Epilog

90 6 4
                                    

Gue baru mengetahui sulitnya menundukkan pandangan. Gue baru tau susahnya menjaga aurat. Gue baru tau susahnya tidak bersentuhan bukan mahram. Gue baru tau menuntut ilmu agama itu butuh perjuangan.

Salaman pertemanan dengan Ziya dan Eira pun sangat sulit ku hindari. Eh sekarang tinggal Ziya. Eira udah ga pernah ikut kumpul lagi. Meskipun masih berhubungan baik denganku, Ziya dan Haqi.

"Lo kenapa ga mau salaman lagi?" tanya Ziya ketika gue menolak berjabat tangan dengannya.

"Lebih baik gini aja," balasku. Kemudian dia memilih pulang.

Dia memang izin pulang duluan. Ada acara penting yang membuat dia pulang sebelum ekstra pramuka selesai.

Beberapa menit setelah Ziya pulang. Hujan mengguyur dengan derasnya. Kegiatan yang semula di halaman. Langsung dievakuasi ke kelas.

Bahkan sampai kegiatan selesai hujan tak kunjung reda. Akhirnya semua diarahkan untuk sholat ashar sekalian.

"Har, gue duluan," pamit Haqi memilih pulang duluan.

"Hati-hati, Haq."

Jika saja ga mikirin adik-adik. Gue pun memilih pulang duluan. Gue ga berani pulang sebelum anak kelas sepuluh pulang semua.

Ada yang nunggu jemputan, ada yang nunggu terang gara-gara ga bawa jas hujan.

Satu per satu pulang. Kini hanya ada beberapa yang masih di sekolah. Ditemani guyuran hujan, duduk diam di serambi masjid sekolah.

"Han!" Aku memanggil Hana. Akibat malas berjalan, ya mending teriak.

"Ada apa, Bang?"

"Ga bawa jas hujan atau malas pulang?"

"Dua-duanya sebenarnya. Tapi itu ..., bingung Izma. Baterainya habis, ga bisa ngehubungi keluarganya. Kalo ga reda ya nanti nekat pulang."

Gue sebenernya bawa jas hujan. Tapi hanya bisa untuk satu orang. Gue hujan-hujanan sebenernya juga ga masalah. Udah biasa juga.

Izma bentar lagi ada olimpiade nasional. Kalo sampe nekat hujan-hujanan. Sakit ya gagal berangkat malahan.

Aku langsung mencari ponselku. Bodo amat hujan petir. Beruntung bang Hamdan lagi online. Jadi bisa cepat tersampai pesannya.

"Di jok motor ada jas hujan, kamu pake aja. Izma bentar lagi dijemput abangnya."

Aku memberikan kunci motorku pada Hana. Efek malas jalan ya akhirnya nyuruh.

"Kok bisa sampe kenal abangnya!? Udah sedekat itu, Bang?"

Jangankan nomor bang Hamdan, nomor om Burhan aja gue tau. Dan sampai saat ini masih berhubungan baik.

"Cepetan ambil jas hujannya. Lagi males denger ocehan gue, Han!"

Hana langsung pergi sambil menggerutu. Sebenarnya itu hanya trik agar Hana tidak tanya macam-macam.

"Har!" teriak Aabid memanggilku. Tapi yang menoleh bukan hanya aku. Tetapi semua anak pramuka yang masih ada di sini.

"Dah buka pengumuman belum? Lo lolos seleksi provinsi, Har!"

Gue diam. Antara kaget dan seneng bercampur jadi satu. Sangat tidak menyangka jika gue lolos seleksi atlet provinsi.

Itu impian gue udah lama.

Aabid heboh sendiri setelah melihat pengumuman itu.

Gue langsung mengecek pengumuman untuk memastikan sendiri. Ga percaya kalo ga liat sendiri.

Dan benar, gue lolos. Bukan cuma gue, tapi juga Abidzar. Tapi sayangnya Aabid dan yang lainnya ga lolos.

Ternyata benar kata Izma. Lebih baik fokus ke impian masing-masing. Dan aku harap ada kabar baik tentang dia di minggu ini. Lebih tepatnya kabar tentang kemenangannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 18, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MaHar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang