Orang bilang cara terbaik untuk melupakan adalah mencari kesibukan
***
Entah mendengar dari siapa, aku tau bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. Apalagi jika dalam waktu singkat kejadian terulang kembali - seolah semesta mengatakan bahwa kejadian atau pertemuan itu memang lah sebuah takdir. Bukan hanya kebetulan meski belum terjadi sebanyak tiga kali.
Mau mengakui atau tidak, aku sempat merasa bahagia ketika menemukan sosoknya kembali. Laki-laki yang aku temui dari ketidaksengajaan - yang awalnya terlihat sedikit sombong namun ternyata amat ramah dan mudah diajak mengobrol. Laki-laki yang lebih tua lima tahun dariku, yang awalnya ku kira sebagai seorang dokter tapi ternyata adalah lulusan hukum yang bekerja sebagai staff di kementrian.
Mas Angkasa adalah orang yang tidak pernah aku pikirkan akan aku temui di tempat ini. Saat mengobrol di pesawat, dia mengatakan bahwa kepergiannya ke Jogja adalah untuk liburan. Jadi wajar kan kalau aku cukup kaget ketika melihat sosoknya di tempat ini? ya meski sebenarnya aku juga menggunakan alasan yang sama dan juga berada di tempat ini - sama sepertinya.
"Raya?" Sania menyenggol lenganku. Pasalnya ini adalah panggilan keduanya, tapi aku tak kunjung juga merespon.
"Lo dipanggil itu," kata Sania sembari berbisik di telingaku.
Cepat-cepat aku mengembalikan kewarasan. Di pertemuan yang kedua kali ini aku tidak boleh memberikan kesan buruk padanya. Laki-laki yang ku tebak selalu mendapatkan banyak perhatian dimanapun dia berada. "Mas Angka? kok bisa di sini?" Aku balik menyapa dan menanyakan kenapa dia bisa berada di tempat ini. Sementara Sania yang berada di samping ku, tiba-tiba mengatakan ingin mengambil sesuatu di dalam rumah dan meninggalkan kami berdua. Entah memang benar atau hanya memberikanku ruang untuk mengobrol bersama Mas Angka.
"Aturan gue yang nanya gitu, Na. Tiba-tiba ketemu di sini." Jawabnya terlihat senang - ya setidaknya dalam pandanganku.
"Na?" tanyaku heran.
Mas Angka mengangguk. "Nama lo Rayana kan? Gue boleh kan panggil lo Na?"
Aku bingung, tetapi akhirnya juga mengangguk. Pasalnya selama ini tidak ada yang pernah memanggilku dengan 'Na' seperti yang baru saja dia lakukan. "Boleh, Mas."
Mas Angka tersenyum. "Dari Tadi gue perhatiin, kaya kenal. Akhirnya gue coba mastiin beneran lo apa bukan. "
Boleh salting ga sih?
Gue di perhatiin mas-mas ganteng loh ini!
Aku tertawa. "Kenapa, Mas? gak nyangka ketemu gue di sini?"
Mas Angka langsung mengangguk. Sebuah gesture yang Awalnya tidak aku harapkan, namun malah justru kejadian. "Kemaren kan lo bilangnya mau liburan, taunya malah ikutan kegiatan SEC."
Tidak bohong aku langsung ingin mengucapkan terima kasih pada Sania. Berkat obrolan singkat dengannya, aku jadi tau apa itu SEC dan tidak mempermalukan diriku di depannya. "Lo juga gitu, Mas. Bilangnya juga mau liburan, malah sama-sama mendarat di sini." Jawabku tak mau kalah. Lalu aku dah Mas Angka sama-sama tertawa, menyadari bahwa kami sama-sama melakukan kebohongan ketika mengobrol di pesawat.
Namanya juga baru sekali mengobrol dengan stranger, wajar kan kalau kami tidak langsung membuka diri masing-masing?
Setelah keheningan beberapa lama, akhirnya Mas Angka kembali berujar. "Lo tinggal dimana?"
Aku menunjuk sebuah rumah yang tidak berjarak jauh dari posisi kami berdiri. Kebetulan untuk tempat tinggal relawan, kami menumpang di rumah-rumah penduduk sesuai dengan pembagian yang sudah ditetapkan panitia. Kami dititipkan untuk belajar bagaimana kehidupan rumah tangga di desa agar lebih aware terhadap lingkungan di luar lingkungan hidup kita sehari-hari.
"Oo rumahnya Pak Amin..."
Aku cukup kaget saat tau bahwa Mas Angka mengetahui nama pemilik rumah. Aku saja baru tau pagi tadi, tapi laki-laki di hadapanku sudah tau tanpa aku perlu memberitahu. "Kok Mas Angka tau?" tanyaku heran.
"Kemaren udah kenalan," jawabnya singkat. Entah benar atau tidak, aku juga tidak berniat menanyakannya lebih lanjut.
"Mau sambil jalan muterin desa gak?"
Jujur aku sangat amaze saat dia mengajakku jalan pagi keliling desa. Apa dia tertarik denganku? kenapa tiba-tiba mengajak jalan di pertemuan kedua?
Waduh! Sepertinya otakku sudah mulai konslet setelah gagal di hubungan yang terakhir kali.
"Ha?" bukannya mengiyakan, aku justru berkata tidak jelas.
Mas Angka tertawa. "Maksud gue, mau jalan pagi sambil keliling-keliling gak?" ulangnya menjelaskan. "Ini gue sebenernya lagi jalan pagi, tapi karena ketemu lo jadinya berhenti sebentar buat ngobrol. Lo juga rencana mau jogging kan?" dia melirik outfitku yang memang menggunakan kaos dan celana training, meski tidak menggunakan sepatu lari - karena aku tidak membawanya.
Aku mengangguk. "Tapi Mas tau jalan gak?" aku takut jika hanya berdua kami akan tersesat. Jadi aku memilih memastikan, sebab jam sepuluh nanti ada kumpul relawan untuk mulai melakukan aktivitas harian.
Mas Angka mengangguk dengan yakin. "Seriusan?"
"Iya, Na. Bisa dicoba ini kalo nggak percaya. Ayo!" Jawabnya sembari berlalu. Berjalan ke arah barat meski aku belum mengiyakan ingin mengikutinya keliling atau tidak.
****
Seperti dugaan, Mas Angka adalah orang yang asyik diajak berbincang. Pada dasarnya dia adalah orang yang supel, jadi sangat wajar jika aku merasa sedang mengobrol dengan teman lama - bukan orang yang baru ditemui sebanyak dua kali.
Mas Angka adalah pribadi yang dewasa. Selain dewasa dari segi umur, aku juga menilai bahwa dia sudah memiliki kematangan dalam sikap dan pikiran. Apalagi dengan perilakunya yang begitu ramah, aku yakin dia adalah orang yang disukai oleh teman-temannya.
"Monggo, Pak... Ngajeng rien nggeh." Sapa Mas Angka pada seorang bapak, yang tidak aku ketahui artinya.
Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Jakarta, aku memang tidak bisa berbahasa Jawa. Meski kedua orang tuaku adalah Jawa tulen, tapi dari generasi sebelumnya memang sudah tinggal di Jakarta. Makanya aku tidak bisa bahasa Jawa, meski sedikit paham tentang beberapa kosakata yang memang sering diucapkan orang.
"Lo bisa bahasa Jawa, Mas?" tanyaku heran.
"Sedikit."
"Gue dulu kuliah di Jogja, Na Jadi sedikit banyak tau bahasa orang-orang sini." Aku tidak jadi heran setelah mendengar penjelasannya. Sebab aku juga mengalami apa yang dialaminya, sedikit banyak bisa bahasa Sunda karena menempuh pendidikan di kota hujan.
"Ntar gue ajarin ya, Mas." Jujur aku tidak ada maksud untuk modus dengannya. Kalimat yang satu itu meluncur begitu saja, bukan karena aku sengaja ingin lebih dekat dengannya dengan cara meminta diajarkan bahasa setempat.
"Boleh-boleh."
Aku hampir tidak percaya dengan apa yang baru aku dengar. Apa Mas Angka ini tipe yang too friendly to people ya? kalo sampai iya, dia red flag - setidaknya dalam parameter ku.
Diam-diam aku mengambil napas. Aku tidak boleh jatuh terhadap pesonanya, apalagi dalam kondisiku yang memang belum menjadikan pasangan sebagai fokus utama. Yuk kuat, Ray. Lo baru aja bermasalah sama pasangan kemaren!
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Love
ChickLitBaru saja mengucap salam, bola mata ku hampir keluar dari tempatnya. "Mas Angka?" ujarku saat melihat sesosok laki-laki yang pernah aku temui ketika dalam misi melarikan diri akibat putus cinta. "Mbak Raya, kamu kenal sama Pak Wali Kota?" Hah? Gima...