Part 13 : Berusaha Tegar

6.7K 544 22
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dimas menatap punggung Brisia tanpa berniat menghampiri. Bahu wanita itu tidak lagi bergetar karena isak tangis. Dimas dan semua orang tahu, wanita berambut pirang itu sedang menguatkan diri demi bocah delapan tahun yang duduk di sampingnya.

Upacara pemakaman Mas Gilang sudah selesai sejak setengah jam yang lalu. Keluarga besar dan kolega yang lain sudah meninggalkan gundukkan tanah basah penuh bunga milik mas Gilang sejak lima belas menit yang lalu. Mama dan Papa Dimas pun sudah pamit tadi.

"Liam, ayo pulang, Sayang. Kita doakan Papamu dari rumah," ajak Seto, ayah Brisia yang dibalas gelengan pelan dari Liam. "Liam mau temani Papa sebentar lagi boleh, Kek?" tanya Liam polos.

"Pa, Ma, kalian pulang aja dulu sama Kak Gwen. Papa dan Mama harus istirahat jangan sampai sakit. Biar Brisia yang antar Liam pulang nanti," usul Brisia yang mendapat gelengan dari Mamanya.

"Mama justru takut kamu yang kecapean, Brie. Kamu bisa sakit-"

"Ma,,," pelas Brisia dengan tatapan memohon.

"Oke. Tapi jangan lama-lama. Sebelum gelap kalian sudah harus ada di rumah." Rianti menengadah mencari keberadaan Dimas. Setelah menemukan menantunya berdiri tak jauh dari makam, dia melangkah mendekati Dimas. "Dimas, tolong jaga Brisia. Dia nggak boleh terlalu lelah karena gampang sakit." Sambil tersenyum simpul, Dimas mengangguk mengiyakan.

Langit di atas kepalanya sudah mulai menguning ketika Dimas memutuskan untuk mengajak kedua orang itu pulang. Dia tidak keberatan untuk menunggu sampai Liam minta pulang. Tetapi, dia juga tidak ingin membuat kedua orang tua Brisia khawatir.

Saat Dimas hanya berjarak beberapa meter dari tempat Liam dan Brisia, bocah bertopi itu bergerak memeluk Brisia. Sejak tadi, anak bertubuh kurus itu hanya duduk diam menatap nanar nisan Mas Gilang.

Dimas masih ingat saat Mama dan Papanya bertanya bagaimana keadaan Liam tadi. Dengan yakin dia bilang kalau Liam adalah anak yang tegar. Bukan tanpa alasan kesimpulan itu muncul.

Sejak tiba di rumah sakit, anak itu hanya terpaku diam menatap Papanya yang sudah terbujur kaku. Air mata anak itu hanya jatuh saat memberi kecupan terakhir untuk Papanya. Dan air mata itu jatuh bukan dari raungan tangis, melainkan mata yang terpejam dan mulut yang terkatup.

Apakah anak seumuran dia sudah mengerti apa itu kematian?

Pertanyaan ini muncul karena Dimas ragu kalau Liam mengerti bahwa Papanya sudah pergi untuk selamanya. Tidak akan pernah menemani tidur malamnya, apalagi merawatnya kala sakit. Namun, Dimas mendapat jawabannya saat ingat kalau anak itu sudah pernah merasakan hal yang sama saat kehilangan Mamanya dua tahun yang lalu.

"Tante Sissy, kenapa Mama dan Papa tega ninggalin Liam sendiri?" Napas Dimas tertahan mendengar pertanyaan dari mulut bergetar Liam. Ada sedikit ngilu di dadanya mendengar pertanyaan polos itu.

Drama QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang