Pagi sudah datang, bahkan sebentar lagi siang juga akan datang. Tapi, So Eun masih memejamkan matanya dan betah dalam pelukan Kim Bum. Kedua manik indahnya masih terpejam erat dengan wajah damai yang bersandar tenang di dada Kim Bum.
Menatap wajah So Eun membuat Kim Bum menghela napas berat. Pria Kim itu sudah bangun hampir satu jam yang lalu. Tapi, iapun masih diam pada posisi yang sama. Jangankan bergerak untuk beranjak dari posisinya, melepaskan pelukannya dari tubuh So Eunpun enggan ia lakukan.
Dan entah sampai kapan ia akan seperti itu. Diam saja dan menikmati bagaimana So Eun tetap indah dalam keadaan apapun. Hingga sebuah senyum kecil perlahan menghiasi wajahnya dan ia mulai bergerak untuk memberikan sebuah kecupan lembut di kening si cantik.
Setelah menjauhkan bibirnya dari kening So Eun, Kim Bum kembali memandang keindahan itu. Senyumnya masih terukir ketika tangannya perlahan naik untuk mengelus puncak kepala si cantik.
“Aku...”
Ddrrttt ddrrttt...
Senyum Kim Bum perlahan menghilang—saat kalimatnya belum ia ucapkan sama sekali—karena getaran panjang ponsel So Eun yang ada di atas nakas. Awalnya ia ingin mengabaikan benda itu, tapi karena takut mengganggu tidur si cantik, dengan susah payah ia lalu bergerak untuk meraih benda persegi itu.
Saat sudah di tangannya, Kim Bum dapat melihat nama Young Hwa yang tertera di layar ponsel. Ada apa sekretaris So Eun itu menelpon di saat atasannya sedang libur?
Tidak mau memikirkan jawabannya sendiri, Kim Bum lalu bergerak untuk menjawab telpon itu. Bukankah bertanya pada Young Hwa lebih baik dari pada menebak sendiri?
“Hallo?”
“Hal.. Ini siapa?”
“Aku.”
“Aku...? So Eun sedang di tokomu?”
“Tidak, dia sedang di rumah.”
“Sedang di rumah? Lalu, bagaimana bisa kau yang menjawab telponnya?”
“Ya, dia sedang bersamaku.”
“Dia mana, Bum? Aku ada keperluan yang sangat penting dengannya. Masalah kantor.”
“Masih tidur.”
“Dia masih tidur di jam seperti ini?”
“Jangan banyak bicara. Cepat katakan apa maumu? Jika kau lama, aku akan memutuskan sambungannya.”
“Kalau begitu, bangunkan So Eun dulu. Aku harus mengatakan hal ini langsung padanya, masalah kantor.”
“Kyaa, kau lupa siapa aku?”
“Baiklah, maafkan aku. Katakan padanya bahwa ada rapat penting dengan investor dari Belanda hari ini. Mereka hanya mau bertemu dengan bosnya, tidak bisa diwakilkan.”
Mendengus malas, Kim Bum lalu merunduk untuk menatap So Eun yang masih nyaman dalam pelukannya. Dua detik kemudian, tangannya yang lain bergerak menepuk pelan pipi bulat wanita itu.
“Sso? So Eun... Bangun dulu.”
Belum ada jawaban dari So Eun, tapi wanita itu sudah mulai bergerak dalam pelukannya, membuat ia tetap menepuk pipi bulat itu untuk membangunkan si cantik. Lalu, setelah beberapa detik, pemilik marga Kim itu akhirya membuka matanya—mengerjap beberapa kali sebelum menatapnya.
“Jam berapa sekarang, Bum?”
“Hampir jam sebelas.”
“Ya?”
So Eun masih sibuk mengumpulkan kesadarannya dan Kim Bum memilih menunggu beberapa saat sebelum mengulurkan tangannya yang memegang ponsel si cantik.
“Ada telpon.”
“Dari siapa?”
“Young Hwa.”
“Mau apa?”
Tapi Kim Bum tidak menjawab, ia hanya mengendik acuh. Membuat So Eun mendengus dan meraih benda itu dari tangannya—dan langsung meletakannya di sisi telinganya.
“Apa?”
“Kya, kau lupa cara memberi salam?.”
“Apa?”
“Sialan kau, Kim. Kau tidak...”
“Apa yang mau kau katakan, sialan? Kalau tidak penting, aku akan mematikan telponnya. Kau mengganggu tidurku.”
“Ini sudah jam berapa dan kau masih tidur?”
“Ya, terserah padaku mau tidur sampai jam berapa. Kenapa kau yang repot?”
“Aku tidak menelpon untuk mengajakmu ribut, bodoh.”
“Kalau begitu cepatlah. Jangan membuat begitu banyak prolog.”
“Iya, iya, baiklah.”
“Jadi, apa?”
“Ada rapat penting dengan investor Belanda hari ini. Tidak bisa diwakilkan.”
“Tapi aku sedang libur.”
“Tidak bisa diwakilkan. Kau dengar tidak sih?”
“Baiklah. Jam berapa rapatnya?”
“Jam satu.”
“Dan kau baru memberi tahuku sekarang?”
“Aku juga baru diberi tahu oleh tuan Hwang, makanya aku buru-buru menelponmu.”
“Rapatnya di kantor atau di luar?”
“Di luar.”
“Ya sudah, kau tolong tanyakan berkasnya pada tuan Hwang. Aku akan bersiap-siap, lalu aku akan langsung ke kantor. Kau, setelah dapat berkasnya, tunggu aku di lobi, agar saat aku sampai kita langsung berangkat. Berkasnya nanti akan kupelajari saat di jalan saja.”
“Baiklah. Cepat ya, Sso.”
“Ya.”
“Tapi kau jangan lupa makan.”
“Iya.”
Memutuskan panggilan setelah itu, So Eun lalu mendongak dan menatap Kim Bum sebelum meminta untuk dilepaskan pelukannya. Lalu, setelah pelukan Kim Bum dilepas, ponselnya ia letakan begitu saja di atas tempat tidur sambil beranjak dari posisnya. Tapi, baru juga ia duduk, Kim Bum sudah kembali menariknya untuk berbaring.
“Mau ke mana?”
Pertanyaan itu lalu Kim Bum ajukan sambil kembali menarik So Eun ke dalam pelukannya.
“Bum-ah, lepaskan aku dulu. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.”
“Katanya kau sedang libur.”
“Iya, tapi ini penting. Tidak bisa ditinggal.”
“Aku juga tidak mau ditinggal.”
“Ya?”
So Eun yang tadi bergerak untuk melepas pelukan Kim Bum jadi menghentikan gerakannya dan menatap pria Kim itu. Tapi pria Kim itu tidak memberikan jawaban apapun. Ia tetap diam dengan wajah datar yang biasa sebelum mencuri sebuah ciuman kecil dari bibir si cantik.
“Aku juga tidak mau ditinggal.”
Tolong ingatkan mereka jika ada orang penting yang menunggu salah satu dari mereka.
•be ambitious•
Thank you...
KAMU SEDANG MEMBACA
be ambitious
FanfictionBumsso Awalnya, hidup keduanya terlampau biasa saja, terlalu datar dan hanya berjalan apa adanya. Tapi tidak lagi setelah mereka bertemu. Karena setelah hari itu, ada ambisi rahasia di diri masing-masing, membuat hidup yang awalnya biasa-biasa saja...