42. Her Promise

10K 1.6K 330
                                    

Hidup memang tidak bisa di tebak. Ada saja hal yang terjadi di luar pikiran manusia. Lisa, bahkan sampai saat ini tidak bisa percaya. Bahwa kini ia hidup tanpa jantung yang asli.

Setelah semalam keluarganya berterus terang, Lisa tidak bereaksi apa-apa. Dia hanya diam, berpikir. Tentang hal yang mustahil itu. Hal yang benar-benar tak pernah Lisa pikirkan selama ini terjadi padanya.

Perlahan, dia meraba perban yang menutupi luka operasi jantungnya. Apakah benar disana hanya ada sebuah mesin? Jika seperti ini, sekarang Lisa hidup atau sudah mati?

Lisa menarik napas dalam. Ingatannya terlempar pada Chaeyoung yang tadi malam terus meminta maaf sembari menangis. Gadis itu mengaku, bahwa ialah yang berikeras untuk membuat dokter memasangkan alat itu pada Lisa.

Haruskah Lisa marah? Tapi di satu sisi, Lisa mengerti bagaimana perasaan Chaeyoung. Karena dia juga pernah ada di posisi itu. Sulit melepaskan saudara kembarnya mati terlebih dahulu.

"Lisa-ya, di cafe banyak yang merindukanmu. Jika sembuh, berkunjunglah kesana."

Lisa bahkan lupa jika sedari tadi ada Hanbin di dekatnya. Gadis itu terlalu terhanyut dalam lamunannya mengenai kenyataan hidup yang sungguh menyedihkan.

"Oppa, sepertinya saat itu aku salah menulis doa." Suaranya masih sangat serak, tapi Lisa bersyukur karena tak terbata lagi. Walau selang itu masih menancap di lehernya sekarang.

"Hm?" Hanbin tampak bingung.

"Tuhan mengabulkan semua kata yang ku tulis. Semuanya, tanpa terkecuali." Lisa sangat ingat, bagaimana doanya tertulis saat itu di kertas yang terbawa oleh lampu lampion pemberian Hanbin.

Seketika dia tersadar, bahwa doa itu memang terkabul tanpa meninggalkan satu kata pun. Apakah memang kehidupan kakaknya harus ditukar dengan penderitaan Lisa? Jika iya, maka gadis itu akan mencoba ikhlas mulai sekarang.

"Bukankah itu bagus?" Hanbin masih dibuat kebingungan, karena dia tak tahu apa yang tertulis di kertas Lisa kala itu.

"Bagus. Sangat bagus. Hanya saja, aku sedikit salah menulisnya." Lisa berkata dengan pelan.

..........

Waktu sudah semakin malam. Rumah sakit itu tak lagi ramai seperti tadi. Hanya ada beberapa orang berlalu lalang, dan Seonho salah satunya. Dengan kedua tangan membawa cup kopi panas.

"Igeo." Seonho memberikannya satu pada Hanna yang tengah duduk di koridor sembari melamun.

"Apakah baik-baik saja jika kau terus di rumah sakit dan mengabaikan pekerjaan? Sejak Chaeyoung masuk kesini hingga Lisa, kau tidak pernah pulang."

Seonho memang sudah lama tak menginjakkan kakinya di rumah mau pun kantor. Lelaki itu mengabaikan semua hal demi kedua putrinya yang selama ini tak ia rawat dengan baik.

"Ada Jihyun yang menanganinya." Seonho memilih duduk di samping sang istri.

Mereka terjebak dalam keterdiaman sejenak. Sibuk dengan pikiran masing-masing yang sebenarnya sama. Sembari menikmati kopi panas yang akan membuat mereka terjaga hingga pagi.

Setiap malam, mereka akan menemani Lisa yang tak bisa jatuh tidur saat malam. Anak bungsu Han itu akan selalu menahan sakit hingga pagi dengan tangis diamnya. Dan tugas Hanna mau pun Seonho adalah menemani sang putri.

"Apakah kita terlalu egois pada Lisa?" Tiba-tiba kalimat itu terlontar dari bibir Hanna.

Setiap saat, dia selalu memikirkan bagaimana perasaan Lisa. Anak bungsunya itu, kini tidak bisa untuk hidup normal seperti dulu. Anaknya itu, seharusnya sudah tenang di alam lain. Namun mereka dengan egois tetap menahan dengan cara yang cukup menyakiti Lisa.

Puzzle Piece ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang