Ruangan persegi berdinding putih ini diliputi dengan keheningan. Meski ada dua pasang mata yang saling bertatapan, keduanya tidak ada yang bersuara. Membuat suasana menjadi sedikit canggung karena tidak ada yang mencoba untuk memecahkan keheningan tersebut.
"Kenapa, Mas?" akhirnya aku menyerah. Sudah tidak tahan ditatap dengan kedua bola mata coklatnya yang menawan, pada akhirnya aku menjadi pihak yang memulai obrolan. Melemparkan sebuah pertanyaan yang mempertanyakan kenapa dia sedari tadi terus menatapku — tetapi tidak mengatakan satu patah pun kata.
Mendengar pertanyaan dariku, Mas Angka tersenyum. "Masih nggak nyangka aja, Na. Ternyata beneran ada orang yang red day nya sampai harus dirawat inap di puskesmas."
Aku mendengkus. Memang yang dikatakan adalah sebuah fakta, tetapi di telingaku yang sedang sensitif ini terdengar seperti sebuah cibiran. "Jangan ngeledek deh, Mas." Responku sedikit sewot.
Bukannya meminta maaf seperti yang aku bayangkan, dia malah semakin terkekeh. "Gue gak bermaksud begitu, Na. Just still amaze aja. Soalnya baru pertama kali."
"Gue gak ada maksud apa-apa loh, ya."
"Cuma masih nggak nyangka aja. Soalnya tadi pas liat sendiri lo gitu, pikiran gue udah kemana-mana. Takut banget lo kenapa-kenapa." Lanjutnya sembari menarik kursi dan mendudukinya. Tepat di sebelah kanan ranjang yang sedang aku tempati ini.
Ini maksudnya dia khawatir gue kenapa-kenapa bukan sih?
Aku menggeleng. Meski mood ku masih kurang stabil akibat efek haid, aku harus menahan diri. Aku tidak boleh melampiaskan tingkat sensitifitasku yang sedang tinggi ini pada orang lain. "Gue emang udah biasa gitu. Sori ya karena jadinya ngerepotin lo."
Mas Angka menggeleng. "Nggak kok. Lo nggak ngerepotin."
"Namanya juga orang sakit, Na. Wajar."
"Anyway, kalau udah tau biasanya gitu, kenapa gak bilang ke Sania?"
"Gue nggak mau ngerepotin, Mas."
"Gue aja udah izin nggak ikut kegiatan, masa menyeret orang lain juga buat izin."
Tidak langsung menjawab, Mas Angka justru kembali menatap ke arahku. Membuatku mendadak dag dig dug ser — sebuah perasaan yang cukup lama sudah tak pernah aku rasakan lagi. "Lo orangnya emang begitu ya?"
Aku mengernyitkan dahi. Tidak paham dengan apa yang dia maksudnya. "Maksudnya?"
"Nggak enakan sama orang," jawabnya lugas. Sepertinya karena mendengar jawabanku sebelumnya.
To be honest, aku bukan seorang people's pleasure. But after that problem, I realized that I change. Aku menjadi tidak enakan dan sebisa mungkin tidak merepotkan orang lain. Aku tidak mau orang disekitarku merasa direpotkan atau terbebani dengan keberadaanku di antara mereka. I hate it, but the fact is it. Permasalahan dengan Arfian memang meninggalkan trauma, terutama perihal hubungan sosial ku dengan orang lain.
"Sebenernya nggak juga, Mas. Cuma lagi ngerasa tahu diri aja." Jawabku sembari terkekeh. Merasa tidak perlu mengatakan hal yang jujur karena kami tidak sedekat itu. Toh aku juga tidak berniat untuk membawanya lebih dekat karena aku sendiri belum siap untuk memulai suatu hal yang baru dengan orang lain.
Mas Angka mengangguk. Entah percaya, atau berpura-pura percaya karena melihat raut wajahku yang memperlihatkan keengganan. "How do you feel now, Na?"
"Better than before, Mas. Cuma Mas sepupu gue kekeh buat gue nginep. Jadi ya udah, nurut aja."
Sekali lagi Mas Angka mengangguk. "Bagus sih, buat make sure kalau lo udah baik-baik aja. Mending nginep dulu semalam biar bisa dipantau."
Kini aku yang terkekeh. Merasa lucu dengan jawaban yang dia berikan. "Malah kelihatan lebay gak sih, Mas? masa cuma karena nyeri red day aja sampai rawat inap."
"Jangan suka nyepelein sakit, Na. Walaupun cuma nyeri, rasanya tetep sakit kan?"
Aku mengangguk. Memang benar, meski hanya 'nyeri' tetapi tetap berhasil membuatku pingsan. Membuatku kesakitan hingga kepikiran apakah akan terjadi sesuatu yang sangat buruk padaku. "Iya, Mas."
"Kok pembahasannya jadi begini ya," aku mencoba untuk mengalihkan topik obrolan. Rasanya jika dilanjutkan, obrolan ini akan semakin serius dan tidak lagi menyenangkan.
"Anyway, thank you so much for coming here, Mas." Aku mengucapkan terima kasih atas kedatangannya menjengukku. Aku tidak menyangka bahwa di sela-sela kesibukannya itu, dia menyempatkan diri untuk menjenguk. Bahkan membawakan sekeranjang buah-buahan. Padahal tanpa menjenguk pun, aku sudah sangat berterima kasih karena dia lah orang yang menolongku di rumah Pak Amin.
"It's okay, Na."
"Sori juga ya baru bisa jenguk malam gini. Soalnya dari tadi ada hal yang harus diurus." Jelasnya singkat. Padahal sebenarnya, dia tidak punya kewajiban untuk meminta maaf atau pun menjelaskan alasan kenapa dia baru muncul di malam hari seperti ini.
"Gapapa, Mas. Santai."
"Gue malah udah bersyukur banget karena lo udah nolongin gue." Lanjutku. "Gak kebayang kalau lo nggak datang, gue mungkin masih pingsan di kamar sendirian."
"Tapi kok lo bisa datang ke sana, Mas?" aku teringat dengan fakta itu. Fakta dimana Mas Angka datang ke rumah, karena menurutku itu adalah hal yang cukup aneh.
"Kebetulan aja, Na." Ujarnya tenang. Tidak terlihat bahwa dia merasa gugup dengan pertanyaan yang diajukan. Dia bahkan terlihat santai, seolah pertanyaan ku adalah hal yang wajar untuk dipertanyakan.
"Waktu bagiin makan siang bareng Rifan, gak sengaja gue lihat Sania sendirian. She is your friend right?" aku mengangguk.
"Gue sempet nanya, lo kemana kok nggak keliatan, and she answer that you are sick. She told me that you have red day, and no one in the home except you."
"Rifan akhirnya niat mau nganter makan siang buat lo, sambil make sure keadaan lo gimana. Cuma karena dia ada kesibukan lain, akhirnya gue yang ngajuin diri buat nganter. Kebetulan gue juga gak ada aktivitas." Entah kenapa, aku sedikit sedih mendengarnya. Fakta bahwa kedatangannya hanya untuk membantu Bang Rifan sedikit menyentil ujung hatiku. Namun aku berharap apa? we are just friend, right?
Ini aneh gak sih?
Kenapa gue ngerasa sedikit sedih ya sama pengakuannya?
Apa gue emang beneran berharap lebih sama dia?
Tapi kan kita baru kenal
Please sadar, Mas Angka emang orangnya baik dari sananya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Love
Chick-LitBaru saja mengucap salam, bola mata ku hampir keluar dari tempatnya. "Mas Angka?" ujarku saat melihat sesosok laki-laki yang pernah aku temui ketika dalam misi melarikan diri akibat putus cinta. "Mbak Raya, kamu kenal sama Pak Wali Kota?" Hah? Gima...