Part 34: Bom Waktu

6.7K 388 48
                                    

Maaf baru update setelah sekian lama. :D


......

Semuanya menjadi jelas bagi Dimas. Istrinya tidak setegar yang dia tahu. Ada bom waktu dalam tubuh wanita itu. Jantungnya bisa saja berhenti berdetak kapanpun.

Rianti bilang, Brisia lahir dengan penyakit jantung bawaan dan sudah dioperasi sejak dia berusia lima tahun. Namun, beberapa tahun terakhir perempuan itu tidak pernah melakukan kontrol terhadap kondisi jantungnya.

Mungkin, Brisia sudah tahu kalau jantungnya kembali bermasalah. Anak dengan penyakit jantung bawaan yang sudah dioperasi bisa kembali memiliki masalah dengan jantungnya. Apalagi mengingat gaya hidup Brisia beberapa tahun terakhir.

"Dimas, Mama minta maaf karena menyembunyikan semua ini dari kamu." Rianti duduk di samping Dimas sambil menatap sedih menantunya. "Mama ingin bilang ke kamu di mana Brisia dua minggu terakhir, tapi Brisia memohon dan melarang Mama. Dia tidak mau kamu terluka karena melihat penderitaannya."

"Dua minggu terakhir, bagaimana kondisi Brisia?" tanya Dimas sambil menatap jemarinya yang saling tertaut.

"Seminggu terakhir Brisia sering mengeluh sesak dan terbatuk-batuk. Dia sempat demam sekali dan ternyata kakinya yang bengkak bukan karena kehamilannya. Dia sempat masuk rumah sakit minggu lalu dan dokter jantung bilang kalau jantung tidak lagi berfungsi baik. Bahkan paru-parunya sudah bermasalah."

Dimas hanya mengangguk lemah. Kecurigaannya selama ini benar. Istrinya sakit. Lebih menyedihkannya lagi, dia berjuang sendirian untuk tetap bertahan hidup.

Mengapa dirinya tidak dilibatkan dalam penderitaan Brisia? Dia ingin istrinya berbagi. Seberat apapun, Dimas yakin bisa menjadi penguat untuk Brisia.

"Brisia takut kamu akan meninggalkan dia jika tahu dia sakit," ucap Rianti yang sanggup menjawab pertanyaan dalam benak Dimas sekaligus meremas jantungnya.

Demi apapun, Dimas tidak akan melakukan itu. Dia sudah berjanji akan hidup bersama. Mengapa pemikiran Brisia sedangkal itu? Sesedikit itukah rasa percaya wanita itu untuk kesetiannya?

"Ma, Dimas nggak akan melakukan itu. Dimas berani bersumpah," tegasnya. Namun, sikap dan perbuatannya selama ini mungkin tidak membuktikannya. Dia belum bisa membuat Brisia percaya.

"Kamu bisa membuktikannya setelah persalinannya selesai nanti." Rianti menengadah menahan air mata. "Anak itu, dia bilang kamu adalah penyelamatnya. Tapi dia tidak mau diselamatkan kamu disaat seperti ini."

Tidak mau.

Dimas meremas tangannya membayangkan Brisia menderita sendirian."Mama tahu apa yang paling menyakitkan untuk Dimas saat ini? Dimas seorang dokter tapi tidak bisa melakukan apapun untuk istri Dimas yang sedang berjuang di dalam sana."

***

Kaki yang terus bergerak memperjelas seberapa cemas Dimas saat ini. Setiap detik yang terlewat rasanya seperti setahun. Apalagi ini sudah hampir satu jam berlalu. Pikirannya semakin kalut memikirkan hal-hal yang tidak-tidak.

Pada operasi Caesar, biasanya setengah jam pertama si bayi sudah lahir. Satu jam berikutnya dihabiskan untuk menjahit kembali tubuh sang ibu. Tapi ini, sudah hampir satu jam dan anaknya belum juga muncul.

Dimas putus asa. Berbagai doa sudah dia panjatkan agar mereka berdua di dalam sana selamat.

"Dimas, kamu tenang ya. Kita semua yakin Brisia bisa melewati ini," ucap Mamanya khawatir melihat kondisi Dimas. Mungkin ini pertama kalinya dia melihat anaknya secemas dan sekhawatir ini.

Tubuh Dimas otomatis bangkit berdiri ketika pintu ruang operasi terbuka. Sebuah box inkubator didorong keluar dari balik pintu. Mata Dimas langsung menangkap seorang bayi sedang terbaring didalam sana.

"Dokter Dimas, selamat. Bayinya perempuan. Tadi kami sempat melakukan resusitasi karena bayi hanya merintih dan nadinya sangat lemah. Tapi dia anak yang kuat karena berhasil melewati semua itu. Sekarang tanda vitalnya stabil-"

"Kar, istri gue gimana?" sambar Dimas langsung.

Karla, dokter anak sekaligus teman seangkatan Dimas sewaktu residensi langsung mengatupkan mulutnya. "Dia baik-baik aja,kan?" kejar Dimas.

"Dia sempat melihat anak kalian tadi. Tapi setelah itu kesadarannya mulai menurun. Lo harus yakin dia pasti bisa bertahan."

Entah sudah berapa banyak orang yang memberi Dimas ucapan penguatan hari ini. Semuanya seolah ingin memberi Dimas harapan. Tapi, Dimas takut untuk berharap lebih. Karena tadi dia sudah mendengar kondisi Brisia selama kontrol di rumah sakit ini.

"Makasih Kar," ucap Dimas lega.

"Lo mau liat anak lo langsung di NICU?" tawar Karla yang langsung dibalas gelengan oleh Dimas. "Gue mau tungguin istri gue di sini. Titip anak gue ya."

Dimas melangkah mendekati anaknya. Dari luar box inkubator dia tersenyum pahit melihat anaknya yang tertidur. "Mama kamu wanita yang kuat. Sama seperti kamu," ujar Dimas pelan.

Tari, mamanya Dimas memutuskan untuk mengikuti bayi tersebut sekaligus menyediakan berbagai keperluannya. Begitu juga papanya yang hanya bisa meremas pelan pundak Dimas sebagai bentuk penguatan yang bisa dia berikan.

Hari ini, dia benar-benar rapuh sekaligus takut. Dirinya benar-benar memohon pada Tuhan agar sesuatu yang benar-benar dia sayangi bisa bertahan.

Kekhawatiran Dimas kembali bertambah. Setengah jam kemudian seorang dokter spesialis jantung berlari masuk ke dalam ruang operasi. Dokter Jevan adalah satu senior satu angkatan di atas Dimas. Mereka saling mengenal karena pernah mengikuti organisasi semasa kuliah bersama.

Jevan cukup terkejut mengetahui fakta kalau Brisia adalah istri Dimas, tapi dia tetap tidak bisa menyembunyikan kondisi Brisia yang sebenarnya. Dimas adalah dokter dan dia pasti sudah tahu betul bagaimana kemungkinan hidup istrinya saat ini.

"Banyak berdoa. Semoga dia bisa melewati semua ini." Hanya itu yang dikatakan Jevan sebelum hilang dibalik pintu ruang operasi.

Harapan. Sesuatu yang bisa dijadikan sandaran bagi Dimas saat ini. Hanya ini yang bisa menguatkannya. Dia tidak tahu lagi harus melakukan apa selain berharap.

Napasnya tercekat ketika setengah jam berikutnya pintu ruang operasi terbuka dan brankar pasien yang didorong suster lewat di depannya. "Sayang..." lirihnya piluh.

Istrinya terbaring tak berdaya dengan mata terpejam. Berbagai selang tersambung ke tubuh wanita itu. Berusaha mempertahankan jiwa agar tidak meninggalkan raga yang terbaring lemah.

"Brisia!" tangis Rianti pecah. Anaknya masih bernapas. Sebuah harapan muncul dalam dirinya. Besok atau mungkin nanti, anaknya akan membuka matanya dan tersenyum padanya kembali.

"Dim, kondisi jantung istri kamu masih belum stabil. Dia sempat mengalami henti jantung tadi. Itu sebabny kita harus merawatnya di ruangan iccu." Dimas hanya menatap nanar kearah Brisia.

"Meskipun kecil. Ada harapan dia bisa bangun lagi."

Tangan Dimas terulur membelai rambut Brisia. "Sayang, kamu harus bangun. Besok ulang tahun kamu. Aku janji akan bawa bunga kesukaan kamu."

.

.

.

Jangan lupa Vote dan Comment untuk part ini.

Baca juga cerita-cerita aku yang lain yah. 

.

Instagram: __bels

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 06, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Drama QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang