be ambitious 11

614 86 11
                                    


Gerakan Kim Bum untuk membuka pintu toko rotinya jadi terhenti ketika dirasanya ada sebuah tepukan pelan di pundaknya. Ia pikir itu mungkin Hye Sun atau Seo Jun. Tapi, saat ia menoleh, yang dilihatnya justru So Eun yang tengah tersenyum manis padanya.

“Selamat pagi, Kim Bum.”

Tidak langsung menjawab sapaan manis So Eun, pria Kim itu menatap si cantik beberapa saat kemudian lalu melirik ke belakang si cantik—memastikan dengan siapa ia datang. Tapi, tidak ada siapa-siapa di sana.

“Selamat pagi.” Bergumam samar untuk membalas sapaan So Eun, Kim Bum lalu menumpuhkan seluruh tatapannya pada So Eun. "Apa yang mau kau lakukan pagi-pagi ke sini?”

“Mau bertemu denganmu.”

“Bertemu denganku?” Lalu, saat si cantik mengangguk cepat sebagai jawaban, pria Kim itu terlihat mengerutkan keningnya heran. “Untuk apa?”

“Tidak boleh?”

“Bukan begitu. Maksudnya, ini masih terlalu pagi. Kau tidak kerja?”

“Libur.”

“Libur?” Si cantik memberikan anggukan cepat lagi. “Sampai kapan?”

“Kapanpun aku mau.”

“Bisa seperti itu?”

“Bisa. Kalau kata tuan Hwang, aku ini bos, jadi bebas melakukan apa saja.”

Kim Bum tidak menjawab apa yang So Eun katakan. Ia hanya mengangguk sekilas sebelum berbalik hendak membuka pintu tokonya lagi.

“Bos ya...”

“Kenapa, Bum?”

“Tidak apa-apa.”

Setelah membuka pintu toko, Kim Bum lalu mempersilahkan So Eun untuk masuk lebih dulu. Ia tahu pasti jika wanita Kim itu pasti akan mengikutinya sepanjang hari ini. Dan dari pada tidak nyaman, ia pikir itu cukup bagus sehingga ia tidak perlu repot mencari So Eun ke kantor atau ke rumahnya.

“Bum-ah, kenapa tidak ada roti?”

“Baru mau dibuat.”

“Yang kemarin?”

“Sudah habis.”

“Lalu, kenapa kau tidak menyiapkannya dari semalam saja. Jam seperti ini biasanya orang-orang sedang mencari sarapan.”

“Semalam aku pulang terlambat. Biasanya juga aku datang ke sini di pagi buta untuk membuat rotinya. Tapi karena itu ya hari ini aku bukanya juga agak siang.”

“Kau sendiri yang membuat rotinya? Tidak ada koki?”

“Tidak.”

“Yang menjaga kasir?”

“Aku juga.”

“Toko ini, benar-benar hanya kau sendiri yang mengurus?”

“Tentu saja, ini kan milikku.”

Jawaban santai yang Kim Bum berikan membuat So Eun tidak dapat menahan diri untuk menatap pria Kim itu dengan tatapan takjub. Sedang yang ditatap nampak acuh dan mulai berjalan ke arah ruang penyimpanan bahan untuk mengambil beberapa bahan dari sana.

“Ngomong-ngomong, kau belajar membuat roti dari siapa, Bum?”

Pertanyaan itu So Eun ajukan saat Kim Bum sudah mulai menimbang bahan untuk membuat rotinya. Sehingga pria Kim itu hanya memberikan jawaban seadanya tanpa menatap si cantik.

“Mama.”

“Lalu, mamamu di mana sekarang?”

“Sudah tidak ada.”

“Tidak ada?”

“Meninggal bunuh diri karena stres.”

“Bum-ah, maafkan aku. Aku tidak bermaksud.”

“Santai saja, sudah lama dan kau juga tidak tahu.” Menjawab acuh, Kim Bum lalu melempar tatapannya pada So Eun. “Coba kau ke sini.”

“Untuk apa?” So Eun bertanya dengan kerutan di keningnya, tapi ia tetap melangkah ke arah Kim Bum.

Sampai di depan Kim Bum, pria Kim itu lalu menempatkan si cantik di hadapan mixer rotinya. Ia sendiri berdiri di belakang si cantik dengan tangan kiri berada di pundak si cantik.

“Karena kau sudah di sini, aku akan mengajarimu cara membuat roti.”

“Astaga, Bum, tidak perlu kau ajari. Ini hanya perlu dimasukan ke dalam sini dan tekan tombolnya.”

Lalu, jawaban yang So Eun berikan sukses membuat Kim Bum mendengus malas. Detik berikutnya, tangan si tampan Kim itu bergerak untuk mendorong pelan kening So Eun.

“Tidak seperti itu juga.”

“Tidak seperti itu bagaimana? Ini kan hanya perlu memasukan tepung, gula, telur, air, mentega, lalu apa ini yang coklat kecil? Butiran debu, ya?”

“Kenapa tidak sekalian butiran pasir saja?”

“Oh, itu pasir?”

Sahutan So Eun dengan wajah polosnya membuat Kim Bum melongoh. Sungguh ini So Eun? Maksudnya, wanita ini terlalu polos atau bodoh sih?

“Bukan, itu lumpur.”

“Lumpur, tapi kenapa tidak basah?”

Haha, untung tidak iya iya saja.

“Aku tidak tahu. Lagi pula mana ada orang membuat roti dengan lumpur, pasir atau debu? Yang ada rumah sakit penuh nanti.”

“Siapa tahu saja memang begitu.”

“Terserah kau.” Menjawab malas, Kim Bum lalu mendorong pelan So Eun menjauh dari mixernya. “Lebih baik kau minggir saja sana.”

“Kenapa marah? Kan kau yang memanggilku ke sini.”

Lalu, jawaban yang So Eun berikan sukses membuat Kim Bum menatapnya dengan tatapan melotot. Tangan kanan pria Kim itu hampir saja terangkat untuk melakukan sesuatu padanya. Tapi, si cantik justru menatapnya dengan tatapan polos tanpa dosa.

“Astaga kau ya, So Eun.”

“Kenapa?”

“Sangat menggemaskam, rasanya ingin sekali kupukul.”

“Kenapa jahat?”

“Karena kelakuanmu seperti ini. Kemarin-kemarin juga kalau kau makan atau melakukan apa saja, pertanyaan yang kau ajukan selalu tidak masuk akal. Tentu saja itu membuatku ingin memukulmu.”

“Jangan dipukul juga, Bum.”

“Gemas, Sso. Kau paham tidak sih?”

“Ya kalau gemas, cium aja. Jangan dipukul. Kalau dipukul itu sakit, kau tahu?.”

“Orang kalau gemas, biasanya ingin mencubit, bukan cium.”

“Tapi, kau mau memukulku.”

“Agar beda.”

“Tidak, itu sama.”

“Sama apanya?”

“Sama-sama sakit. Jadi, kalau kau gemas denganku, cium saja.”’

“Ya sudah, sini kau. Aku mau menciummu.”

“Ya?”

•be ambitious•

















Thank you...

be ambitiousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang