Berbeda dengan apa yang aku niatkan, pada akhirnya aku tidak melakukan kerja relawan di tempat yang seharusnya. Mas Bian tidak mengizinkanku untuk berhubungan dengan hal-hal yang berbau konflik, meski dia sadar betul aku tidak akan tertarik untuk ikut campur dalam urusan tersebut. Namun tetap saja, dia benar-benar tidak membiarkan aku pergi.
Rencana awal yang telah aku susun berubah total. Aku dititipkannya pada temannya yang memang sedang melakukan kerja sosial di salah satu wilayah yang masih berada di pinggiran kota Jogjakarta - yang entah bagaimana dia kebetulan memiliki koneksi dengan salah satu orang penting di sana.
Jujur aku belum tau kerja relawan seperti apa yang nantinya akan aku lakukan. Namun jika melihat bahwa komunitas yang aku ikuti fokus di bidang pendidikan, sepertinya pekerjaanku tidak akan jauh-jauh dari kata 'mengajar'.
"Ra, ayo sholat dulu!" Sania berujar ketika aku masih sibuk menata barang-barangku di kotak penyimpanan.
Sania adalah salah satu relawan luar komunitas sepertiku. Umurnya sama denganku dan dia adalah seorang pekerja pengembangan masyarakat (community development) yang pengalaman relawannya sudah seabrek - tentu sangat jauh berbeda denganku yang pengalamannya nol besar. Sosoknya yang aku lihat adalah gadis cantik mandiri yang menyenangkan. Dan tentunya, mudah diajak diskusi ngalor ngidul denganku yang memang hobi berbicara ini.
Prinsipku diam adalah emas, tapi berbicara adalah permata. Dan sampai saat ini, harga permata di pasaran masih lebih mahal dibanding emas. That's the reason kenapa aku suka berbicara hingga membuat seisi rumah, terutama mama sering kali kesal dan menyuruhku untuk duduk dan diam.
"Bentar, ini tinggal sedikit lagi. Nanggung banget." Aku berteriak sambil melipat baju terakhir yang belum aku masukkan.
Ngomong-ngomong soal Sania, aku mengenalnya beberapa jam yang lalu. Saat setelah kami tiba di tempat ini dan mendengarkan beberapa arahan dari Rifan, which is ketua komunitas yang juga merangkap sebagai temannya Mas Bian - yang berhasil memasukan ku sebagai seorang relawan tambahan dadakan karena jalur orang dalam.
Bukannya berniat gimana-gimana, hanya kebetulan aku punya privilege yang bisa aku gunakan. Tidak salah bukan?
Oh iya, selain Rifan kami juga mendapatkan ucapan terimakasih dari kapten pasukan yang ditugaskan di tempat ini, Kapten Bara. Aku kurang begitu tau kenapa ada para tentara, tapi yang aku dengar mereka hanya membantu mempersiapkan sarana dan prasarana saja - sekaligus memberi sedikit pengawalan, entah untuk alasan apa.
To be honest, aku sedikit kecewa saat melihat tampang Kapten Bara tadi. Sepertinya sih karena aku sendiri yang terlalu tinggi berekspektasi padanya, yang jelas-jelas tidak punya salah apa-apa.
Aku membayangkan jika kapten yang kutemui di tempat ini akan memiliki wajah yang sangat rupawan. At least, seperti big boss di drama Descendants of the Sun itu. Lalu ketika sosoknya ternyata lebih bertampang ke timur tengahan, tanpa sadar aku menghembuskan napas saat setelah melihatnya. Dan sialnya juga perbuatanku itu disadari perempuan yang duduk di sampingku, yang tanpa diduga juga berekspektasi tidak jauh berbeda denganku. Para penggemar kapten Yoo yang sedikit halu.
Tepat setelah suara adzan dzuhur mulai berkumandang, aku sudah berdiri di depan Sania dengan membawa mukena pemberian mama satu minggu yang lalu.
"Udah?" Sania bertanya sembari membenarkan letak kacamata bulatnya.
Aku mengangkat jempol tangan kananku dan berujar, "Gas, San."
Lalu kami berdua berjalan bersisian menuju masjid yang tidak jauh dari tempat yang akan kami tinggali sebulan mendatang.
***
"Imamnya kayaknya ganteng, San. Suaranya bagus," aku berbisik setelah berdoa sehabis sholat.
Sania menoleh ke arahku dan menautkan kedua alisnya. "Nggak tau. Kenapa lo bisa mikir gitu?"
"Biasanya yang suaranya bagus tampangnya juga oke," timpalku sembari mencopot mukena untuk kembali di lipat.
Sania mengangguk. Lalu mengangkat sedikit tubuhnya untuk melongok shaf laki-laki dan mencari tahu siapa pemilik suara menentramkan hati itu.
"Siapa?" aku bertanya lagi karena penasaran.
Sania menggeleng, "Nggak keliatan, Ra. Ngadep sana soalnya." Sania menunjuk arah barat dengan telapak tangannya.
"Yah," Respons saat tak berhasil mengetahui siapa imam sholat dzuhur pertamaku di tempat ini.
"Ya udah yuk, cepetan! Mau istirahat sebentar sebelum pembagian tupoksi relawan." Ujarku yang diangguki Sania, yang secara bergegas melepaskan mukenanya untuk di lipat.
***
"Jadi buat yang relawan dari luar, sementara ini megang program mengajar buat anak-anak dulu ya. Sembari nyesuein ritme kerja kita." Bang Rifan mengakhiri acara pengarahan sore ini tepat ketika jam tangan hitam yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul 15.15 waktu setempat. Ya, umur ketua komunitas itu ternyata jauh lebih tua, jadi aku menambahkan kata 'bang' di depan namanya.
"Mungkin segitu dulu pengumuman dari gue. Buat tambahan-tambahannya bakalan nyusul nanti. Ada yang mau ditanya?" mendengar penjelasannya, aku tau bahwa pekerjaan yang akan aku lakukan tidak meleset dari apa yang aku sendiri perkirakan.
Aku melirik ke arah Sania dan menggumam, "Lo ada yang mau ditanyain nggak?" tanyaku agak lumayan pelan.
Sania menggeleng, "Sejauh ini enggak sih. Gue belum nemu yang di bingungin."
Aku mengangguk. "Gue juga."
"Tapi lo udah ada pengalaman kerelawanan kaya gini?" tanyanya ketika Bang Rifan sedang menjelaskan sesuatu kepada salah satu anggota yang barusan bertanya.
Aku menggeleng. "Ini pertama kalinya buat gue. Jadi gue sebenarnya bingung, tapi mau nanya juga gue bingung apa yang mau ditanyain. Semuanya masih bingung, San." Jelasku meringis.
Sania hanya tersenyum. "Tapi lo ada pengalaman sama anak-anak kan?"
Lagi-lagi aku menggeleng. "Seriusan?" ucapnya tidak menyangka.
"Ya dulu sih pernah pas jaman-jaman KKN. Tapi itu juga gue ngajar cuma tiga hari, gak ada seminggu." Aku membagikan keresahanku padanya.
Sania menepuk punggungku pelan, "Nggak papa, Ya. Entar bisa saling bantu. Gue bawa buku soal cara menghadapi anak-anak. Lo mau baca nggak sebelum besok turun langsung?" tawarnya yang langsung kuhadiahi tatapan penuh ketertarikan.
"Mau bangetttttt!" Responku sebelum mengakhiri perbincangan kami sore itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Love
ChickLitBaru saja mengucap salam, bola mata ku hampir keluar dari tempatnya. "Mas Angka?" ujarku saat melihat sesosok laki-laki yang pernah aku temui ketika dalam misi melarikan diri akibat putus cinta. "Mbak Raya, kamu kenal sama Pak Wali Kota?" Hah? Gima...