"KITA putus saja." ucap laki-laki itu dengan wajah datar. Tatapannya lurus menikmati raut wajah kecewa wanita di depannya.
"Tapi, besok hari pertunangan kita. Kau tidak serius kan?" wanita yang sekarang wajahnya sudah pucat pasi itu tampak menahan tangis. Kedua matanya berkaca-kaca sambil menatap satu objek yang sangat dicintainya itu. "Jae...katakan kalau kau sedang bercanda. Uh?"
Pria bernama Jae itu mendesah, kemudian memberikan satu kode kepada seseorang yang sejak tadi sudah menunggu untuk terlibat dalam percakapan. Dengan senyuman merekah yang sudah terlatih, sang wanita dengan wajah cantik bermata bulan sabit itu mendekat. Suara heels yang dipakainya terdengar berirama saat menyentuh ubin lantai di dalam restoran mewah itu.
Wanita itu merangkul manja kepada pria yang kini sudah berdiri dari duduknya. "Sayang, dia siapa? Kenapa lama sekali!" ucapnya dengan wajah merajuk.
Jina—wanita yang sedang duduk, yang baru saja mendapatkan sebuah pemutusan hubungan sepihak—langsung membeliakkan mata. Jantungnya berpacu dengan hebat saat melihat rangkulan tangan wanita lain pada calon tunangannya. Ditatapnya wanita lain itu dengan pandangan tak percaya. Dengan wajah secantik itu, Jina yakin kalau dia bisa mendapatkan laki-laki yang memang available. Bukan milik orang lain.
"Nona, siapa kau?" Jina membentak.
Wanita itu langsung menatap Jina dengan pandangan heran. Kedua alisnya terangkat, "Aku? aku calon istri Jae. Kau siapa?"
"Apa?" kata Jina tak percaya, tatapannya langsung beralih pada Jae, rasanya dia ingin menangis seketika. "Jae, katakan kalau itu tidak benar."
"Benar." Jae mengangguk. Mengambil tangan yang merangkul lengannya itu untuk dia genggam. "Maafkan aku, Jina. Aku tidak bisa melangkah bersamamu. Ternyata, bukau yang kuinginkan."
Lalu, tanpa menunggu Jina menyerap kata-kata itu dengan baik, Jae sudah melangkah pergi membawa wanita dalam gandengannya. Pergi meninggalkan semua kenangan yang telah mereka bangun selama lima tahun belakangan. Tubuh Jina merosot, luruh menyentuh lantai dengan tatapan nanar. Air matanya berlinang, jatuh tak tertahan. Cintanya telah pergi, bahkan dengan alasan yang tidak ia ketahui.
Tanpa Jina tahu, jika sepasang mata yang pergi itu juga sedang menahan air mata yang mendesak keluar. Dia selalu dilatih dan diajari kalau laki-laki tidak boleh menangis.
***
From: jaejaej@jcorp.com
To: iamsuez@gmail.com
Date: 03 april 2021 8:17 PM
Terima kasih, Suez. Aku sudah meneransfer sisanya.
Senyum Suzy merekah lebar, tangannya langsung menyambar ponsel yang tak jauh dari jarak sentuhnya itu dan mengecek pesan masuk. Melihat nominal besar yang baru saja masuk ke rekeningnya, perasaan Suzy menjadi lebih bahagia.
"Sudah cair kah?"
Suzy menoleh, menatap sahabatnya yang sedang sibuk dengan laptop di depannya. "Mm, aku akan mentraktirmu."
"Tidak, tidak," Soojung menggeleng. "Aku tidak suka ditraktir. Kau simpan saja uang itu, bukankah katamu Jimin perlu melakukan operasi kedua?"
Mendengar itu Suzy langsung mendesah. Wajahnya berubah murung tiap kali membicarakan Jimin. Kekasihnya.
"Benar. Aku khawatir, Jung." Kedua mata Suzy berair, menahan tangis. Dadanya terasa seperti ada yang meremas-remas. Membuatnya kesakitan.
Soojung mendekat, kemudian memeluk Suzy dengan erat. Satu tangannya bergerak mem-puk-puk punggung sahabatnya itu pelan. "Jimin akan baik-baik saja..."
"Bagaimana kalau pada akhirnya ketakutanku terwujud? Bagaimana kalau aku tidak berhasil menjaga Jimin...tidak berhasil membawanya sembuh..." tangis Suzy pecah.
"Tuhan dan semua orang tahu kalau kau sudah berusaha keras, Suzy. Sekarang, biarkanlah semesta yang bekerja. Aku sebenarnya sangat tidak mau melihatmu kesulitan, kau tahu, bagiku kau terlalu baik dengan Jimin. Bahkan keluarganya saja entah kemana. Suzy, kalau mau dipikir-pikir, Jimin bukan tanggung jawabmu."
"Aku menyayanginya."
"Tapi, kau tidak ada beban apalagi keharusan untuk se-loyal ini." Soojung melepas pelukannya. Kedua tangannya berada di pundak Suzy sambil menatapnya lurus. "Dengar, jangan menyalahkan dirimu. Kau berhak menikmati hidup, teman."
Suzy tercenung.
"Ini sudah dua tahun 'kan?" tanya Soojung.
"Ya..."
"Aku ingin kau menikmati hidup. Jangan hukum dirimu atas hal yang tidak kau lakukan, Suzy."
"Aku hanya merasa bersalah. Kalau saja Jimin tidak pergi menyusulku, kalau saja kami tidak bertengkar mungkin dia tidak akan terlibat kecelakaan..." Suzy mendesah. Kilas balik kejadian itu bagaikan mimpi buruk yang tiada habisnya. Bahkan, saat kedua matanya sudah terbuka, mimpi buruk itu masih juga terasa nyata.
"No. semua orang tahu kalau dia kecelakaan karena mabuk. Semua orang pada saat itu juga tahu kalau kau memergokinya sedang selingkuh dengan gadis pirang menyebalkan, lalu kalian bertengkar. Dia hampir memukulmu kalau aku tidak segera datang dan mengajakmu pergi. Itulah yang terjadi, Suzy. Dan yang terjadi setelah itu sama sekali bukan salahmu."
Suzy terdiam.
Melihat itu, Soojung menghela napas. "Aku tidak ingin ya mendengar kau terus-terusan menyalahi dirimu sendiri."
"Hm..."
"Jangan hm-hm saja, kau harus camkan ini dalam otak cantikmu itu. Sejujurnya sampai sekarang aku sama sekali masih belum bisa seratus persen menerima kenyataan kalau sahabatku merawat kekasihnya yang pernah berselingkuh. Tapi, aku mencoba menerima keputusan itu. Kupikir itu kau lakukan karena kau orang baik."
Suzy mendesah. Pembicaraan ini benar-benar berat. Soojung itu tipikal sahabat yang akan mengomelinya tanpa ampun kalau sesuatu hal berjalan buruk menurutnya, dan ini salah satunya. Ditatapnya Soojung dengan pandangan meminta. "Bisa kita sudahi pembicaraan ini? kau akan merasa percuma melakukan perawatan mahal kalau kau terus-terusan mengerutkan dahi dan mengomel, Jung."
"Siapa yang membuatku begini?" Soojung mendengus. Wanita itu kemudian berbaring di sisi kosong ranjang, pandangannya menatap langit-langit kamar apartemen Suzy. Lalu, menatap Suzy. "Omong-omong, seperti apa klienmu hari ini?"
"Luar biasa."
"Kenapa, kenapa?" tanya Soojung antusias. Dia benar-benar senang tiap kali mendengar cerita dibalik layar klien-klien Suzy. Rasanya menyenangkan sekaligus mendebarkan. Kadang membuat emosi, tak jarang membuat simpati.
"Dia menderita kanker stadium akhir dan dokter memvonis umurnya tidak lama lagi."
"Yang benar!?"
Suzy mengangguk. "Ya. Penampilannya sangat-sangat tidak mencerminkan bukan? Kau melihatnya saat kita meeting."
"Sangat!"
"Karena dia tidak ingin membuat kekasihnya menjadi janda dan calon anaknya nanti menjadi yatim, akhirnya dia memutuskan pergi. Dengan cara seperti itu, berharap agar kekasihnya itu membenci dan melupakannya."
"Oh tuhan, memang ada laki-laki seperti itu di dunia nyata?"
"Yang kuceritakan ini nyata, dan kita sedang di dunia nyata."
"Benar." Soojung langsung muram. "Aku jadi takut kalau Minhyuk melakukan itu padaku juga. Aku tidak bisa membayangkan sehari tanpa Minhyuk."
"Sungguh bucin sekali."
***
Cek ombak dulu^^
Kalau vote dan komen bisa pecah, Aku upload lanjutannya.Mungkin 50+ untuk vote dan 20+ untuk komen? Gimana?hihihi
KAMU SEDANG MEMBACA
Girlfriend Rent
FanfictionDISCLAIMER: Cerita ini hanya fiksi belaka. Author hanya meminjam nama tokoh, tempat, dan merek untuk kebutuhan cerita. Cerita milik author, sedangkan Idol milik orang tua dan agensinya.🧡 Sewa jasa pacar bayaran adalah side-job Suzy. "Apa yang terja...