It's Called 'Takdir'

1K 92 4
                                    

"Maaf ya, Mbak. Gara-gara aku yang nggak bisa ke kantor, Mbak Raya jadi harus jauh-jauh ke sini." 

Aku menggeleng. "Nggak apa-apa, santai aja."

"Tadinya aku juga niat mau nongkrong abis ketemu kamu di kantor, Dhis. Eh, kamu malah ngajak ketemu di luar. Jadi sekalian aja." Jelasku. Menjelaskan singkat padanya bahwa aku tidak merasa keberatan untuk bertemu di luar kantor seperti ini. Jadi dia tidak perlu merasa bersalah. Apalagi aku juga sudah ada niatan untuk keluar dan mencari udara segar juga, makanya aku langsung mengiyakan ketika dia meminta untuk bertemu di coffeeshop di daerah dekat kampusnya.

"Aku tadi udah dapat kabar orang sales, katanya semuanya udah oke. Rencananya nanti malam jam tujuan udah mulai open po." Tujuanku bertemu dengannya adalah memberikan beberapa dokumen dan memberitahukan update dari novelnya. Novel yang aku paksa cepat-cepat selesaikan beberapa waktu lalu.

"Selamat ya," kali ini aku mengucapkan selamat pada Adhisa, salah satu penulisku yang akhirnya berhasil menerbitkan cerita pertamanya. "Jangan lupa buat ikut promosi juga." Tambahku. Mengingatkannya untuk ikut mempromosikan karyanya pada para pembaca. Sebab di masa teknologi sudah maju ini, banyak orang yang yang sudah beralih dari buku fisik ke buku digital. E-book yang fleksibel, tidak berat, dan bahkan tidak perlu memerlukan perawatan seperti buku fisik menjadi pilihan yang lebih baik bagi sebagian orang. Makanya sebagai penulis, harus pintar-pintar juga promosi agar banyak pembaca yang mau membeli buku fisik yang kita jual.

Adhisa mengangguk. "Siap, Mbak."

"Aku bakal promosi tiap hari," lanjutnya begitu bersemangat. Bahkan sekali lihat saja, aku tahu bahwa anak itu sedang merasa bahagia.

Melihat senyum yang tak luntur dari wajahnya sejak kami bertemu membuatku juga ikut tersenyum. Ekspresi wajahnya sama persis denganku saat dulu menerbitkan buku pertama, seolah membuatku dejavu. Teringat akan betapa bangganya aku pada diri sendiri karena berhasil menyelesaikan satu cerita dan menerbitkannya.

"Mbak Raya," 

Aku yang sedikit melamun memikirkan masa lalu kembali tersadar. "Kenapa, Dhis?"

Entah berapa lama aku sempat melamun, yang jelas aku baru sadar bahwa ekspresi wajahnya telah berubah. Dari wajah penuh bahagia menjadi gusar. "Emmm," dia kelihatan ragu-ragu untuk mengatakan apa yang ada dipikirannya.

"Kenapa?"

"Barusan aku dikabarin sama kakak aku, Mbak." Aku mengernyitkan dahi heran. Namun begitu, aku masih diam karena tahu bahwa kalimat yang diutarakannya itu belum selesai. "Kakak aku ngajakin ketemu sebentar, mau ngasih titipan dari mama."

Aku mengangguk. Mungkin dia tidak enak karena harus meninggalkanku."Gak apa-apa kalau kamu mau duluan. Obrolan penting kita juga udah selesai."

"Bukan gitu, Mbak." Cepat-cepat dia merespon. "Aku bukan mau pergi duluan."

"Terus gimana?" aku bertanya karena tidak paham. Pasalnya dari kalimat yang dia keluarkan, aku menarik kesimpulan bahwa kakaknya ingin mengajaknya bertemu sekarang, dan itu berarti dia harus meninggalkanku di sini.

"Kakak aku udah ada di deket sini ternyata,"

Kali ini aku mengangguk mengerti. "Nggak papa kok kalau mau gabung," responku. Membuat ekspresinya langsung lega, sementara aku ingin tertawa karena dia terlihat menggemaskan. Ternyata ekspresi gusarnya itu karena tidak enak untuk mengatakan bahwa ingin meminta izin agar kakaknya bisa bergabung dengan kami.

"Maaf ya, Mbak." Kebetulan coffeeshop yang kami datangi memang sedang ramai dan tidak ada tempat yang kosong. Jadi aku memahami alasannya kenapa dia ingin mengajak kakaknya duduk bersama kami.

"Kita cuma sebentar kok, soalnya abis ini aku juga masih ada kelas."

Lagi-lagi aku mengangguk. "Iya, Dhis. Nggak apa-apa." Aku masih heran kenapa Adhisa selalu terlihat takut denganku. Padahal aku tidak pernah marah padanya, dan bahkan juga selalu bersikap ramah - setidaknya dalam perspektifku.

Belum juga obrolan kami berlanjut, getaran dari ponselnya membuat obrolan kami terpaksa terjeda. Dari layar ponselnya yang menyala, aku tahu bahwa orang yang sedang kami bicarakan sedang menghubunginya. "Bentar ya, Mbak." Ujarnya meminta izin.

"Mas udah sampe?" setelah mengucapkan salam, dia langsung menanyakan keberadaan kakaknya itu. Dari panggilan yang dia sematkan, aku tahu bahwa kakaknya adalah seorang laki-laki.

"Mas langsung masuk aja. Dhisa duduk di dalam di pojok kanan," jelasnya. Lalu beberapa detik setelah dia menyelesaikan kalimat itu, lonceng di atas pintu cofeeshop ini berbunyi. Memberikan tanda bahwa ada seseorang yang mendorong pintu dan masuk.

"Mas," Adhisa mengangkat tangan kirinya. Sepertinya ingin memberitahukan keberadaannya pada orang di ujung telepon.

Aku yang sedang tidak memiliki kesibukan pun sedikit membalikkan badan, sebagai respon dari kejadian yang ada di depan mata. Atau mungkin juga sebagai bentuk ramah tamah pada seseorang yang akan segera duduk semaja dengan kami. 

Namun bukannya tersenyum menyambut seperti yang aku rencanakan, aku malah justru terdiam. Tidak menyangka bahwa kakaknya Adhisa adalah salah satu orang yang aku kenal. "Mas Angka?"

Coffee LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang