Malam itu, Seonho duduk dengan pandangan kosong di sebuah sofa yang terletak pada ruangan petinggi rumah sakit. Karena kesalahan salah satu dokter, Seonho dengan perasaan tak karuannya harus berada disana untuk mendengar sebuah omong kosong.
"Tuan, kami akan memberikan kompensasi karena---"
"Kau pikir nyawa anakku bisa dibeli dengan uang?" Amarah pria itu lepas kendali.
Saat ini, dirinya begitu terpuruk karena keadaan Lisa yang memburuk akibat kelalaian seseorang. Dan dirinya dipaksa agar tidak menuntut dengan diberikan sejumlah uang untuk nyawa Lisa.
Mendapatkan respon kehebingan dari amarahnya, Seonho memilih bangkit. Dia berjalan cepat menuju dokter junior yang saat ini duduk dengan kepala terus menunduk.
Ditariknya kerah jubah putih itu hingga sang pemilik berdiri. Lalu dipukulnya wajah itu dengan sekuat tenaga hingga semua memekik.
"Tuan! Kumohon jangan melakukan kekerasan." Seorang petinggi lain menahan bahu Seonho, namun lelaki itu menepisnya dengan kasar.
"Apakah sakit? Anakku... Dia bahkan merasakan hal yang lebih sakit dari pukulan ini! Itu semua hanya karena keteledoranmu, Brengsek!" Seonho kembali memukul dokter muda itu hingga jatuh tersungkur di lantai.
Mengusap wajahnya kasar, Seonho berbalik untuk menatap petinggi rumah sakit yang berniat memberinya kompensasi tadi.
"Aku tidak akan menerima kompensasi. Aku akan tetap menuntut dokter itu."Setelahnya, Seonho keluar dari sana. Meninggalkan suasana kacau yang tercipta karena amarahnya. Seonho tidak bisa berlama-lama di dalam ruangan itu, atau dia bisa membunuh sang dokter muda karena perasaan marah itu.
"Kenapa kau berniat memberinya kompensasi? Kau membuat semuanya menjadi kacau, Hyung." Petinggi yang sempat menahan bahu Seonho mulai berbicara.
Dia menatap sang kakak tak habis pikir, lalu beralih pada keponakannya yang menangis dalam diam di atas lantai ruangan itu.
"Kau tau Geodda Group? Dia adalah pemiliknya." Ungkapan itu membuat petinggi yang hendak memberikan kompensasi pada Seonho itu terbelalak.
"Kau pikir kompensasi akan diterima oleh orang dengan banyak uang seperti dirinya? Dia hanya ingin anakmu ini mendapatkan hal setimpal." Mendesis kesal, pria itu keluar dari ruangan sang kakak.
..........
Malam hampir usai. Tapi tak satu pun di ruangan itu ada yang terlelap. Semuanya terjaga dengan perasaan cemas.
Genggaman tangan yang semula sangat erat, kini mulai melemah. Jennie bisa merasakan hal itu. Bahkan rintihan yang selalu ia dengar, sekarang sudah tak ada lagi.
Dia pikir, rasa sakit itu sudah hilang dari kepala Lisa. Tapi dia sadar, bahwa pemikiran itu salah karena mendapati napas adiknya mulai tersendat.
"Sayang, kau dengar Unnie?" Jennie mengusap sisa air mata pada wajah Lisa.
Adiknya tidak merespon. Jennie hanya bisa melihat sebelah mata Lisa sudah tertutup sempurna, sedangkan yang sebelah masih terbuka hingga setengah.
"Lisa-ya, ayo genggam tangan Unnie lagi." Jennie mengusap bibir kering Lisa yang terbuka.
Gadis itu mulai panik, juga kedua saudarainya. Mereka berusaha membangunkan Lisa. Tapi bukannya mata itu yang terbuka, justru hal mengejutkan lain yang membuat mereka kembali menangis.
Lisa tiba-tiba mengalami kejang. Chaeyoung dengan cepat memeluk tubuh itu, sedangkan Jennie menekan tombol di dekat ranjang secara telur-menerus.
"Andwe, Lisa-ya. Jangan seperti ini." Chayoung tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Saat Jisoo menariknya untuk menjauh dari tubuh Lisa pun dia pasrah. Berakhir hanya terus menangis di dekapan sang kakak sulung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle Piece ✔
FanfictionPuzzle tidak akan pernah utuh jika salah satu hilang. Seperti mereka, yang tak akan bisa menjadi utuh jika terpisah. Mereka adalah Puzzle, yang seharusnya menyatu sejak awal.