam tak bersuara. Tapi sepertinya itu bukan novel. Melainkan komik.

Berbeda dengan kak Azhar, buku yang ia pegang hanya untuk sebagai syarat. Keliatan banget kalo gak dibaca.

"Izma! Woy!"

Pertahananku masih kuat. Aku sama sekali tak merespon keberadaan kak Azhar.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawabku cepat.

"Salam aja di jawab, aku panggil gak di jawab," gerutunya. Masa bodoh kak!

"Jawab salam wajib, jawab panggilan lo gak wajib," balasku datar tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.

"Nah gitu dong di respon."

Bahkan aku gak sadar jika aku merespon ucapan kak Azhar yang tanpa mutu. Aku tegaskan, TANPA MUTU, bukan KURANG MUTU.

"Yakin gak mau ini?" tanya kak Azhar mengeluarkan kartu pelajar.

"Syarat gue cuma satu lho. Daripada gue suruh nemenin gue latihan tiap sore. Milih mana hayo?"

Ha? Maksudnya nemenin latihan basket tiap sore? Kurang kerjaan banget!

"Bisa diem gak? Ini perpustakaan, bukan pasar."

Selain risih dengan ucapan kak Azhar. Aku juga sudah terlanjur masuk ke dalam cerita yang aku baca. Jangankan kak Azhar, bang Hamdan saja kalo gangguin aku baca novel bantal langsung melayang.

"Galak amat, Neng?"

"Kalo niatnya ambil kartu itu. Ambil aja!"

Aku sudah tidak berniat mengambil kartu itu kembali. Jika dia capek juga pasti dikembalikan akhirnya.

"Beneran?"

"Diem lah!" tegasku membuat kak Azhar tutup mulut. Bahkan aku gak mengira jika kak Azhar sampai diam seperti itu.

MaHar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang