Part 17 : Kue Ulang Tahun

5.5K 582 70
                                    

Dimas menatap nanar berkas pasien milik Liam yang masih tertutup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dimas menatap nanar berkas pasien milik Liam yang masih tertutup. Pikirannya melayang pada detik pertama ketika melihat anak itu. Tidak ada binar kebahagiaan dalam matanya. Hanya kesedihan dan kesendirian karena sudah ditinggal oleh ayahnya.

Namun, sikap tubuh anak itu tidak goyah. Semua orang tahu itu. Karena alih-alih menangis meraung-raung meminta Ayahnya kembali, Liam menyimpan tangisnya sendiri.

Mungkin, dia sudah tahu akan segera bertemu dengan kedua orang tuanya? Dimas tidak ingin membayangkan momen itu benar terjadi. Brisia akan menjadi orang yang paling hancur saat itu.

Dimas memindahkan binder berwarna hijau berisi berkas Liam ke atas tumpukan berkas yang baru selesai dia kaji. Tanpa membacanya, dia sudah tahu perkembangan kondisi Liam tidak akan menuju ke arah yang lebih baik. Sekuat apapun para dokter berusaha, sel kanker sudah menggerogoti tubuh anak itu. Ditambah, tubuhnya sedang mengalami infeksi parah sekarang.

Sambil meremas kedua tangannya, Dimas memejam. Sebuah ringisan keluar dari mulutnya saat mengingat kondisi Liam tadi pagi. Mata anak itu masih tertutup. Apa dia masih bisa melihat bola mata indah itu membuka lagi sampai beberapa hari ke depan? Stau kesempatan itu tidak akan pernah datang lagi.

"Permisi, dokter Dimas."

Dimas segera membuka matanya lalu tersenyum mengangguk ke arah pintu. "Kenapa, Jun?"

"Ini dok, ada kue buat dokter." Juni, suster yang selalu menemaninya setiap visite masuk dengan piring plastik yang di atasnya ada sepotong kue coklat.

"Ini kue ulang tahun kamu? Sorry saya belum ngasih ucapan selamat tapi sudah dapat kue ultah duluan," ujar Dimas tidak enak hati. Gak ngasih selamat ulang tahun, tapi sudah dibawakan kue ulang tahun, bukan cuma gak enak hati. Dia juga merasa malu.

"Gak papa kok dok. Karyawan yang lain juga gitu," balas Juni ketika melihat raut tidak enak di wajah Dimas.

"Selamat ulang tahun ya, Jun. Hadiahnya nanti nyusul ya." Dimas benar-benar serius saat mengatakan akan memberi hadiah. Karena dia memang selalu memberi hadiah ke rekan-rekan atau suster-suster yang sering bekerja dengannya.

"Wah, makasih banyak ya dok." Wajah semrigah Juni tidak dapat dia sembunyikan. Tangannya segera membalas tangan Dimas yang terulur untuk memberinya selamat.

"Iya, sama-sama ya Jun. Makasih juga sudah bantu-bantu saya soal follow up pasien." Usai jabat tangan mereka selesai, Dimas mengambil berkas milik Liam. "Jun, tolong nanti berkas ini dikembalikan ke dokter Dwi ya."

Juni membaca sekilas nama yang tertera di depan binder berwana hijau itu lalu raut wajahnya berubah sedih. "Dia... pasiennya dokter Dwi?" tanya Juni tidak percaya. Semua yang bekerja di rumah sakit itu tahu kalau dokter Dwi adalah dokter hematologi onkologi anak.

"Iya. Sekarang lagi di rawat di ruang intensif. Kamu kenal dia?" Dimas menghentikan sejenak kegiatannya memotong kue dengan sendok.

"Saya pernah ketemu dia beberapa minggu yang lalu. Waktu ehm... masalah itu baru saja selesai." Dimas tampak berpikir sejenak lalu mengangguk paham dengan maksud Juni. "Waktu itu dia kasih saya coklat import yang katanya di kasih sama tantenya. Alasannya, dia lagi nggak suka makan cokelat. Mungkin wajah saya kelihatan jelas lagi punya masalah. Sampai-sampai anak kecil kayak dia aja bisa tau," jelasnya dengan tawa sumbang.

Drama QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang