A Glass of Coffee

407 53 14
                                    

Aku menyeruput macchiatoku dengan perlahan. Sembari mencoba fokus dengan gelas di tangan, mataku diam-diam melirik ke arah objek yang ada di hadapan. Kenapa gue bisa terjebak di sini sih?

"Sorry ya kalau gue ganggu waktu lo, Na." Ujarnya tiba-tiba. Mungkin merasa tidak enak karena sedari tadi aku tidak juga bersuara. Padahal diamku bukan karena tidak nyaman atau enggan diajaknya mengobrol, tetapi karena bingung tidak punya topik pembicaraan.

Aku meletakkan gelasku di atas coaster  berbahan kayu yang mulai basah itu. Mengambil selembar tisu yang memang ada di atas meja, lalu memberanikan diri untuk mendongak dan memberikan seulas senyum padanya. "Nggak kok, Mas."

"Jujur gue kaget banget bisa ketemu lo lagi, Na." Dari wajahnya yang terlihat sumringah, aku cukup percaya diri untuk mengatakan bahwa pertemuan kami yang tidak sengaja ini berhasil membuat seorang Angkasa merasa senang.

"Gue sempet ngira kalau kita nggak bakal ketemu lagi," lanjutnya. Kali ini dia menyandarkan punggungnya di kursi coffee shop yang kami datangi. 

Aku tersenyum menanggapi pernyataannya. Mau mengelak atas pernyatannya pun terasa sulit, apalagi setelah sadar bahwa aku juga cukup excited bertemu dengannya. Bahkan rasanya amat sangat cepat kejadiannya. Kami tidak sengaja bertemu ketika aku sedang membagikan makanan, lalu dia mengajakku untuk mengobrol sebentar, dan aku yang mati-matian memaksa Biru untuk meninggalkanku pulang karena masih punya sedikit urusan dengan teman lama. Ya, aku mengakui Mas Angka sebagai teman lamaku pada Biru. Tidak salah bukan? 

"Gue juga gak expect kalau kita bakal ketemu, Mas. Apalagi di sini." Ujarku.

"Tapi harusnya wajar ya, mengingat lo yang kerja jadi staff kementrian." Mendadak aku teringat dengan pekerjaannya. Justru dibandingkan dengan aku yang mahasiswa biasa, probabilitas dia berada di lokasi aksi mungkin jauh lebih besar dibandingkan aku. Meski tak pasti juga, sebab apa yang kami lakukan juga sedang mengkritik pemerintahan yang mana dia menjadi bagian di dalamnya.

Mas Angka tersenyum. "Terlepas dari pekerjaan gue, gue cuma pengen berpartisipasi sebagai warga negara, Na." 

"Rasanya nggak adil kalau kita diem aja, padahal punya kesadaran kalau kondisi sekarang lagi gak baik-baik aja."

Aku mengangguk menanggapi. Meski begitu, aku tak ingin membawanya menjadi obrolan yang lebih serius karena hari sudah menjelang sore. Tenagaku juga sudah cukup habis, dan aku menyadari bahwa otakku tidak ingin membahas topik berat seperti kondisi politik di negeri ini. 

"Kalau itu gue setuju sih, Mas." Aku menjeda kalimatku sejenak, "Tapi gak mungkin kan lo ngajakin gue ngobrol di sini buat bahas soal perpolitikan?"

Seketika aku dan Mas Angka sama-sama tertawa. "Terlalu berat nggak sih?"

Cepat-cepat aku mengangguk. "Tentu aja. Bahkan kalau beneran, gue kayaknya udah gak bisa nyambung sama obrolannya."

"Kalau topik yang itu nanti lagi, Na. Sekarang mau ngobrolin soal kehidupan lo aja."

Mendengar penuturannya, aku terdiam. Kaget? tentu saja. Bolehkah aku merasa besar kepala?

"Gue sehat, Mas. Kalau itu yang pengen lo tanyain." Tanyaku. Mencoba terlihat seperti wanita kuat yang tidak mudah baper dengan mulut manis seorang laki-laki.

Mas Angka mengangguk, "Gue juga sehat, Na. Sesuai yang lu lihat sekarang." Balasnya. Sepertinya tanpa harus saling melontarkan pertanyaan, kita sudah tau dan bisa langsung memberikan jawaban. Apa kami berkomunikasi lewat mata batin?

Dahiku mengernyit. Tentu bukan karena pernyataannya, tetapi karena salah satu tangannya menyodorkan ponsel kepadaku. "Gue minta kontak lo dong, Na. Gue baru sadar kalau kita belum sempet tukeran nomor." 

Seolah paham dengan kebingunganku, dia langsung menjelaskan maksud dan tujuannya. Sesuatu yang baru kusadari juga, bahwa kami memang benar-benar tidak bertukar nomor. Bahkan akun sosial media sekali pun.

Aku mengambil ponsel dari tangannya dan mengetikkan sederet nomor. "Mau dikasih nama siapa, Mas?" tanyaku. Bukan karena memiliki maksud apa-apa, pure menanyakan ingin diberi nama apa kontakku di ponselnya.

"Nana."

"Hah?" tanyaku.

"Nama lo Rayana, kan?" aku mengangguk.

"Ya udah, dikasih nama Nana aja."

"Lo yakin? sebelumnya nggak pernah ada yang manggil gue gitu." Ujarku. Pasalnya yang memanggilku 'Na' juga hanya dia, apalagi sampai melakukan pengulangan menjadi 'Nana".

"Eh, nggak boleh ya?" tanyanya terlihat sungkan.

Aku menggeleng. "Nggak kok, cuma agak aneh." Jujur aku sedikit salting karena merasa dispesialkan. Namun mengingat betapa friendly-nya dia, aku langsung mengingatkan diriku sendiri.

"Soalnya temen gue ada yang namanya Raya, jadi takut ketuker."

Salah tingkahku seolah terhenti. Kalimat terakhirnya benar-benar mengejutkan, sekaligus menampar bahwa kenyataannya aku memang tidak diperlakukan special.

Ya ampun, ternyata gue cuma special di dalam pikiran gue sendiri.

Coffee LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang