Ada yang pernah bilang untuk tidak menggantungkan kebahagiaan kita pada orang lain. Kita adalah pemilik hidup kita, dan sudah seharusnya kita menjadi tokoh utama dalam kehidupan tersebut, bukan orang lain. Dengan atau tanpa orang lain, kita harus memastikan bahwa hidup kita baik-baik saja dan juga bahagia.
Di sisi lain, kita tidak boleh menggantungkan kebahagiaan pada pasangan kita sebab pasangan hanyalah bonus semata. Tidak ada yang tahu kapan kita akan bertemu dengan pasangan yang tepat, dan sudah sewajarnya bahwa kewajiban untuk membahagiakan diri ada pada diri kita sendiri.
Well, meski mengetahui fakta tersebut, kebanyakan orang memang tidak bisa merealisasikannya dalam dunia nyata. Aku yang dengan sadar pun, merasa kesulitan dalam melakukannya. Sejak mendapatkan pengkhianatan dari Arfian aku juga merasa kesulitan menemukan kebahagiaan hidup. Selalu merasa ada yang salah dengan diriku hingga harus merasakan perlakuan seperti itu, meski dari sisi logika juga mengelak karena tahu bahwa bukan aku yang harus merasa kurang karena kejadian itu. Namun dia, laki-laki yang tidak bertanggung jawab dan kurang bersyukur itulah yang harusnya merasa menyesal dan tidak bahagia.
Salah satu pertanyaan yang selalu terlintas dalam otakku adalah kenapa seseorang bisa mencintai orang lain sebegitu dahsyatnya, tetapi sulit untuk mencintai diri sendiri? bahkan tidak harus lebih besar, tetapi paling tidak sama persis dengan rasa cintanya pada orang lain tersebut. Padahal hidup bukan hanya tentang cinta dan pasangan semata, tetapi ada begitu banyak hal lain yang bisa kita lakukan dalam kehidupan yang panjang ini.
Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Kembali dengan kondisi di dunia nyata, aku menatap lurus sepasang mata yang kini sedang menatapku heran. "Kalau lihat kejadian KDRT di depan mata, sebenernya apa yang harus dilakuin, Mas?" tanyaku heran. Pasalnya jika seseorang memilih untuk terus bertahan meski sudah disakiti berkali-kali, mungkin memang dia memiliki alasan yang kuat. Mungkin salah satunya adalah karena terlalu mencintai pasangannya seperti yang sudah aku sebutkan sebelumnya.
Mas Angka mengernyitkan dahinya heran. Meski sangat jelas bahwa dia bingung, dia tetap menjawab pertanyaan yang aku ajukan. "Kebanyakan orang memilih untuk menutup mata soal kejadian KDRT karena khawatir dianggap ikut campur urusan rumah tangga orang lain, takut terbawa masalah, atau alasan yang lainnya."
"Tapi sebenernya, hal yang benar yang harus dilakukan ketika menyaksikan kekerasan seperti itu adalah melaporkannya. Sudah sewajarnya kita mematahkan anggapan ikut campur rumah tangga orang lain saat melihat adanya kekerasan, sebab gimana pun kekerasan adalah tindak pidana yang harus kita cegah, karena kalau dibiarkan ..." dia menjeda kalimatnya, "bisa saja tindakan pelaku membuat nyawa korban terancam, Na."
Mas Angka menarik kedua tanganku untuk lebih ke sisi jalan. Sepersekian detik berikutnya ada bocah — yang mungkin masih SD mengendarai motor cukup kencang di sebelah kami. Membuatku memahami tindakannya yang menarikku dari pinggir jalan sejak dia menyapaku tadi. "Seandainya menjadi saksi dari tindakan kekerasan rumah tangga, kita bisa bertindak sesuai pasal 15 UU PKDRT, yang mengatur kewajiban masyarakat dalam upaya pencegahan terulang kembali KDRT. 'Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan pada korban, memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan,"
Aku menatapnya dengan kagum. Menyadari bahwa pesona pria pintar memang tidak bisa ditolak, apalagi jika sejak awal si pria pintar juga adalah seorang pria tampan.
"Na, lo gak papa?"
Aku menggeleng, cepat-cepat mengembalikan kesadaran yang sempat tercerai berai karena pesonanya. "Nggak kok, Mas. Gue gak papa,"
"Gue habis lihat KDRT," akuku. Mengingat dia yang seorang lulusan hukum dan berprofesi sebagai staf ahli di kementrian yang bergerak di bidang yang sama, aku merasa bahwa dia adalah orang yang tepat untuk dimintai bantuan. Jikalau nanti dia tidak bersedia membantu pun, aku tetap percaya bahwa dia bisa memberi saran terkait apa yang harus aku lakukan.
"Di mana?" Mas Angka terlihat kaget.
Aku menunjuk rumah Satria sebentar, lalu menurunkan kembali telunjukku secepat mungkin. Khawatir ada orang lain yang melihat dan berpikiran aneh-aneh tentang kami. "Gue sama Sania tadi nganterin anak kecil yang ditinggal orang tuanya di lapangan." Aku menceritakan awal mula kejadian aku dan Sania bertemu Satria.
"Namanya Satria, mungkin sekitar lima tahunan. Yang tadi gue tunjuk, itu rumahnya." Lanjutku.
"Pas gue sampai depan rumahnya, di dalem kedengeran berisik. Jadi gue sama Sania memutuskan untuk bawa Satria ini menjauh dulu karena khawatir." Mas Angka terlihat sangat serius mendengar ceritaku. Dia bahkan tidak memotong semua penjelasanku, dan dengan sabar menungguku menyelesaikan cerita. Wah, tipe pendengar yang baik.
"Pas gue coba cari informasi, ternyata emang orang tuanya Satria, namanya Pak Arfian dan Bu Ani, sudah cukup sering bertengkar. Bahkan Ibu Ani suka kelihatan memar di beberapa bagian tubuh pasca pertengkaran tersebut. " Meski yang kubicarakan adalah Arfian yang berbeda, ternyata hatiku cukup merasa tidak biasa. Nyatanya hanya dengan menyebutkan namanya saja, perasaanku masih terasa tidak nyaman.
"Katanya warga sini udah beberapa kali tanya, bahkan ketua RT-nya sekalipun. Cuma Bu Ani tidak pernah membenarkan kalau luka-lukanya didapat dari suaminya. Jadi warga juga gak bisa apa-apa,"
"Gimana ya, Mas? gue kayaknya gak bisa kalau cuma ngelihat aja tanpa melakukan apapun. Cuma kalau mau bantu pun, gue gak tau juga harus ngapain." Entah sejak kapan, aku merasa bahwa sangat nyaman untuk berbicara dengan Mas Angka. Meski sebagian dari obrolan kami hanya membahas hal-hal yang cukup penting, aku tetap tidak merasa canggung ketika berbicara dengannya.
"Lo bisa minta tolong Rifan, Na. Di komunitas ada divisi yang bisa bantu, ada divisi bantuan hukum dan juga divisi yang bisa bantu konsultasi psikologis."
"Iyakah?" tanyaku.
Mas Angka tersenyum dan mengangguk. "Iya, baru tau?"
Dengan polosnya aku mengangguk. "Kenapa nggak Mas aja yang bantu? kan lulusan hukum juga."
Mas Angka lagi-lagi tersenyum. Bahkan kali ini, senyumnya menjadi sebuah kekehan. "Gue udah harus balik ke Jakarta, Na."
Mataku berkedip, "Kenapa?"
"Kenapa apanya?" tanyanya heran.
"Kenapa harus balik ke Jakarta?"
"Cuti gue udah habis, Na. Harus balik kerja lagi."
"Tenang aja, nanti gue bantu ngomong sama Rifan. Biar dia yang urus semuanya."
"Kalau misalnya ditanganin sama yang udah paham kondisi, mereka pasti tahu langkah apa yang harus diambil. Umumnya orang yang kena KDRT itu hubungannya udah toxic, jadi emang harus dengan penanganan yang tepat. Nggak bisa sembarangan." Semua penjelasan yang diberikan Mas Angka sudah tidak bisa kucerna dengan baik. Entah kenapa setelah mengetahui fakta bahwa dia akan kembali ke Jakarta, aku merasakan sesuatu yang aneh dalam diriku. Tentu saja bukan rasa sedih dan kehilangan, karena kami tidak memiliki hubungan apa-apa. Namun tetap saja ada yang janggal, tetapi aku belum bisa mengidentifikasinya.
Gue harusnya seneng gak sih dia beneran bisa ngebantuin masalah hidup orang tuanya Satria?
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Love
ChickLitBaru saja mengucap salam, bola mata ku hampir keluar dari tempatnya. "Mas Angka?" ujarku saat melihat sesosok laki-laki yang pernah aku temui ketika dalam misi melarikan diri akibat putus cinta. "Mbak Raya, kamu kenal sama Pak Wali Kota?" Hah? Gima...