🌿Part 24: Beda Tujuan

20 4 0
                                    

Benar kata orang-orang. Mendekati orang berkelas itu memang beda. Butuh perjuangan. Apalagi menjadikannya partner. Cukup sulit.

Tapi sulit belum tentu mustahil kan?

Kalo jadi pacar Farah. Gampang. Gampang banget malah. Tapi kalo menjadikan Izma, sulit banget.

Setelah sembuh, aku sempat bertemu Izma. Sepulang ekstra Pramuka ketika dia menunggu jemputan. Aku menawarkan boncengan, tapi dia menolaknya.

Intinya aku meminta maaf jika respon mama terlalu berlebihan. Dan ternyata, dia sudah akrab dengan mama. Mama dapat nomor Izma dari Aabid.

Sangat di luar dugaan.

Dan waktu itu juga, lagi dan lagi ku mengutarakan perasaanku. Mungkin itu sudah kali ke dua puluh satu.

Dan hasil yang sama ku dapat. Penolakan.

"Maaf kak, untuk sekedar teman. Aku gapapa. Tapi kalo lebih, aku minta maaf."

"Bahkan, dari sekian penolakan, kamu tak memberikan alasan."

Akhir-akhir ini aku berusaha keras mengubah panggilan. Yang semula gue-lo. Menjadi aku-kamu. Itu saran dari Haqi. Katanya biar diterima. Tapi nyatanya .... Sama aja.

"Aku tetap dengan prinsip awalku, kak."

Lagi dan lagi cuma itu. Prinsip yang tidak ku pahami. Prinsip untuk tidak berpacaran? Berarti sama aja prinsip untuk tidak menikah dong?

Apakah ada orang seperti itu?

"Apa karena Farah? Atau Rania? Mereka mengancam kamu? Bilang aja," tuturku.

"Alasanku bukan mereka kak," jawabnya.

Sejak tadi, dia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk menatapku sama sekali. Aku ga tau apa alasannya.

"Kalo mereka ngancam apapun. Bilang aja gapapa. Jangan sampe kejadian kayak kemarin. Takutnya malah mereka celakain kamu lagi."

"Ga ngancam apapun kok, Kak."

Aku tau dia berbohong. Dia selalu memalingkan wajahnya dariku. Ga mungkin seorang Farah ga ngancam setelah kejadian kemarin.

"Sebenarnya kamu cerita ke ayah kamu aja, Farah ga berani berbuat apapun. Tapi karena kamu nya ga terbuka. Ya om Burhan ga tau."

Sebenarnya ini adalah salah satu yang ku bicarakan dengan om Burhan waktu itu. Om Burhan malah lebih tanya banyak tentang Izma padaku ketika di sekolah.

Dan juga tentang orang-orang yang membully Izma. Maka dari itu, aku bisa tau jika dia type anak yang tertutup dengan orang tua. Sama sepertiku sebenarnya.

Sebagai anak tetap punya privasi yang ga diceritakan kepada orang lain. Meskipun orang tua sendiri.

"Apa hubungannya? Selagi masalah bisa ku atasi sendiri. Ga perlu melibatkan ayah sama bunda."

"Tapi kalo kejadian kayak kemarin. Mereka juga ikut khawatir kan?"

Kali ini dia diam. Dan malah aku yang bingung topik pembicaraan. Cuma sama dia aku sampai mikir topik pembicaraan. Kalo dengan yang lain diam, aku juga diam karena malas cari topik pembicaraan.

Beberapa menit kami saling diam.

Pada akhirnya ada sesuatu yang terlintas di benakku. Kartu pelajar. Berbulan-bulan berada di dompetku. Tersimpan rapi dalam dompetku. Bersanding dengan kartu pelajarku dan KTP milikku.

"Nih." Aku pun memberikannya.

"Capek kak, simpen terus?"

Kali ini dia kembali seperti semula. Ada senyuman yang terbit di ujung bibirnya. Ya meskipun senyuman jahil.

MaHar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang