Part 5 : Ruang Praktek Dimas

6.6K 545 20
                                    

Ada hal yang paling disukai Dimas saat menjalani profesinya sebagai dokter anak. Salah satunya, melihat anak yang diobatinya tersenyum lebar. Memamerkan gigi ompong mereka untuk sesuatu yang ia lakukan. Lebih senang lagi jika ia berhasil membuat sang anak tidak rewel saat diperiksa.

Kebanyakan anak yang sakit sangat sulit tersenyum. Mereka tidak bisa menahan rasa sakitnya, bahkan lebih peka terhadap rasa tidak nyaman itu. Berbeda dengan orang dewasa yang bisa menahan rasa sakitnya untuk sebuah senyum sopan.

Dia tidak akan kecewa jika gagal membujuk pasiennya. Pasien bisa terus menangis. Karena sakit itu tidak nyaman, apalagi untuk seorang anak kecil. Tugas dokterlah yang harus mencari cara agar bisa tetap memeriksa anak itu.

Bagi Dimas, itulah keterampilan lebih dari seorang dokter anak. Dia harus bisa mendiagnosis pasien yang kadang dari hasil anamnesis saja sulit didapatkan informasinya. Hanya Tuhan dan sang anak yang mengetahui dengan pasti apa yang dirasakan anak tersebut. Apalagi kalau anak itu masih bayi, mereka hanya bisa menangis.

"Ini obatnya bisa ditebus di apotek," ujar Dimas sambil menulis di atas kertas resep.

"Ma, Bimo nggak mau minum obat. Pahit!" rengek si anak yang saat ini sedang bersandar di lengan Mamanya.

Dimas mengangkat kepalanya lalu tersenyum menatap anak itu. "Bimo, obatnya nggak pahit. Om dokter kasih yang rasanya enak," bujuk Dimas, tapi gagal. Anak lelaki berusia enam tahun itu malah menggeleng tidak percaya.

"Bimo nggak percaya? Om dokter sudah pernah minum loh obatnya. Om nggak bohong." Dimas sampai mengangkat kedua jarinya di udara.

"Beneran ya Om?" tanya anak itu dan Dimas mengangguk mantap. Dia lalu menyerahkan resep obat yang dia tulis tadi ke orangtua si anak. "Ini obatnya saya kasih dalam bentuk sirup. Biasanya anak-anak akan suka," jelas Dimas.

"Terima kasih dok. Bimo ini memang susah sekali kalau minum obat puyer atau tablet." Dimas tersenyum memaklumi. Sebagian besar anak-anak memang tidak suka dengan obat.

Karena Bimo adalah pasien terakhir di prakteknya malam ini, Dimas ikut berjalan menuju pintu mengantar mereka keluar. "Bimo jangan makan gorengan dulu ya. Minumnya air hangat aja biar lehernya nggak sakit lagi," jelas Dimas sambil membuka pintu. Tak lupa dia memberikan sebuah boneka kecil berbentuk obat kepada anak itu.

"Makasih Om dokter ganteng!" seru Bimo yang dibalas Dimas dengan senyum lebar dan sebuah acakan lembut di rambutnya.

Ketika Bimo dan Mamanya pergi, kedua mata Dimas langsung menangkap kehadiran Brisia. Dia memang sudah melihat kehadiran makhluk itu di kursi tunggu tepat di depan ruang prakteknya. Seperti biasa, pakaian wanita itu selalu kurang bahan. Apa dia tidak kedinginan malam-malam pakai begitu?

"Ngapain kamu di sini?" tanya Dimas sambil menatap koridor ruang prakteknya yang sudah lumayan sepi. Hanya tersisa ada tiga orang pasien di sana. Di koridor ini memang ada empat ruang praktek dokter. Meskipun pasien Dimas sudah habis, tapi dokter yang lain belum.

"Kemarin kamu bilang aku harus ke dokter," ujar Brisia dengan nada manja. Wanita itu langsung menjadi pusat perhatian ketika dia berdiri dan berjalan mendekati Dimas. Bahkan dua orang karyawan laki-laki yang sedang lewat sempat berhenti untuk menatap Brisia.

Laki-laki mana yang rela melewatkan pemandangan paha mulus yang hanya dibalut rok mini setengah paha. Belum lagi atasan sabrina pendek yang jika menarik napas saja bisa langsung memamerkan perut ratanya. Ditambah, Brisia sengaja menguncir rambut pirang panjangnya untuk memamerkan leher jenjangnya.

"Masuk," pinta Dimas yang dengan senang hati dituruti Brisia. "Gue yakin lo tahu dengan jelas kalau maksud gue bukan ke dokter anak kemarin," geram Dimas ketika pintu ruangannya sudah tertutup.

Drama QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang