12 - It's Always Her

4.6K 458 118
                                    

"Aku Cinta." Gadis cantik itu mengulurkan tangan lebih dulu.

Ganesh menatap bingung tangan mulus yang terulur sudah di depan tubuhnya. Ia pun menanyakan, "Cinta... cinta apa?"

Nona dengan senyum aduhai itu tersenyum semakin juita. "Itu namaku, namaku Cinta." Ia lembut menjawab, lalu tersipu malu.

Ganesh pun jadi ikut malu. "Oh, maaf. Aku Ganesh," balasnya, kemudian menyambut tangan mulus milik Cinta.

Hari itu Cinta dan Ganesh |

__________________

Sudah beberapa hari ini, Aiden sering teringat gadis sipit rapi berambut panjang bernama Kasih. Bukannya apa, menarik saja menyadari percakapan mereka kerap nyambung di segala situasi. Makin lucu, beberapa hari lalu Kasih mengobrol akrab dengan sang putri lewat telepon Messenger.

Tak tanggung-tanggung, Aiden betul menyisipkan pertemuan pertamanya dengan Kasih sebagai inspirasi adegan pada salah satu bagian novel yang sedang ia garap.

Namun, senyum menjiwai Aiden seketika luntur, jemari lentiknya pun refleks tersendat kaku, ketika suara ribut-ribut dari luar ruang kerjanya mengganggu. Sedari tadi ia di depan laptop, mengetik naskah novelnya yang baru.

Aiden pun berdiri dari duduk, berjalan menuju pintu dengan langkah agak tergesa. Tanpa mengintip dari jendela, langsung membuka pintu ruangan, melihat ke arah kanan di mana suara marah-marah hebat terdengar. Aiden lekas mendatangi, lalu tiba di tengah lima karyawan yang sedang berdiri di tempat yang sama.

"Gak ada otak kamu!" bentak seseorang, kemudian mengayunkan tangan ke atas.

Satu detik, Aiden cepat menangkis tangan orang yang tengah dilanda amarah tersebut. "Toni!" sentaknya keras.

Karyawan yang bernama Toni itu terkejut. "Pak Aiden?" Ia merespons. Melihat tangannya digenggam Aiden, mata Toni terbuka lebih besar.

Aiden melepaskan tangan Toni. "Ada apa ini? Ini anak siapa? Kenapa mau kamu pukul?" tanyanya mulai emosi.

Isakan kecil terdengar. Aiden mengarahkan tatapannya agak rendah, pada anak laki-laki yang tertunduk dalam tangisan.

"Itu anak saya, Pak," Toni menunduk, "dia ke sini mau anterin bekal saya yang ketinggalan di rumah, disuruh istri saya. Tapi ke sini malah lari-larian, akhirnya nabrak pot bunga yang di dekat kamar mandi sampai pecah, Pak," jelasnya dengan hati-hati.

Aiden memandang sudut kiri, sudut toilet yang Toni maksudkan. Ada pot bunga besar yang sudah pecah di sana. Tanah-tanah berhamburan ke lantai, sedang berusaha dibersihkan oleh dua office boy perusahaan.

Menghela napas, Aiden mencoba tidak marah. "Ton, pot pecah bisa dibeli lagi," tukasnya tegas, "tapi kalau anak kamu, sekali kamu pukul, dia akan ingat terus seumur hidup. Apalagi di tempat umum begini kamu marah-marahi."

Toni semakin menunduk. Merasa malu sudah jadi pusat perhatian bos yang biasanya ramah selalu.

"Kalian bubar, tidak usah kumpul-kumpul di sini." Aiden mengusir karyawan-karyawan lain yang diketahuinya cuma penasaran saja.

Yang disuruh pergi pun langsung membubarkan diri. Tatapan Aiden terfokus pada Toni lagi, sebelum menatap anak Toni yang sedari tadi masih pelan menangis.

DADDY ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang