Azhar Dzuhairi
Bersama namun tak saling menyapa. Mungkin itu kata yang tepat untuk kita bertiga. Gara-gara benda kotak persegi itu kita saling membungkam. Sibuk menjelajahi dunianya sendiri.
Sebenarnya di bilang percuma ya nggak. Tapi ya kayak ada yang kurang kalo lagi kumpul, tapi sibuk dengan gadget masing-masing. Parahnya itu sudah menjadi kebiasaan bagi kita. Kali ini mereka sedang berada di kamarku. Tapi ya gitu, main sendiri-sendiri.
Kita sama-sama bermain game. Namun tak saling berbicara. Bahkan sama-sama memakai penyumpal telinga—headset semua. Maka dari itu tidak saling mendengar.
Sebuah notifikasi yang masuk berhasil mengganggu Haqi bermain game. Masa bodoh dia kirim pesan sama siapa. Mungkin ya sama Ziya. Siapa lagi kalo gak sama Ziya?
Dengan terpaksa Haqi keluar dari aplikasi game. Haqi langsung melepas headset yang bertengger di telinganya. Dan aku? Tentu masih bermain game.
"Har! Bid!"
"Hm," balasku dan Aabid bersamaan.
"Woyy lepas dulu headset-nya!" ujar Haqi cukup keras membuatku cukup terganggu. Aabid sudah melepas headset-nya. Namun tidak denganku. Aku terlalu fokus dengan game-nya. Udah level atas. Ya kali langsung cabut aja.
"Har! Ini tentang Izma lho," cetus Haqi yang tentu membuatku terkejut.
"Ha?" Mendengar kata Izma barulah ku matikan ponselku. "Apa?"
"Giliran gue sebut nama Izma aja lo nyaut," kelakar Haqi. "Kalian ada yang bilang kalo gue rekam dia kemarin?"
Tentu aku dan Haqi mengangguk. Melihat itu Haqi mengusap wajahnya kesal. Aku yang gak tau masalahnya. Ya santai aja.
"Ngapain lo bilang ke Izma sih?"
"Ya lagian lo bisa deket sama Izma. Sedangkan dia gue deketin aja selalu ngehindar."
"Gue tuh kemarin niatnya pengen deketin kalian! Gue tuh neg liat lo tiap hari galau mulu! Tapi karena lo bilang kalo gue rekam dia. Gue udah ga bisa bantu apa-apa. Dia marah nih!"
Haqi meletakkan ponselnya kasar ke karpet. Aku langsung membaca pesan yang dimaksud Haqi itu. Karena penasaran, akhirnya Aabid juga ikut melihat.
Izma
|Gak ngira ketua jurnalis diem-diem merekam kayak gitu.Gak butuh waktu lama untukku mencerna kata-kata itu. Terlihat dengan jelas jika mereka berdua jarang berkirim pesan. Terakhir kirim pesan itu seminggu yang lalu.
Dengan bodohnya aku kemarin bilang gitu. Padahal Haqi merekam saja diam-diam.
"Aabid ya yang bilang!"
"Lah itu juga gara-gara lo kan, gue terpaksa bilang kayak gitu." Bukannya gak mau salah. Tapi emang Aabid yang waktu itu bicara duluan.
"Pokoknya gue udah bantuin. Lo malah bilang. Gue gak bisa bantuin lo lagi, Har!"
"Gara-gara Aabid nih!"
"Ya gue terpaksa bilang karena lo!"
Aku dan Aabid baru berhenti adu mulut saat Haqi menyuarakan kekesalannya. Dengan tak berperi kemanusiaan Haqi menyumpal mulutku dengan biskuit. Emang kurang ajar dia!
Sedangkan Aabid? Dia dengan bangga tertawa penuh kemenangan. Ingin ku menyumpal mulutnya! Tapi itu sudah dilakukan Haqi. Hahaha!
"Haq! Lo tau rumahnya Izma gak?" tanyaku setelah tawaku reda.
"Gak tau, ngapain juga aku kesana," jawab Haqi dengan santai.
"Kali aja pernah kesana."
"Lo tuh bego atau gimana? Kartu pelajar Izma lo bawa. Kenapa gak lihat dari situ bego!" kelakar Aabid menoyor kepalaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MaHar [END]
Novela JuvenilSekali ditolak udah menyerah? Azhar aja ditolak puluhan kali masih diperjuangkan? Karena baginya mengejar wanita cantik itu biasa. Tapi mengejar wanita berprinsip itu luar biasa. Apalagi cantik dan berprinsip. Izma, wanita yang tingginya kurang dari...