Part 23 : Sudah Sebulan

6.3K 556 85
                                    


"Kepala gue rasanya mau pecah," keluh Brisia setelah dua bolak-balik kamar mandi untuk membuang isi perutnya. Di depan pintu kamar mandi sudah ada Kia yang menyambutnya dengan segelas air putih.

"Yakin gak perlu nelpon suami lo?"

Hembusan napas berat keluar dari mulut Brisia diikuti anggukan. "Iya, gak perlu."

"Brie, udah mau sebulan lo menghindar dari suami lo. Sampai kapan mau kayak gini?" tanya Kia sambil membantu Brisia berjalan ke sofa di kamarnya.

"Gue masih sedih karena nggak bisa pamit ke Liam."

"Dimas punya alasan kenapa dia lakuin itu. Dan alasan itu demi kebaikan lo." Kia mengambil bingkisan putih yang berisi sarapan Brisia lalu membukanya. "Lo mau minum obat?"

Gelengan pelan kepala Brisia menjadi jawabannya. "Sejak kapan Dimas peduli sama gue," cibir Brisia.

"Kalau dia nggak peduli sama lo, ngapain setiap pagi dia bawain bekal buat lo?" omel Kia sambil membuka satu per satu isi dari tiga buah kotak makanan yang setiap pagi muncul di hadapan Brisia.

"Ini?"

"Iya."

"Ini... dari Dimas? Kok lo nggak bilang?" tanya Brisia tidak terima.

"Gue udah pernah bilang sama lo."

"Tapi... Astaga!" Brisia menutup matanya merutuki kebodohannya. "Gue pikir Dimas cuma ngasih makanan sehari itu doang. Nggak tahu kalau selama sebulan ini."

Kia mengangkat kedua tangannya membentuk sebuah cakar. "Duh, untung lo lagi sakit ya. Kalau nggak udah gue jitak, deh," omelnya sambil membuka nasi goreng, omelet, jus jambu dan buah manga kesukaan Brisia.

"Ya, tapi dia nggak bisa nyogok gue pake makanan juga tiap hari. Dia tuh udah bikin gue nggak bisa menemani Liam di saat terakhirnya." Kia menghembuskan napasnya lelah. "Gue capek ngomong sama lo. Dendamnya kesumat banget."

"Gue gak dendam sama Dimas."

"Ya kalo gitu segera dimaafin dong suaminya."

Kia merapihkan sisa bungkusan sebelum berkacak pinggak menatap Brisia yang sibuk memakan sarapan yang dikirim Dimas. "Kalau lo masih sakit, kita syuting produknya besok aja."

"Kayaknya gue cuma perlu istirahat. Sore udah mendingan. Tapi ini beneran makanan dari Dimas, kan?"

"Kenapa? Kalau bukan dari Dimas enaknya berkurang ya?" ejek Kia lalu keluar dari kamar Brisia.

"Ini Dimas suami gue yang ngirim?" gumam Brisia sambil menatap kotak bekal di depannya sendu. "Apa gue harus selalu ngambek dulu baru dia mau perhatian?" gumamnya lagi sambil mengisi sesendok nasi goreng ke mulutnya. Tanpa sadar, setetes air mata jatuh ke pipinya.

***

Joe, Dion dan Wulan sedang sibuk dengan hapenya ketika raut datar Dimas muncul. "Guys, gue datang," sapa Dimas sedatar wajahnya.

"Tumben lo. Bulan lalu absen," celutuk Joe lalu mengunci layar ponselnya.

"Udah nikah. Males gaul sama para bujang," ejek Dion yang masih sibuk memainkan ponselnya.

"Brisia gimana?" tanya Wulan sambil menyesap minumannya. "Ditinggal orang yang kita sayang ke surga menyakitkan. Apalagi bagi pribadi seperti Brisia. Dia butuh sandaran."

Dimas hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban. "Dia masih butuh waktu."

"Tapi sekarang terlalu lama. Dia butuh lo sekarang, Dim." Wulan menghembuskan napasnya. "Gue pernah kehilangan. Rasanya menyakitkan sampai luka di hati gue nggak bisa sembuh. Tapi, suport orang di sekeliling gue yang bikin gue seperti sekarang."

"Dim, bukan cuma waktu, tapi orang disekeliling kita yang bisa menyembuhkan luka karena kehilangan," tegas Wulan lagi.

Dion dan Joe tidak membantah. Mereka semua tahu apa yang dialami Wulan. Kehilangan pria yang akan menjadi pendamping sisa hidupnya bukanlah sesuatu yang mudah. Wulan sempat hancur lebih parah daripada Brisia. Namun, mereka semua selalu ada untuknya. Meski pengganti dari lelaki itu belum bisa Wulan temukan hingga saat ini.

"Gimana gue bisa ada buat dia kalau kehadiran gue nggak diinginkan."

"Dan lo nggak berusaha buat terus ada di sisi dia?" tanya Dion dengan sebelah alis terangkat.

"Dim, Brisia lagi sakit. Dia butuh-"

"Sakit?!" potong Dimas dengan nada tidak percaya pada Joe. "Brisia sakit apa?"

"Lo nggak lihat instastory istri lo?" Joe mengambil ponselnya. Mengetik sesuatu dengan cepat lalu menunjukkannya ke hadapan Dimas. Ada rasa aneh yang menjalar di dada Dimas saat melihat kembali wajah Brisia. Meski wajah itu terlihat lemah dan tidak secerah biasanya.

"Guys, badan gue lemes banget. Dari pagi udah nggak kehitung berapa kali gue muntah. Ini sudah mendingan. Sumpah sakit itu gak enak ya. Eh ini udah mau muntah la-" ucapan Brisia terputus karena instastory tersebut sudah selesai.

"Eh, Dim mau ke mana?" seru Joe karena sepupunya yang hari ini hanya mengenakan kaos polo disertai celana jeans hitam sudah berlari meninggalkan mereka.

"Dia mau liat istrinya dodol!" jawab Dion dengan tawa meremehkan. "Gue tuh yakin sodara gue itu udah jatuh cinta sama Brisia."

"Ya iyalah. Brisia cantik gitu," komentar Joe yang dibalas gelengan lelah oleh Wulan.

"Kalau cuma karena cantik, Tante Tari nggak perlu usaha ekstra buat bikin mereka berdua ketemu. Lo gimana sih Joe."

"Lo lupa ya, cewek cantik itu bukan syarat utama bikin Dimas jatuh hati."

"Tapi yang bisa bikin dia lupain Feli kan?" sambung Joe yang membuat Wulan dan Dion tatap lalu akhirnya mengangguk mengiyakan.

"Tapi gue salut sama si Brisia. Effort-nya buat dapetin orang yang dia cintai gak ada habis-habisnya."

Dion menatap Wulan yang ada di sampingnya. Sebuah tepukkan pelan diberikan di bahu sepupunya. "Nah, lo juga harus kayak gitu. Jangan pernah nyerah buat dapetin penggantinya-"

"Wah, makanannya datang," potong Wulan sengaja. Masih ada nyeri di hatinya jika nama kekasihnya diucapkan. Mungkin belum sekarang, tapi dia yakin bisa membuka hatinya untuk pria lain.

***

Kia berlari ke pintu apartemen dengan tergesa-gesa karena bunyi bel yang berdenting sungguh tidak sabaran. Semua Sissy Team sudah pulang karena hari ini mereka tidak bisa syuting produk dengan maksimal karena kondisi Brisia.

"Awas aja kalau cuma satpam yang nganterin paket!" umpatnya setelah sebelumnya membuka pintu apartemen.

"Brisia mana?" tanya Dimas langsung setelah pintu apartemen terbuka.

"Eh lo. Di atas. Dia muntah-muntah dari tadi siang. Tapi sekarang udah mendingan," jelas Kia sambil menangkap rasa cemas dari raut wajah Dimas.

"Kenapa lo nggak kabarin?"

"Brisia larang gue kasih kabar dia ke lo. Dia percaya sama gue. Jadi gue rasa batasan gue hanya sampai menyampaikan makanan yang lo kirim setiap hari buat dia."

Dimas hanya menghembuskan napasnya kasar. "Thanks," sahutnya lalu segera pergi ke lantai dua tempat kamar Brisia berada. Baru sampai di anak tangga pertama, Dimas berbalik menatap Kia lagi.

"Selama hampir sebulan ini, apa Brisia baik-baik saja tanpa gue?"

Kia mengendikkan bahunya. "Tanya ke orangnya langsung karena dia yang rasa. Karena nggak selamanya apa yang orang lain lihat sama dengan yang dia rasakan."  

.

.

.

25/2/2022

Jangan lupa vote dan comment untuk part ini.

Baca juga ceritaku yang lain. Ada yang tersedia di wattpad, google playbooks dan novel cetak. Semuanya dijamin nggak kalah romantis.

.

Kenal lebih dekat dengan bels?

Instagram : __bels & belindavirginia

Twitter : belindanangoy


Drama QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang