No One Leave Behind

991 100 4
                                    

"Satria mau beli ice cream?" kami menghentikan langkah tepat di depan rumah Satria. Sania menawarinya mampir ke warung untuk membeli ice cream karena kami merasa ada yang tidak beres dengan kondisi rumahnya. Considering hal tersebut, pada akhirnya kami memutuskan untuk melakukan tindakan preventif dengan tidak langsung masuk ke dalam rumahnya.

Aku dan Sania saling memandang. Meski tidak ada yang saling bersuara, kami berdua seolah tahu apa yang ada dalam pikiran kami masing-masing. Kami saling mengangguk, lalu dilanjutkan dengan Sania yang membawa Satria menjauh sementara dari rumah orang tuanya, dan aku yang menjalankan tugas untuk mencari tahu kondisi yang terjadi di dalam rumah bocah laki-laki itu. "Ntar gue kabarin, stay ya." Aku memperingati Sania agar dia melihat ponselnya terlebih dulu sebelum kembali. Takutnya apa yang kami khawatirkan benar-benar terjadi dan itu akan mempengaruhi kondisi mental Satria.

"Ngapain, Mbak?" aku menoleh ke arah sumber suara. Tepat ketika aku sedang mengamati rumah itu, suara seorang laki-laki yang terdengar asing masuk ke telinga.

"Mbaknya yang tinggal di rumah Pak Amin bukan?" belum juga menjawab, beliau sudah kembali melontarkan pertanyaan kedua. Sepertinya sadar bahwa aku adalah salah satu dari rombongan relawan yang tinggal menumpang di rumah Pak Amin.

Aku memandang bapak tersebut dan tersenyum sungkan. Bingung juga bagaimana harus mengatakannya, sebab tak mungkin mengatakan bahwa aku sedang mematai-matai rumah Satria yang terdengar sedang ada keributan di dalamnya."Itu, Pak ..." aku menjeda kalimatku, masih belum menemukan kata yang tepat untuk mengutarakannya.

Seorang Bapak yang ada di hadapanku tersenyum ketika melihat ekspresi wajahku yang kebingungan. Apalagi saat aku melirik ke arah rumah yang tidak jauh dari keberadaan kami, beliau langsung tersenyum dan berujar. "Mau ke rumah Pak Alfian?"

Aku mengernyit. "Pak Alfian?" kenapa namanya bisa sama persis dengan dia?

"Iya, itu rumahnya." Ujarnya sembari menunjuk rumah Satria. "Udah biasa kok kayak gitu, Mbak. Langsung ketuk saja pintunya."

"Emmmm, tapi kayaknya ada yang lagi ribut, Pak. Saya gak enak." Sudah terlampau tau, aku sekalian mengatakan. Toh tujuanku ke sini memang untuk ke sana, meski yang aku antarkan masih dibawa Sania untuk membeli es krim.

"Udah biasa itu Pak Alfian sama istrinya ribut, orang sini sudah gak kaget lagi."

"Maksudnya gimana ya, Pak?" aku pura-pura tidak tahu. Meski sudah jelas bahwa kata 'ribut' yang beliau keluarkan bermakna pertengkaran dalam artian sesungguhnya, aku memilih untuk menunjukkan ketidakpahaman agar diberikan penjelasan.

Bapak yang belum diketahui namanya ini memandangku. Ekspresinya tidak terlalu menunjukkan apa yang sedang dipikirkan, tetapi sepertinya sedang merasa heran karena keingintahuanku yang terlampau ketara. Apalagi mengingat statusku yang hanya pendatang dan akan segera pergi dari desa ini, seharusnya aku tidak terlalu menunjukkan keingintahuanku. "Maaf ya, Pak, saya jadi kelihatan lancang."

"Saya tadi sama satu teman saya, sengaja datang ke sini untuk mengantar Satria pulang. Kebetulan dia ketinggalan ayah dan ibunya pulang jadi meminta saya untuk mengantarkan." Melihat Bapaknya celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang, cepat-cepat aku melanjutkan penjelasanku yang belum selesai. "Satria sedang dibawa teman saya ke warung, Pak. Soalnya tadi pas kami sampai kedengeran suara ribut-ribut dari dalam rumah, jadi kami sengaja menjauhkan Satria lebih dulu untuk mencari tahu situasinya."

Bapak yang ada di depanku mengangguk-angguk, "Oh, begitu. Maaf ya, Mbak, kalau tadi saya agak curiga."

Aku memaksakan senyum, mencoba memberitahu bahwa aku tidak masalah dengan kecurigaannya sebelumnya. Sangat wajar bagi Bapak ini untuk curiga karena sikapku ketika memantau rumah itu memang terlihat mencurigakan. Seperti orang yang sedang mengamati situasi karena berniat mencuri sesuatu. "Saya Budi, rumah saya di situ." Pak Budi menunjukkan rumah yang ada di seberang rumah Satria, hanya terpisah oleh jalan tanah yang lebarnya bahkan tidak terlalu besar. Hanya bisa dilalui oleh satu mobil saja, itu pun sepertinya agak mepet.

Coffee LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang