Aku melempar ponsel ke kasur, lalu meninggalkannya begitu saja. Lantas segera melangkah menuju ke kamar mandi. Berendam air hangat dengan ditemani aroma sabun yang menyegarkan. Saat menghirup wangi sabun dalam-dalam, mendadak ingatanku melayang ke kilas balik kejadian itu. Kejadian yang membuatku melakukan perjalanan ini, sebuah keputusan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
"He's a bastard, Mbak." Aku teringat dengan satu pesan Sinta saat pertama kali sampai ke kota ini. Dia bahkan melampirkan satu buah foto hasil screen shoot dari sebuah isntastory. Seolah ingin memvalidasi opininya dengan sebuah foto yang dia berikan.
"Amit-amit sama cowok model begitu, nggak tau malu." Aku ingat betul bahwa saat itu hatiku masih terasa sakit. Namun saat kembali mengingatnya, sekarang, aku sadar bahwa sudah tidak ada lagi perasaan menyakitkan itu. Hanya sebuah kekosongan yang belum bisa aku identifikasi. Apakah memang aku sudah berdamai, atau sudah terlampau malas untuk berurusan dengan laki-laki itu.
Aku melangkah keluar dari kamar mandi. Mengusap-usap pelan rambutku yang basah dengan handuk, sebelum akhirnya menyambar ponsel yang tadi sudah ku lempar itu — karena getarannya yang sedari tadi tidak mau berhenti.
"Di mana lo, Ya?" rasanya sudah lama tidak mendengar orang memangilku dengan 'Ya'. Membuatku sadar bahwa dari satu kata namaku itu, ternyata bisa menghasilkan tiga nama panggilan. Ra, Ya, Na. Namun karena biasanya aku hanya mengenalkan diri sebagai Raya, kebanyakan orang memanggilku Ra, dan sebagian kecil lainnya memanggil Ya. Lalu baru-baru ini ada satu tambahan lagi, yaitu 'Na' karena aku mengenalkan diriku lengkap sebagai Rayana.
"Masih inget gue lo, Sa?" jawabku tak nyambung. Bukan menjawab pertanyaannya, tetapi mengajukan pertanyaan lain.
Dapat ku dengar dia terkekeh di balik telepon. "Bukannya lo yang udah gak inget gue? chat gue aja nggak lo bales."
Aku mendengus. Menyadari adanya sindiran terselubung dari laki-laki yang sudah menjadi sahabatku. "Gue sibuk, Sa. Nggak ada waktu buat bales chat yang gak penting." Dengan tangan kananku, aku meletakkan handuk di rak nya. Sedangkan untuk tangan satunya, masih sibuk menggenggam ponsel yang aku tempelkan di telinga kiri.
"Lo beneran jemput gue? kapan lo balik ke Indo?" mumpung sedang berhubungan langsung dengan Sabiru, aku sekalian saja melontarkan pertanyaan yang masih menganggu pikiran. Memastikan apakah dia benar-benar sudah kembali ke tanah air, dan berniat menjemputku seperti yang Mas Arlan ucapkan.
"Jadi lah, Ya. Ini gue udah di ruang tamu apartemennya Mas Bian." Jawabnya enteng. Membuatku kaget karena jawabannya yang tidak terduga.
"Gue lagi serius, Sa. Lagi gak mood bercanda."
"Ini gue juga lagi seirus. Emang lo gak denger suara ngobrolnya Mas Arlan sama Mas Bian?" seketika aku menajamkan telinga. Mencari suara laki-laki yang baru disebutkan itu.
"Lah bener,"
"Emang susah kalau kebiasannya berprasangka buruk." Cibirnya.
"Lo di mana? cepetan sini. Kita mau cari makan, sekalian nganter Mas Arlan. Temen-temennya udah deket."
"Bentar, baru mandi gue."
"Makannya sama temen-temen Mas Arlan juga?" sempat terdiam, tetapi dia kembali bersuara.
"Iya, cuma nanti kita pisah meja aja. Lo bareng gue, berdua." Diam-diam aku menyunggingkan senyum. Tanpa harus mengatakan, dia sudah tau bahwa aku sedang tidak ingin bersosialisasi dengan orang baru.
"Lo emang sahabat gue yang palik baik, Sa." Aku memeluk Sabiru dengan erat. Sudah lama sekali kami tidak bertemu langsung sehingga aku merasa cukup semangat. Apalagi dia sudah berubah sangat jauh dibandingkan saat terakhir kali bertemu, dimana sekarang sudah menjadi sangat pelukable karena katanya rajin nge gym.
"Kangen banget sumpah."
"Wajar, gue emang orangnya ngangenin."
"Aw!" Tepat setelah dia mengeluarkan sifat aslinya, aku langsung menunju pean perutnya.
"Wah, baru ketemu udah dianiayaa aja gue." Melihat interaksi kami, Mas Arlan dan Mas Bian hanya tertawa. Selain bersahabat sejak SMA, kami juga sempat bertetangga sehingga sejak dulu dia memang sudah akrab denganku. Bahkan bukan hanya denganku, tetapi dengan hampir seluruh anggota keluargaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Love
ChickLitBaru saja mengucap salam, bola mata ku hampir keluar dari tempatnya. "Mas Angka?" ujarku saat melihat sesosok laki-laki yang pernah aku temui ketika dalam misi melarikan diri akibat putus cinta. "Mbak Raya, kamu kenal sama Pak Wali Kota?" Hah? Gima...