Part 24 : Belum Terlambat

6.8K 595 69
                                    


Hal pertama yang dilihat Dimas saat membuka pintu di depannya yaitu Brisia yang sedang tidur memunggunginya. Tidak tahu kalau dia sedang ditatap cemas oleh Dimas.

Setelah menetralkan napasnya yang sedikit memburu, Dimas berjalan mendekati ranjang Brisia. Dia menebak-nebak apa Brisia sedang tidur hingga tidak mendengar langkahnya. Seharusnya wanita itu menyadari kehadirannya.

Dimas memilih duduk di ranjang Brisia dengan harapan pergerakannya bisa membuat Brisia sadar akan kehadirannya. Rambut panjang Brisia tidak lagi merah muda. Rupanya dia tidak melakukan perawatan hingga warna cat merah muda sudah luntur. Menyisakan warna kuning keemasan karena di bleach di bagian yang di ombre.

Satu kaki Dimas terangkat agar dia sepenuhnya bisa menatap punngung Brisia. Hari ini istrinya mengenakan jubah tidur satin abu-abu sepasang dengan celana panjangnya. Membuat Dimas sekali lagi yakin kalau kondisi Brisia tidak baik-baik saja. Karena Brisia selalu mengenakan kamisol tipis.

"Kia siapa yang datang? Dari kurir paket ya?" gumam Brisia.

Dimas tanpa sengaja menahan napasnya mendengar suara pelan Brisia. Setelah mengatur napasnya, Dimas menjawab, "aku."

Brisia langsung duduk dan berbalik mencari si sumber suara. Matanya sejenak menatap Dimas penuh binar bahagia, tapi sedetik kemudian binar bahagia itu langsung menghilang. "Ngapain?" tanya Brisia jutek.

"Mau lihat kondisi kamu. Katanya kamu sakit."

"Aku baik-baik aja. Kamu boleh pergi." Brisia membuang muka. Masih ada sedikit kekecewaan di hatinya jika mengingat Dimas dan Liam.

"Sampai kapan kamu mau marah sama aku?"

"Aku sudah bilang. Aku nggak marah sama kamu."

"Iya, aku tahu. kamu kecewa sama aku. Tapi sampai kapan kamu mau menghindari dari aku?"

Dimas berdiri lalu berjalan mengambil tempat di samping Brisia. "Bukan hanya kamu yang sedih Liam pergi. Aku juga. Meski cuma sebentar, tapi Liam memberikan kenangan begitu dalam buat aku."

Brisia tidak sanggup jika harus menatap Dimas yang terlihat putus asa seperti ini. Itu sebabnya dia memilih untuk menunduk daripada tetap mempertahankan tatapannya.

"Tapi aku sadar, dia sudah pergi. Dan dia pasti nggak mau kalau orang yang dia tinggalkan nggak bahagia karena terus mengiginkan dia kembali. Aku minta maaf. Aku tahu waktu nggak bisa diputar. Kita cuma bisa berandai-andai. Sedandainya aku tetap ngasih tau ke kamu apa yang sebenarnya terjadi pada Liam. Seandainya aku tetap ngajak kamu ketemu Liam setiap hari di saat-saat terakhirnya. Dan, seandainya aku lebih peduli sama kamu ketimbang menghindar agar aku nggak perlu nenangin kamu setiap kali kamu nangis karena Liam."

Tangan Dimas berpindah menangkup wajah Brisia. Ibu jarinya mengusap lembut pipi Brisia yang sudah dijatuhi setets air mata. Perlakuan Dimas yang lembut ini membuat air mata Brisia semakin banyak lagi lolos dari wajahnya.

"Maafin aku."

Tangan Brisia bergerak menurunkan jemari Dimas dari wajahnya. Kepalanya menggeleng sebagai jawaban. "Aku... Aku udah nggak kecewa sama kamu," isak Brisia.

Matanya yang memerah dan penuh air mata terangkat menatap Dimas sedih. "Aku sengaja menghindar dari kamu. Aku mau tahu, seberapa lama aku bisa hidup tanpa kamu. Dan kalo aku berhasil bertahan, aku akan lepasin kamu."

Dimas tidak tahu ada mantra apa dari kalimat Brisia barusan. Karena kalimat-kalimat itu berhasil membuat napasnya tercekat. Jantungnya serasa mencelos meninggalkan rasa kosong di dadanya..

Perasaan itu segera menggerakkan tangan Dimas untuk menggenggam erat kesepuluh jari Brisia. "Jangan berusaha apapun lagi. Apalagi berusaha untuk pergi dari aku."

Mata Dimas menatap Brisia penuh penyesalan sekaligus pengharapan. "Kamu nggak perlu berusaha untuk bikin aku jatuh cinta atau kamu menjauh dari aku. Aku yang akan berusaha untuk jatuh cinta sama kamu. Kamu hanya perlu jadi Brisia, istri aku. Aku belum terlambat untuk bilang ini ke kamu, kan?"

Kedua mata Brisia sukses membuka lebar. Dia tidak salah dengar kan? Dia tidak mengigau, kan? Ini nyata kalau Dimas bilang akan berusaha mencintainya?

Melihat keraguan di mata Brisia membuat senyum Dimas terkembang. "Kamu nggak salah dengar. Aku akan berusaha untuk jatuh cinta sama kamu. Karena aku nggak punya pilihan lain selain mengukir nama kamu di hati aku."

"Dimas...." Tidak menunggu lama, Brisia sudah maju memeluk leher Dimas begitu erat. Sampai oksigen sulit untuk masuk ke paru-parunya.

"Aku janji akan berubah lebih baik lagi. Kalau kamu nggak mau cewek pecicilan aku akan berubah. Kalau kamu kesal aku pake baju terbuka aku akan ganti. Kalau kamu-"

"Nggak perlu," potong Dimas. Tangannya naik mengelus rambut Brisia. "Aku sudah bilang. Kamu nggak perlu berusaha apapun. Aku yang akan berusaha. Karena pasti capek kamu berusaha sendirian selama ini."

Suara isak diikuti anggukan Brisia membuat senyum Dimas mengembang. Ada sesuatu yang hangat terasa mengisi dirinya. Tidak bisa dia pungkiri. Dirinya terasa tidak lengkap tanpa kehadiran Brisia di sisinya.

"Dimas aku mau muntah!" seru Brisia lalu segera berlari ke kamar mandi.

"Kamu nggak salah makan?" sahut Dimas sambil menyusul ke kamar mandi dan mengusap punggung Brisia. Selesai mengeluarkan isi perutnya dari makan siang tadi, Brisia menggeleng.

"Ini sudah mendingan. Tadi pagi lebih parah," gerutu Brisia lalu membersihkan mulutnya dari sisa muntah.

Dimas menuntun Brisia kembali ke ranjangnya dengan berbagai spekulasi di kepalanya. Saat Brisia sudah berbaring di dalam selimut, Dimas duduk di samping Brisia sambil memperhatikan raut wajah istrinya yang terlihat lemas.

"Kapan terakhir kamu haid?" tanya Dimas sambil merapikan ujung selimut Brisia.

"Hah?" Brisia mengerjapkan matanya. "Kamu pikir aku hamil?"

Dimas berhenti merapikan ujung selimut Brisia lalu menatap istrirnya yang terlihat tidak percaya. "Ya bisa aja kan. Kita sering berhubungan rutin dan tanpa pengaman."

Brisia terlihat gugup. Mulutnya tanpa sadar sudah mengigit ujung-ujung jarinya. Hal ini membuat dahi Dimas berkerut bingung.

"Kenapa kamu jadi gugup gitu?" Dimas memajukan duduknya lalu menarik tangan Brisia turun dari mulutnya. "Jari kamu habis kalau di gigit terus."

"Dimas, ehm... kayaknya aku hamil, deh."

"Kenapa kamu langsung ambil kesimpulan gitu. Jawab pertanyaan aku tentang haid kamu aja belum," ujar Dimas setengah bercanda agar kegugupan Brisia sedikit berkurang.

"Aku belum haid sejak pertama kali kita berhubungan," cicit Brisia. "Udah 2 bulan, kan ya?" gumamnya ragu.

"Serius kamu?" tanya Dimas tidak percaya. Kali ini ganti dia yang terlihat gugup. "Kamu tunggu di sini."

"Kamu mau ke mana?"

"Beli testpack." Dimas tidak banyak basa basi lagi. Dia segera pergi mencari apotek terdekat untuk membuktikan keraguannya. 

.

.

.

20/3/2022

Jangan lupa vote dan comment untuk part ini ya.

Baca juga ceritaku yang lain yang masih lengkap di wattpad. My Little Girls, Warm memories dan Part Of You semuanya masih lengkap di wattpad.

.

Instagram : __bels / belindavirginia

Twitter : belindanangoy

Drama QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang