Malam ini salju kembali tiba di Seoul. Chaeyoung bisa melihatnya dari jendela kamar rawat yang tirainya tidak ditutup itu. Sangat indah. Ingin sekali dia bisa berlari di atas tumpukam salju, seperti beberapa tahun silam sebelum penyakit itu merenggut kesehatannya.
Dulu, ketika salju turun Chaeyoung akan selalu berlari keluar dari rumah dan bermain sendirian. Karena sang adik tidak kuat dingin seperti dirinya.
Sekarang, dia mendambakan masa-masa itu. Dimana dia masih sanggup berlari dengan riang, dan bisa melakukan apa pun sesukanya. Bahkan terkadang memamerkan boneka salju yang dia buat pada Lisa yang selalu terkurung di dalam rumah ketika musim dingin.
Tapi lihatlah dia sekarang. Untuk bernapas, buang air kecil, dan makan saja dia harus membutuhkan sebuah selang. Bangun dari tidur pun, dia tak sanggup.
Chaeyoung sadar, kondisinya sungguh menyedihkan. Tapi dia tak mau menyerah. Setidaknya, dia harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Untuk adik kesayangannya.
Malam ini hanya ada Lisa yang berjaga di rumah sakit. Sebenarnya keluarga mereka yang lain ingin pergi ke rumah sakit, namun hampir semua jalanan di tutup karena badai salju.
Lisa sedang membaca sebuah buku perkuliahannya. Karena merasa sang adik tidak bisa diganggu, Chaeyoung memilih memandang jendela kamar rawatnya sejak tadi.
Tangan kurus yang hanya seperti tulang berbalit kulih itu tiba-tiba mengepal ketika kepalanya terasa sakit bukan main. Chaeyoung merasa kepala itu ingin meledak saat ini juga.
"Hhhgg~"
Tangannya beralih meremas selimut tatkala Chaeyoung merasa napasnya sulit sekali berhembus keluar. Seperti tertahan di dadanya. Sangat sakit.
"Unnie, wae geure?" Ketika mendengar suara mesin disana berbunyi amat nyaring dan mengerikan, Lisa segera menekan tombol yang ada di dekat ranjang Chaeyoung.
Dia mengusap kasar kepala kakaknya yang menengadah. Bibirnya terus berusaha bergerak, dan matanya mulai mengeluarkan air mata begitu deras.
"Lisa-ya, sakit. Unnie kesakitan," rintih Chaeyoung dalam hati.
Perutnya mulai terasa nyeri. Bahkan Chaeyoung hampir saja meremasnya jika saja Lisa tak menahan. Adiknya itu juga sudah ikut menangis, pasti karena ketakutan lagi.
"Lihat, Lisa sudah mengusapnya. Pasti sakitnya akan hilang, hm?" suara Lisa begitu bergetar dengan tangan mengusap dada dan perut sang kakak yang membengkak bergantian.
"Hhugh~"
Muntahan berupa cairan keruh dan bercak darah mengalir dari sudut bibir Chaeyoung yang tak terhalang selang endotrakeal. Lisa segera mengusapnya dengan tangan kosong. Mengumpat dalam hati karena dokter tak segera datang.
"Tahan, ya? Unnie bisa. Unnie adalah kakakku yang kuat kan?"
Chaeyoung ingin sekali mengangguk. Tapi sepertinya kondisi gadis itu semakin menurun. Terbukti dengan angka-angka di monitor yang terus menurun. Serta dirinya yang seakan kehilangan tenaga, hingga tangannya terkulang lemah.
Dokter dan perawat mulai berdatangan. Memeriksa bahkan memberikan Chaeyoung obat. Tapi, monitor-monitor itu terus saja berisik.
"Lisa-ya, kita akan memindahkan Chaeyoung ke ICU." Bahunya ditepuk pelan oleh Dokter Hong.
Seuluruh tenaganya seakan hilang entah kenapa ketika mendapati sebuah tatapan sendu yang sungguh tak dia sukai dari mata Dokter Hong.
"Wae?" tanya Lisa dengan serak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle Piece ✔
FanfictionPuzzle tidak akan pernah utuh jika salah satu hilang. Seperti mereka, yang tak akan bisa menjadi utuh jika terpisah. Mereka adalah Puzzle, yang seharusnya menyatu sejak awal.