Learning by Doing

1.9K 184 38
                                    

Setiap orang mempunyai jalan hidupnya sendiri. Banyaknya jalan yang tersedia membuat jalan yang dilewati satu orang dengan yang lainnya akan sangat berbeda. Itu mengapa orang tidak boleh men-judge jalan yang diambil oleh orang lain — meski tidak setuju atau merasa ada jalan yang lebih baik yang seharusnya diambil oleh orang tersebut.

Well, setelah beberapa hari menggalau akibat mendapati fakta bahwa Arfian — mantan pacarku itu selingkuh, memang aku banyak menghabiskan waktu untuk membaca. Aku banyak membaca buku soal kehidupan karena enggan punya waktu untuk bersedih dan memikirkan laki-laki yang seharusnya tidak aku pikirkan. Bahkan keputusanku untuk mencoba mengikuti kerja sosial — yang saat ini sedang aku lakukan ini, salah satunya adalah hasil dari membaca buku tersebut. Aku ingin melihat dunia di luar duniaku, dan aku ingin melihat semua hal dari berbagai perspektif agar lebih mudah bersyukur.

Sedikit demi sedikit, aku mulai menyadari bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Bahkan jika kita mempunyai materi yang cukup dan keluarga yang terhormat sekali pun, tidak semata-mata kebahagiaan juga akan selalu berada di tangan kita. Hidup itu berputar dan kita harus selalu siap untuk ditempatkan dimana pun — entah di atas atau pun di bawah.

Aku mengambil napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Menyunggingkan senyum singkat sembari memperhatikan anak-anak yang datang untuk mengikuti pembelajaran karena hari ini adalah hari pertamaku mengikuti kegiatan belajar mengajar — yang rasanya amat sangat menyenangkan karena ini adalah pengalaman untuk kali pertama.

"Gimana perasaan lo?" aku menoleh ke arah Sania yang berdiri di samping kiri. Pembelajaran kali ini dilakukan di outdoor karena konsep pembelajaran yang diusung adalah 'belajar sembari mempraktekan'. Jadilah aku dan dia ikut panas-panasan karena saat ini materi pembelajaran yang disampaikan adalah mengenai mitigasi bencana.

FYI, pembelajaran yang diberikan kepada anak-anak di desa adalah pelajaran yang tidak diajarkan di sekolah. Pelajaran seperti mitigasi bencana, sex education, financial planning dan materi-materi lain yang applicable di zaman sekarang. Makanya aku sangat bersemangat karena secara pribadi aku sangat setuju jika pembelajaran-pembelajaran tersebut seharusnya masuk ke dalam kurikulum sekolah dan dipelajari oleh generasi bangsa sejak sedini mungkin.

"Seneng, San. Gue gak nyangka kalo ternyata ngajar bisa seseru ini." Entah ini berlebihan atau tidak, tetapi melihat anak-anak tertawa senang membuat perasaanku bahagia. Mereka yang tumbuh di lingkungan pedesaan dan jauh dari hiruk pikuknya perkotaan seperti tidak mempunyai beban yang menyertainya. Mereka hidup sesuai dengan usianya dan tidak harus menanggung ke fear of missing out nya akibat orang-orang disekelilingnya yang gemar membagikan pencapaiannya di social media.

"Gue gak ingat kapan terakhir kali bisa nikmatin hidup kaya gini, San." ceritaku pada Sania. Kebetulan bagian kami sudah selesai dan bisa mengobrol santai sebentar sembari memperhatikan anak-anak yang sedang menyanyi dan mempraktekan cara penyelamatan ketika terjadi gempa. "Biasanya gue cuma ngelakuin rutinitas berulang tiap harinya, jadi ngerasa ngajar ternyata seru banget."

Sania menyenggol pelan lengan kananku. "Siapa yang tadi bilang males panas-panasan, eh taunya sekarang kesenengan."

Aku tertawa mendengar sindirannya. Memang benar setelah pulang jalan-jalan bersama Mas ganteng tadi aku agak sedikit mengeluh. Tepat setelah Sania menginformasikan bahwa hari ini kegiatan kami full di luar ruangan, yang berarti bahwa aku akan panas-panasan di bawah matahari — sesuatu yang tidak pernah aku lakukan ketika di Jakarta. "Gak usah nyindir-nyindir, San. Ya gue kan gak tau kalo experience nya bakalan lebih worth it dibanding panas-panasnya." Elak ku tak mau kalah.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh arah. "Kok gue gak lihat Mas Angka ya, San?" jujur ini adalah perasaan penasaran yang sudah aku tahan semenjak tadi. Semua relawan yang kemarin aku lihat ada di sini, tetapi aku tidak menemukan sosok laki-laki tampan yang kelewat ramah itu.

Kebetulan setelah jalan pagi yang membuat hatiku lumayan berantakan — sebab berkali-kali hampir jatuh terhadap pesonanya, aku belum melihat batang hidungnya kembali. Aku juga tidak menanyakan aktivitasnya hari ini, apakah sama dengan aktivitas relawan sepertiku atau tidak. Pasalnya aku baru tau bahwa dia dan temannya yang merupakan dokter itu adalah bagian dari rombongan yang dimaksudkan Sania kemarin. Rombongan yang ikut membentuk SEC namun tidak terlalu aktif berkegiatan lagi karena kesibukannya yang sudah begitu banyak.

Sania menatapku dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Meskipun demikian, aku tahu betul bahwa dia berniat meledekku karena ketahuan menanyakan keberadaan Mas Angka. Apalagi saat dia tau kami sudah kenal karena berada di bangku yang sama di pesawat, maka sedari aku pulang jalan-jalan tak terencana itu dia tak henti-hentinya meledek. "Cie-cie ...nanyain crush."

Aku mendengkus mendengarnya. Memang sebuah keputusan yang salah bertanya pada perempuan di samping ini, "Gue cuma nanya, San. Gak ada maksud apa-apa ya Allah ...."

Sania tertawa. "Iya-iya."

"Mereka lagi ngadain sosialisasi ke balai desa. Yang gue denger-denger semacam bantuan konsultasi hukum dan pemeriksaan kesehatan gratis." Lanjutnya menambahkan. "Lo tau juga kan kalo mereka-mereka ini .... bisa dibilang udah expert lah di bidangnya." Sania mengangkat telunjuk dan jari tengahnya, lalu menggerakkannya ke atas dan bawah seolah menunjukan arti kata expert. "Jadi kelasnya udah beda sama kita."

Aku mengangguk menanggapi penjelasannya. Memang benar, sekali lihat pun orang akan tahu bahwa Mas Angka dan orang-orang di lingkungannya adalah orang pintar. "Kok mereka pada mau ya ambil cuti buat jadi relawan?"

Jujur aku sedikit heran dengan fakta ini. Untuk aku yang sangat rasional — selalu memikirkan benefit dari waktu yang aku habiskan, rasanya masih agak sulit menemukan alasan kenapa orang mengambil cuti untuk bekerja yang tidak dibayar. Aku tau memang ada beberapa orang yang terlahir dengan sifat baik, tapi aku butuh alasan yang lebih dari sekedar itu tidak salah bukan? seperti aku yang mau mengikuti kegiatan ini karena ingin menyembuhkan rasa sakit hati akibat dikhianati.

Sania mengendikan bahu. "Gue gatau juga, Ra. Mungkin panggilan hati." responnya acuh tak acuh. "Kadang-kadang kita gak butuh alasan buat ngelakuin sesuatu. Apalagi kalo untuk kebaikan."

Aku diam memikirkan pendapat Sania. Memang benar bahwa melakukan hal baik tidak harus menunggu ada alasan. Membantu orang lain adalah hal yang harus dilakukan, apalagi jika kita berada dalam kondisi yang mampu untuk membantu.

Jadi apakah aku harus membenarkan niat lebih dulu ya?
Apa aku harus ikhlas dan tidak mengharapkan feedback apapun dari keputusanku menjadi relawan?

Aku ingin bermanfaat untuk orang lain, bukan malah ingin memanfaatkan mereka untuk kebaikanku sendiri.

Coffee LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang