Jakarta, beberapa bulan yang lalu
Tidak ada perpisahan yang baik-baik saja.
Aku tidak mampu mendeskripsikan perasaanku saat ini, selain rasa sesak yang kian meradang selama sisa perjalanan menuju ke apartemen.
Aku berusaha menahan tangisku disepanjang jalan, berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah keputusan yang tepat. "Lo kuat Ra," ucapku pada diri sendiri. "Lo bukan perempuan lemah." Lanjutku men sugesti diri sendiri.
Suara getar ponsel di tasku kembali menyapa. Sejak perjalanan dari GI hingga apartemen, sudah tak terhitung berapa kali benda pipih persegi itu bergetar. Memang sengaja aku hiraukan, sebab sudah tau siapa yang menghubungiku itu. Arfian, laki-laki yang sudah menemaniku selama hampir empat tahun dan baru aku putuskan beberapa jam yang lalu.
Ingatanku kembali melayang ke kejadian tadi. Kejadian di mana aku akhirnya memberanikan diri — setelah beberapa hari berpikir, untuk mengkonfirmasi sebuah hal yang terjadi.
"Sejak kapan?" tanyaku dingin. Tidak menampilkan ekspresi apa pun, padahal sebenarnya aku bukan orang yang mahal dalam berekspresi.
"Kamu salah paham, Yang." Katanya terlihat khawatir.
Aku tersenyum getir. "Gue gak butuh penjelasan, Fi. Gue butuh jawaban." Meski sakit, aku tetap memaksakan diri. Aku bukan tipe perempuan yang bisa diperlakukan semena-mena. Jadi aku harus menunjukkan itu padanya.
"Gue?" gumamnya tidak percaya.
"Sejak kapan kalian bersama?" sebenarnya aku sudah muak dengannya. Sejak pertama kali mengetahui bahwa dia mengkhianati hubungan kami, aku langsung lost respect. Namun aku tidak bisa menghindar, apalagi dalam kasus ini bukan aku yang bersalah. I will stand for my self, for my responsibility, and for my right. Aku memang mencintainya — sangat, tetapi aku tidak bodoh untuk membiarkan diriku disakiti olehnya. Apalagi secara sadar.
"Gue tau kalo lo ada main sama Sandra di belakang gue." Tidak kunjung mendapat jawaban, terang-terangan aku menyebut siapa sosok yang menjadi selingkuhannya. "Gak usah ngelak karena gue punya buktinya." Sebelum dia mencari alasan, aku menegaskan bahwa aku memiliki bukti atas perselingkuhan mereka. Aku hanya butuh dia mengatakan secara jujur sebelum kami harus mengakhiri hubungan yang sudah tidak bisa diselamatkan ini.
"Aku minta maaf, Yang."
"Raya. Panggil gue Raya." Aku menginterupsi panggilannya padaku. "Lo udah gak punya hak atas panggilan itu sejak memutuskan untuk selingkuh."
"Aku minta maaf, Ra. Aku khilaf,"
Aku berdecih. "Nggak ada khilaf yang dilakukan berkali-kali, Fi. Khilaf itu cuma sekali," responku menohok.
"Gue udah gak butuh alasan. Apapun itu, gue udah gak peduli." Lanjutku. "Gue udah pernah bilang kalau bosen itu ngomong, biar kita bisa cari solusi bareng-bareng. Bukan cari pelampiasan."
"Kesalahan apa pun mungkin masih bisa gue pertimbangkan, tapi gak buat perselingkuhan."
"Makanya gue gak butuh alasan lo selingkuh. Gue cuma butuh jawaban jujur dari lo, sejak kapan perselingkuhan itu terjadi." Aku menekan diriku agar terlihat kuat. Berkali-kali aku mencoba tetap berpikir rasional agar tidak meneteskan air mata. Walau sebenarnya, hatiku sangat sakit ketika membahas topik ini.
Arfian menunduk. Mungkin sadar betul dengan apa yang aku katakan, karena berkali-kali aku selalu menegaskan bahwa aku tidak akan toleransi untuk hal yang terkait dengan perselingkuhan. "Tiga bulan,"
Aku tersenyum. Akhirnya mendapatkan jawaban dari apa yang sedari tadi aku tanyakan. "Let's break up, Fi."
Fian mendongak. Terlihat sangat jelas bahwa dia kaget dengan apa yang aku katakan. "Nggak," jawabnya.
"Aku gak mau putus, Ra."
"Tapi gue mau," jawabku.
"Apa hubungan empat tahun kita gak berarti buat kamu, Ra? aku cuma khilaf." Aku tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. Bisa-bisanya dia berujar seperti itu, saat dia lah orang yang membuat kesalahan dalam hubungan ini. "Aku beneran cuma khilaf, Ra. Aku bakal putusin Sandra."
Kali ini aku tertawa dengan penuturannya. Tentu saja bukan tawa bahagia, tetapi karena tak habis pikir dengan laki-laki yang sedang duduk di hadapanku ini. Yang bahkan setelah ketahuan selingkuh, belum juga memutuskan hubungannya dengan selingkuhannya itu. "Lo nggak malu kah ngomong kaya gitu?"
"Kayaknya bukan gue yang menganggap hubungan empat tahun kita gak berarti, tapi lo! Kalo lo anggap hubungan ini berarti, lo gak bakal mungkin selingkuh."
Aku adalah orang yang percaya bahwa selingkuh itu bukan penyakit. Sebab penyakit itu ada obatnya.
Selingkuh itu candu, dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa seseorang tidak akan melakukannya lagi meski sudah pernah ketahuan. Makannya daripada aku bertaruh untuk hal yang jelas-jelas tidak pasti, aku lebih baik mundur. Aku memang mencintainya, tapi untunglah aku masih lebih mencintai diri sendiri.
"Makasih untuk empat tahunnya, Fi. Gue gak bakal denial, karena nyatanya hubungan kita ke belakang masih lebih banyak bahagianya." Karena dia tak kunjung juga mengatakan apa pun, akhirnya aku memilih untuk kembali berbicara. "Makasih karena udah menjadi bagian dari hidup gue beberapa tahun terakhir, dan maaf karena gue gak mau lagi lo ada di bagian hidup gue di masa depan."
Selamat tinggal, Arfian!
Selamat tinggal masa lalu dan selamat datang masa depanku yang baruSiapa yang kangen sama cerita ini?
Yuk komen
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Love
ChickLitBaru saja mengucap salam, bola mata ku hampir keluar dari tempatnya. "Mas Angka?" ujarku saat melihat sesosok laki-laki yang pernah aku temui ketika dalam misi melarikan diri akibat putus cinta. "Mbak Raya, kamu kenal sama Pak Wali Kota?" Hah? Gima...