🌿Part 21: Kak Azhar Berubah

25 5 0
                                    

Alishba Izma

Tanganku tergerak dengan sendirinya melihat notifikasi pesan dari nomor tak dikenal. Bukan hanya satu pesan, melainkan spam pesan.

08xxxxxxxxxx
|Hai
|Gue Azhar
|Gue yakin setelah ini nomor ini bakal lo blokir lagi sih
|Kali ini gue cuma minta lo lebih kuat, lebih berani. Dan gue yakin lo bisa itu.
|Lupakan kejadian kemarin
|Pelakunya udah dapat hadiahnya
|Makasih udah kuat
|Semangat!!

Ujung bibirku tertarik membaca pesan itu. Sederhana, tapi mengesankan.

Me
Makasih kak|

Kuletakkan kembali ponselku. Menatap langit-langit kamarku. Tiba-tiba ingatanku kembali pada kejadian kemarin.

Kak Farah dan Rania mem-bully ku habis-habisan. Dan mereka ga sendiri, lengkap dengan pasukannya.

Setelah jama'ah sholat ashar, tiba-tiba ingin buang hajat. Jadilah aku ke toilet dan setelah membuka pintu untuk keluar. Guyuran air seember itu tepat jatuh di kepalaku. Belum selesai di situ, aku ditarik ke belakang hingga terjatuh.

Tawa menggelegar itu memenuhi area toilet wanita. Belum sempat aku berdiri, tangan Rania lancang menarik jilbabku. Beruntung masih bisa ku tahan.

"Ini ya, pacarnya Azhar? Ga yakin kalo Azhar suka sama cewek kayak lo," ucap kak Farah dengan seringainya. Berbanding terbalik waktu turnamen basket bulan lalu.

Tiba-tiba dari arah belakang, Rena menarik kedua tanganku. Diikat dengan tali yang yang cukup menyakiti pergelangan tanganku.

"Aku bukan pacarnya kak."

Rasanya tak sudi memanggilnya dengan tambahan kak.

"Berkali-kali lo ucap itu, tetep gue ga percaya. Ngerti!?" bentak kak Farah memegang daguku mengarahkan ke wajahnya.

Sakit? Jangan tanya lagi.

Berulang kali petuah Ayah, bang Hamdan, kak Azhar dan Abidzar menyuruhku untuk kuat. Berulang kali pula petuah itu terngiang-ngiang di telinga.

Ku bukan tak berani. Melainkan tak diberi kesempatan untuk berontak.

Lagi dan lagi aku diguyur dengan air. Tetapi kali ini dengan air es. Tubuhku yang sensitif dengan air dingin, langsung menyuarakan berontaknya. Tubuhku bergetar kedinginan.

"Langsung bawa aja ke sana kak. Udah terbuka lebar," cetus Rena pada kak Farah.

Tanganku mencoba berontak. Tapi ikatan itu terlalu kuat. Pergelangan tanganku jelas kesakitan.

Mereka menarik pundakku. Mengarahkan ke ruang yang selama ini selalu terkunci.

"Ini balasan untuk lo kemarin," lirih Rania dengan senyuman licik. Dan dua teman kak Farah itu mengikat kedua kakiku.

Masih beruntung mulutku tidak diplester. Dan tentu mereka keluar dengan mengunci pintunya.

Berulang kali ku rapalkan dzikir. Kakiku mencoba melepaskan ikatan itu. Tanganku mencoba untuk kugerakkan guna melepas ikatan. Namun nihil.

MaHar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang