"Mbak, lo dengerin gue nggak sih?" Sinta masih berdiri di depan meja ruang tamu dengan berkacak pinggang, dengan kaki yang tidak berhenti menghentak-hentak lantai kamar apartemenku.
Menghela napas pelan, aku memilih untuk menutup layar laptop dan menarik tangannya untuk duduk di sebelahku. "I know, Sin. Nggak perlu khawatir, I'll be okay."
"Oke gimana sih, Mbak? yang lo maksud baik-baik aja tuh nggak gini keadaannya. Ada banyak cara lain selain pergi jauh kaya gitu!" Kedua mata Sinta memejam sebentar sebelum kembali menatap wanita di depannya — aku, dengan sendu.
"Lo emang udah ijin bokap nyokap juga soal keputusan ini? Gue yakin mama nggak bakal setuju. She really worried so much about you, Mbak." Ucapnya lirih sembari menghembuskan nafasnya pelan.
"I'll be, Sin. I will." Dan hanya sederet kata itu yang bisa aku ucapkan pada Sinta sekarang. Sebuah ungkapan untuk meyakinkannya, sekaligus sebuah pengharapan bahwa di sana aku akan 'benar-benar' baik-baik saja.
"Arfian kemarin datang ke rumah dan minta maaf. Cuma Mama masih belum mau ketemu." Tiba-tiba dengan random Sinta mengubah topik pembicaraan diantara kami. Dia menjelaskan tentang kedatangan mantan pacarku ke rumah.
"Gue denger dari papa, dia minta maaf soal apa yang sudah dia lakukan ke lo dan keluarga kita. Dan dia juga mohon ke papa buat ketemu lo paling nggak sekali aja. Is it okay? I mean, terakhir kali lo cerita lo belum sanggup buat ketemu lagi sama dia kan?"
Aku mengangguk sekilas. "Gue rasa nggak ada yang perlu diomongin lagi sih soal ini. Jadi gue mohon ke lo, kalo misal Fian dateng lagi ke rumah jangan kasih tau apapun soal gue dan keadaan gue."
Kulihat Sinta berdecak malas, sebuah tanda bahwa kali ini dia tidak sependapat dengan pemikiran ku. "Kenapa sih, Mbak? aturannya malah lo jangan ngejauh. Harusnya samperin dia aja tau, terus maki-maki aja gitu kalo perlu. Bukannya malah menghindar kaya gini."
Lagi-lagi aku menghembuskan napas lelah. "Sin, semuanya nggak semudah yang lo pikirin. Lima tahun bareng-bareng nggak bisa bikin gue lupa gitu aja sama setiap hal yang udah kita lakuin bareng-bareng. And the some time, hati dan logika gue juga belum siap kalo buat ketemu lagi sama dia di waktu-waktu dekat ini. We have a great time together, and I also spend a lot of time too much with him."
"Oke-oke gue ngerti. Terus kenapa harus sejauh itu, Mbak, cuma buat healing? there are many other place." Ucap Sinta yang sudah mulai meninggikan suaranya dibandingkan tadi.
"Karena Mbak perlu pergi jauh buat cari ketenangan." Jawabku sembari menunjuk ke arah dada sebelah kiri.
***
Bandara Soekarno Hatta, 14.30 WIBPenerbangan menuju Yogyakarta tinggal 15 menit lagi. Aku dan Sinta masih sibuk dengan ponsel karena kami sedang membuat video boomerang untuk Instagram story terakhir, bersama-sama. Mas Arlan tidak bergabung dengan kami, dan memilih duduk dan mengobrol bersama mama papa yang tidak jauh keberadaannya dari tempat kami.
"Mbak, lo di Jogjes baik-baik aja ya?" Ucap Sinta setelah satu video boomerang sudah berhasil di upload. Nada suaranya sudah tidak seceria tadi, dan menyiratkan keharuan yang membuatku sedikit berat untuk meninggalkannya.
"Jangan cengeng di sana. Apalagi kepengen balik kalo baru aja nyampe."
Aku tertawa mendengar penuturannya itu. Sebegitu childish kah aku di matanya? ayolah, aku ini perempuan berumur dua puluh tiga tahun kalo dia lupa.
"Oh iya, jangan lupa telpon gue, Mas Arlan, atau mama papa kalo lo tiba-tiba aja nih, tiba-tiba gitu dapet jodoh disana."
Raut wajahku langsung berubah datar setelah mendengar kata jodoh terucap dari mulutnya. Rasa-rasanya mood ku langsung down to earth karena itu — karena semenjak kegagalan hubunganku yang terakhir, jodoh menjadi kata krusial yang sangat sensitif bagiku. "Plis deh Sin, gue tuh disana mau nenangin diri. Bukannya cari suami ya!" Protes ku tak terima.
Sinta tertawa, kemudian memelukku dari samping. Dagunya menumpu pada bahuku, dan telapak tanganku menepuk-nepuk punggungnya. "Selagi gue di sana, lo jangan bikin ulah aneh-aneh ya? apalagi pas Mas Arlan lagi tugas. Pokoknya jangan bikin repot mama papa. Kalo ada masalah, cerita aja lewat email ke Mbak. Entar kalo waktu pasti bakal Mbak baca dan balas semua ceritanya."
Sinta mengangguk tanpa melepaskan pelukan. Dan usapan lembut ku pada bahunya bebarengan dengan pengumuman dari pihak bandara kepada seluruh penumpang tujuan Yogyakarta untuk bersiap-siap.
Aku langsung melepaskan pelukan kami, lalu beranjak untuk menemui mama, papa, dan Mas Arlan yang diikuti Sinta di belakang.
"Niatkan karena Allah ya Mbak, jangan cuma buat ngelupain masalah aja." Aku langsung memeluk erat Mama.
Mataku yang sejak tadi memanas kini tidak bisa lagi menghalau air matanya untuk turun. "Doain Mbak selalu ya, Ma?"
Dapat kurasakan Mama mengelus-elus rambutku dengan sayang, "Tanpa kamu minta pun, Mama selalu doa in kamu Mbak di setiap doa-doa mama." Ucap Mama kemudian merenggangkan pelukan, lalu tangan kanan nya terangkat untuk menghapus jejak-jejak air mata di pipi.
"Jangan tinggalin sholat juga Mbak Ray!" Ucap papa setelah aku beralih memeluk beliau.
Aku langsung mengangguk mengerti, dengan rangkulan pundak papa yang masih bertengger manis di pundakku. Lalu secara bergantian aku berpamitan kepada Papa, Mama, Mas Arlan, dan juga Sinta.
"Hati-hati ya, Dek, jangan lupa selalu kabari Mas." Pesan Mas Arlan saat kami sedang berpelukan.
"Siap, Mas." Lalu terdengar pengumuman yang meminta penumpang untuk segera memasuki pesawat.
Aku langsung membenarkan posisi ranselku, dan menerima koper yang sedari tadi di pegang oleh Sinta. Dan sebelum benar-benar memasuki terminal keberangkatan, aku melambaikan tangan kepada semua orang.
Selamat tinggal Jakarta!
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Love
ChickLitBaru saja mengucap salam, bola mata ku hampir keluar dari tempatnya. "Mas Angka?" ujarku saat melihat sesosok laki-laki yang pernah aku temui ketika dalam misi melarikan diri akibat putus cinta. "Mbak Raya, kamu kenal sama Pak Wali Kota?" Hah? Gima...