Aku melirik ke arah pria yang juga sedang melirik ke arahku — tanpa dosa. Di siang hari menuju sore ini, di tengah-tengah lapangan yang dipenuhi banyak orang, aku rasanya ingin menendang tulang kering Mas Arlan menggunakan tenaga dalam agar terasa sakit. Sakit hingga membuatnya mengaduh dan menghilangkan wajah tanpa dosanya dari hadapanku.
Sejak tadi pagi, aku sibuk ke sana kemari untuk membantu berbagai tim dalam menyediakan berbagai peralatan yang dibutuhkan oleh para kelompok-kelompok yang sedang melakukan praktek pertolongan pertama. Bahkan hingga waktu makan siang berlalu dan obrolan tidak jelas ku berakhir dengan Sania aku masih tetap sibuk dengan berbagai kegiatan. Namun saat tiba-tiba seruan seseorang terdengar untuk mengambil atensi orang-orang, aku menyadari bahwa sepertinya ada tamu penting yang datang. And guest, he is my big brother, Mas Arlan, a guy who come to this community with his mysterious vibes.
Dengan cepat, aku mengambil ponsel yang ada di saku celana. Mengecek apakah orang yang sedang disambut bahagia oleh orang-orang itu sempat mengirimiku pesan sebelum akhirnya muncul tiba-tiba di lokasi ini. Sangat tidak mungkin jika kedatangannya ini adalah kebetulan, pasti itu adalah hal yang sudah direncanakan. Feeling ku mengatakan bahwa ada campur tangan Mas Bian di sana. Ternyata Mas Bian bener-bener melakukan hal gila!
"Ra," suara Sania memanggil terdengar. Dia bahkan menyenggolku lenganku karena panggilannya tak aku gubris sama sekali.
"Ayo ke sana," ajaknya ketika aku menoleh.
"Ngapain?" tanyaku mengernyitkan dahi. Mempertanyakan keheranan tentang kenapa dia mengajakku ke tengah lapangan dan berdesak-desakan dengan banyak orang. Apalagi hanya untuk melihatnya, laki-laki yang bahkan selalu ku temui selama bertahun-tahun itu.
"Ya ikut ngeliat lah. Itu tentaranya cakep."
"Lo kan suka cowok cakep," ujarnya melanjutkan.
Memang tidak salah bahwa Sania menganggapku seperti itu. Aku memang cukup terang-terangan ketika mengomentari tampilan seseorang, tetapi bukan berarti bahwa aku menyukai setiap pria tampan seperti yang dia tuduhkan. Aku hanya suka memuji, dan tidak ada maksud lain di dalamnya. Kecuali mungkin padanya — sosok laki-laki asing yang belakangan ini mulai suka muncul di pikiranku. "Nggak ah, males desak-desakan gue."
Sania menggeleng. "Gak deket-deket banget kok, cuma biar bisa ngeliat wajah agak jelasnya doang."
"Anak-anak pada heboh, gue jadinya penasaran." Sania menoleh ke arah teman-teman relawan yang terlihat excited. Tentu sebagai perempuan aku tahu alasan kenapa mereka seperti itu. Namun karena objek yang menjadi penyebabnya tidak begitu menarik di mataku, aku tak bisa seantusias mereka. Toh tanpa perlu melakukan apa-apa, nanti dia juga pasti akan menemuiku.
"Lo mau gue kasih tau sesuatu gak?"
Sania terlihat bingung, tetapi kemudian mengangguk. "Apa?"
"Itu Mas gue,"
"Ha?" responnya bingung.
Mataku melirik ke arah kerumunan orang untuk memberikan sinyal pada Sania. "Itu," kali ini aku mengarahkan salah satu jari telunjukku. "Orang yang baru datang dan dikerubuti itu kakak gue. Kakak kandung gue."
"Lo serius apa bercanda?"
Aku mengangguk mengiyakan. Namun sebelum dia memberikan respon lanjutan, aku merasa bahwa ujung baju sebelah bawahku ditarik seseorang. "Kak, kakak bisa anterin aku pulang gak?" aku menemukan sepasang mata coklat jernih yang berkaca-kaca. Sembari masih menarik-narik bajuku, ekspresinya terlihat sangat berharap agar aku membantunya seperti apa yang dia pinta.
Aku melirik ke arah Sania. "Anak siapa, San?" tanyaku tanpa suara. Aku bahkan hanya menggerakkan bibir agar objek yang aku bicarakan ini tidak mendengarnya.
"Nggak tau juga gue," dia mengedikkan bahu. Namun begitu, dia langsung mendekat dan berjongkok untuk mensejajarkan diri dengan bocah kecil laki-laki yang mungkin baru berumur lima tahunan itu. "Nama kamu siapa?"
"Satria, Kak." Jawabnya pelan. Bahkan sangat pelan hingga aku hampir saja tidak mendengarnya.
Aku mengikuti apa yang dilakukan Sania, lalu memegang telapak tangannya yang terasa dingin. "Satria tadi ke sini sama siapa?" aku mengembangkan senyum agar dia tidak merasa ketakutan. Sepertinya dia adalah anak yang pemalu, meski tadi dia lah yang menjadi orang yang pertama memulai obrolan dengan kami.
Keberadaan Satria di tengah-tengah kami membuat kami lupa dengan keberadaan Mas Arlan. Aku juga tidak terlalu penasaran, dan menganggap bahwa pembicaraan kami tadi juga tidak penting sampai harus tetap dilanjutkan. Menurutku masih lebih penting mengantarkan pulang anak kecil ini yang sepertinya tertinggal di sini sendirian. "Sama ibu, Kak."
"Terus ibunya kemana?" kali ini Sania yang bersuara. Dibandingkan denganku, dia memang lebih luwes ketika berinteraksi dengan anak kecil. Aku masih terlalu kaku, sementara dia sudah pandai menempatkan diri. Mungkin karena sudah berpengalaman juga, jadi sudah tidak ada aura canggung meski harus berhubungan dengan orang baru.
"Ibu udah pulang kak, soalnya tadi dipaksa pulang sama Bapak."
Mendengar penuturan Satria, aku dibuat bingung. Bahkan Sania sepertinya juga merasakan hal yang sama, sebab secara refleks kami jadi saling berpandangan. Bapaknya jemput emaknya pulang, tapi anaknya ditinggal? terasa ada yang janggal.
"Satria ketinggalan berarti?" tanyaku. Mencoba mengulik informasi lebih dalam, meski agak tidak yakin bahwa akan mendapatkannya. Dia masih begitu kecil, dan aku tidak yakin apakah dia sudah paham dengan maksud perkataanku.
Dengan polosnya, Satria mengangguk. "Bapak memang suka begitu, Kak. Ninggalin Satria."
"Soalnya Bapak nggak suka sama Satria."
Aku dan Sania kembali berpandangan. Sepertinya ada yang aneh dari keluarga bocah ini, sebab sangat tidak rasional bahwa orang tua meninggalkan anaknya yang masih kecil di keramaian seperti ini. Sen. di. ri. an. "Satria tahu rumahnya di mana?" memilih untuk tidak melanjutkan mengorek informasi, yang bahkan belum sepenuhnya aku dapatkan, Sania sudah memotongnya dengan pertanyaan lain. Sepertinya mencari sumber masalah bisa nanti lagi, sebab yang paling utama adalah mengantarkan anak ini kembali. Wajahnya sudah menunjukkan ketidaknyamanan di tempat ini, dan kami harus segera mengantarnya pulang seperti keinginannya.
"Ingat, Kak. Cuma Satria takut kalau pulang sendiri." Jawabnya. Kali ini terlihat malu-malu, mungkin karena mengatakan bahwa dia tidak berani pulang ke rumahnya seorang diri.
Aku dan Sania tersenyum, lalu mengatakan bahwa kami akan mengantarkannya sampai ke rumah. Dia tidak perlu khawatir lagi karena ada kami berdua yang akan menemaninya kembali. Semoga keluarganya baik-baik saja, nggak seperti apa yang ada di otak gue sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Love
Chick-LitBaru saja mengucap salam, bola mata ku hampir keluar dari tempatnya. "Mas Angka?" ujarku saat melihat sesosok laki-laki yang pernah aku temui ketika dalam misi melarikan diri akibat putus cinta. "Mbak Raya, kamu kenal sama Pak Wali Kota?" Hah? Gima...