Part 18 : Secinta Itu

5.1K 489 53
                                    

Dari lantai tiga tempatnya duduk, Cello mengawasi keadaan dua lantai di bawahnya sambil bersedekap tenang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dari lantai tiga tempatnya duduk, Cello mengawasi keadaan dua lantai di bawahnya sambil bersedekap tenang. Senin sampai Jumat Cello bisa duduk dibalik meja kerja kantor, nge-push rank atau nonton review otomotif di youtube. Tetapi khusus hari Sabtu malam, dia harus duduk mengawasi tempat bersenang-senang barunya ini.

Semuanya di desain Cello banget. Lantai dasar luas yang di dominasi warna hitam dan gold yang memberi kesan mewah. Dia tidak suka pergi ke tempat hiburan yang penuh sesak. Itu sebabnya Cloud, bar-nya ini, memiliki system khusus untuk pengunjungnya.

Selain para pesohor negeri ini, hanya kalangan menengah ke atas yang bisa masuk. Membuat member saja harus mengeluarkan uang dua digit di tempat ini. Namun, bagi mereka yang menginginkan privasi dan pelayanan berkelas, Cloud benar-benar akan membuat mulut mereka terbuka lebar karena takjub.

Selesai menatap lantai satu yang mulai ramai karena sudah pukul sepuluh malam, mata Cello beralih ke lantai dua. Dia merancang lantai ini dengan besi-besi berarna gold di setiap sisinya dengan dinding didominasi warna abu-abu pekat. Bagian tengahnya sengaja di buat kosong dan langsung mengarah ke dance floor di lantai satu. Sekaligus agar dia mudah mengawasi dari atas sini.

"Krriiiuukk..."

Cello meringis saat cacing-cacing di perutnya mulai melakukan aksi protes. "Ya ampun, gue lagi program mau bikin otot perut, cing," ringisnya sambil mengusap-usap perut.

Iya, Cello mau terlihat lebih keren lagi. Biar cewek-cewek lebih klepek-klepek kalo lihat dia berjalan di kantor. Masa jabatan sudah tinggi, tapi tubuh masih kurus kering tanpa penonjolan otot. Satu-satunya yang menonjol hanya di bagian perut.

Dia tahu, dia itu ganteng. Buktinya bisa jadi selebgram sebelum jadi penerus perusahaan kakeknya, tapi dia juga mau punya tubuh atletis. Minimal kalau pakai jas kantor tuh ngepas bagus.

"Makan, nggak, makan, nggak, makan, nggak..." Cello menghitung kancing kemejanya yang selalu membantu dia dalam mengambil keputusan. "Oke, jangan makan. Bayangkan betapa senangnya gue nanti kalau otot perut gue sudah muncul."

Kriiing...

Interkom di meja kerjanya berbunyi. Dalam hatinya dia berharap semoga itu bukan orang dapur atau apapun yang berhubungan dengan makanan. Sekarang Cello mengerti pergumulan mantan-mantannya yang bilang ingin kurus.

Tapi kalau diingat-ingat. Semua mantannya sudah body goals tapi tetap ingin kurus.

"Ya, halo."

"Bos, kapasitas tamunya sudah lebih dari delapan puluh persen. Saya izin bikin system waiting list ya bos kalau sudah Sembilan puluh persen."

"Hmm.. iya bikin aja. Masih saya pantau dari atas sini kok," balas Cello lalu menutup interkom dan kembali duduk di kursinya.

Matanya tiba-tiba jatuh menatap ponselnya yang sejak tadi tidak menyala. "Jomblo itu dibilang ngenes kalau malam minggu gini hapenya sepi ya?" tanya Cello ke dirinya.

Drama QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang