Keluarga itu hangat. Hanya saja rasanya sangat sepi untuk mereka. Bagaimana tidak? Rumah yang besarnya bukan main, hanya dihuni oleh Han Seonho dan kedua anaknya. Disana tampak ramai hanya karena banyak maid dan pekerja lain.
Terlebih, Jisoo dan Jennie baru saja kembali setelah sepuluh tahun berlalu. Mereka tak punya teman di negara itu. Ingin mengusir kebosanan pun bingung harus seperti apa.
"Bagaimana masalah di perusahaan, Appa? Semuanya sudah baik-baik saja?"
Saat ini mereka sedang melakukan sarapan bersama. Walau Seonho tergolong orang yang sangat sibuk, dia tak mau melupakan anak-anaknya. Mereka tidak boleh merasa kehilangan figur dirinya.
"Appa harus menghadiri beberapa persidangan karena kasus suap yang dilakukan direktur perusahaan." Jawaban Seonho tampak sekali sedang menggambarkan bahwa masalah yang dia hadapi sangat sulit.
"Tapi, Appa tidak bersalah kan?" tanya Jennie takut.
Dia sangat mengenal ayahnya. Seonho tak akan pernah melakukan hal kotor seperti itu untuk menang dari pesaingnya.
"Direktur melakukannya tanpa bicara pada Appa. Tapi sebagai CEO, Appa harus hadir." Penjelasan Seonho membuat kedua anaknya merasa lega.
Menjadi kaya, bukan berarti tak ada masalah yang mereka hadapi. Justru, terkadang masalah yang datang begitu sulit untuk terselesaikan.
"Awalnya, Appa merasa sulit karena sendirian. Tapi sekarang, ada kalian di samping Appa. Jadi, Appa tak takut lagi."
Jisoo dan Jennie tersenyum hangat. Keduanya berdiri dan menghampiri sang ayah. Mereka masuk ke dalam dekapan Seonho yang hangat.
"Terima kasih, malaikat-malaikat Appa." Tangannya mengusap kepala kedua anaknya. Dia begitu beruntung memiliki dua anak yang selalu pengertian.
Mereka tak pernah menuntut Seonho. Tapi mereka juga tak pernah pergi dari sisinya. Mereka adalah kekuatan Seonho selama ini untuk bertahan hidup. Jika mereka tak ada, Seonho yakin dirinya lebih memilih untuk mengakhiri hidup sejak lama.
"Appa, masalah adik---"
"Ya! Kenapa membahasnya lagi?" Jisoo berseru dengan kesal, memotong kalimat Jennie yang belum terselesaikan.
Jisoo sungguh tidak mengerti, bagaimana bisa Jennie mendadak begitu menginginkan seorang adik setelah bertemu orang tak dikenal.
"Aku memginginkan adik, Unnie." Rengekan itu membuat Jisoo memutar bola matanya jengah.
"Tapi aku tidak! Menghadapimu saja aku sudah darah tinggi."
Jennie cemberut. Lalu pandangannya beralih pada Seonho yang hanya tersenyum melihat tingkah kedua putrinya.
"Appa," rengek Jennie pada sang ayah.
Seonho menghela napas pelan. Anak keduanya itu sudah berumur sembilan belas tahun, tapi sikapnya masih saja seperti anak kecil. Mungkin karena memang Jennie tak memiliki seorang adik.
"Jennie-ya, mendapatkan seorang adik bukan seperti mendapatkan sebuah mainan."
Kepala Jennie mendadak menunduk. Sepertinya dia memang terlalu berlebihan. Tapi entah mengapa, keinginannya begitu besar untuk memiliki seorang adik. Bukan hanya kakak seperti Jisoo.
"Appa berangkat sekarang, eoh. Sampai ketemu malam nanti." Seonho bangkit dari kursinya. Memberikan kecupan di dahi kedua anak itu lalu pergi dengan membawa tas kerja.
..........
Aroma masakan sang ibu di pagi hari memang selalu membuat Lisa bersemangat. Kantuknya seakan hilang, tergantikan oleh senyuman yang terpatri di bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle Piece ✔
FanfictionPuzzle tidak akan pernah utuh jika salah satu hilang. Seperti mereka, yang tak akan bisa menjadi utuh jika terpisah. Mereka adalah Puzzle, yang seharusnya menyatu sejak awal.