Hujan sedang mengguyur kota Seoul saat ini. Pukul satu dini hari, udara dingin terasa menusuk tulang terlebih di dalam rumah sederhana tanpa penghangat ruangan itu.
Tangan Hanna tak pernah berhenti mengusap kepala Chaeyoung yang menjadikan pahanya bantalan. Rambut gadis itu lepek karena penuh akan keringan kesakitan.
Bibirnya terus memgeluarkan ringisan, sedangkan tangan kirinya sibuk meremas baju bagian dada kanan yang sakit bukan main.
Matanya terus terpenjam, berusaha menggapai kantuk. Tapi rasa sakit itu menghalanginya. Chaeyoung tidak bisa tertidur sama sekali.
"Chaeyoung masih bisa menahannya kan?" Suara Hanna terdengar bergetar kala itu.
Ingin sekali dia berkata jika tak apa. Tapi kondisinya benar-benar buruk sekarang. Apalagi saat dia merasakan sebuah cairan hangat mengalir dari salah satu lubang hidungnya.
Dengan penuh kelembutan, Hanna meraih sebuah handuk kecil di dekatnya untuk menghapus darah yang mengalir dari hidung mancung Chaeyoung.
Matanya terus menatap pintu dengan pandangan penuh harap. Karena dia sedang menunggu Lisa yang muncul dan membawa obat untuk Chaeyoung.
Hari ini, gadis itu tak meminum obatnya dengan teratur karena habis. Chaeyoung tidak memberitahu, dan Lisa maupun Hanna tidak memeriksanya.
Sedari tadi perasaan Hanna sungguh resah. Maka dari itu pukul dua belas malam dia memasuki kamar Chaeyoung dan mendapati tubuh anaknya itu dalam keadaan tak baik.
Kalang kabut, dia menyuruh Lisa yang baru saja pulang bekerja untuk mencari obat Chaeyoung. Tidak peduli jika di luar hujan, tidak pula dia sadar bahwa telah membentak Lisa karena tak memeriksa persediaan obat Chaeyoung.
Wanita itu terlalu panik, hingga tidak bisa berpikir jernih. Sampai sekarang pun, dia tak sadar bahwa bentakamnya itu mampu membuat luka di hati Lisa.
"Tunggu sebentar lagi, hm? Lisa sedang membelinya."
Perlahan, mata sayu itu terbuka dengan lemah. Mendadak dia merasa khawatir dengan Lisa. Di luar sedang hujan deras, dan adiknya tidak tahan dengan udara dingin.
..........
Lisa mendesis ketika bus itu pergi sebelum dia sampai di halte. Padahal Lisa sudah nekat menerobos hujan untuk sampai disana.
Memandang sebuah kantung plastik berwarna putih di tangannya, Lisa merasa semakin khawatir dengan Chaeyoung. Dia tak mungkin sampai di rumah dengan cepat. Hari sudah larut dan kendaraan umum sangat jarang.
Lisa memasukkan obat milik Chaeyoung ke dalam kantung hoodienya. Lalu pergi dari halte itu hingga tubuhnya kini sudah basah kuyup karena terguyur hujan deras.
Bus selanjutnya akan datang satu jam lagi. Lisa tidak bisa menunggu selama itu, hingga dia memutuskan mencari kendaraan umum lain dengan berlari di trotoar.
Setidaknya Lisa harus menemukan sebuah taksi untuk mengantarnya pulang. Dia harus cepat sampai rumah jika tak mau kondisi Chaeyoung semakin memburuk.
"Kenapa ceroboh sekali hingga tak tahu obat kakakmu habis? Kau ingin melihat dia kesakitan?"
Di tengah langkah cepatnya itu, Lisa menggeleng pelan ketika suara bentakan Hanna mulai memenuhi kepalanya kembali.
Seumur hidup, tak pernah dia menerima bentakan seperti itu dari sang ibu. Wajar saja jika kini dia merasa cukup tersakiti.
"Aku memang adik yang bodoh," gumam Lisa yang sebenarnya sedang menangis, namun tersamarkan oleh derasnya hujan.
Kaki jenjang itu terus menapaki jalan trotoar yang sepi. Lisa tak lelah untuk terus berlari, sesekali menoleh kesana-kemari untuk mencari sebuah taksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle Piece ✔
FanfictionPuzzle tidak akan pernah utuh jika salah satu hilang. Seperti mereka, yang tak akan bisa menjadi utuh jika terpisah. Mereka adalah Puzzle, yang seharusnya menyatu sejak awal.