Aku mengambil napas panjang. Setelah ber-good bye good bye ria bersama keluarga, pada akhirnya aku — merasa sedikit sedih.
Selama ini, aku belum pernah sekalipun melakukan kerja sosial. Jadi aku benar-benar tidak punya pengalaman, terlebih dalam berhubungan dengan masyarakat yang terlibat permasalahan bersama korporasi besar dan pemerintah. So, sebenarnya aku benar-benar tidak tau harus melakukan apa untuk membantu mereka nantinya.
Aku hanya datang dengan niat baik — sekaligus harapan bisa melupakan kegagalan dalam hubungan, tanpa ada persiapan yang cukup matang. Pokoknya hanya dengan modal bismillah, aku mendaftarkan diri menjadi seorang relawan untuk pertama kalinya dalam hidup.
Well, mau mengaku atau tidak sebenarnya tujuan akhir perjalananku kali ini memang adalah melupakan masalah yang belum lama ini begitu melelahkan fisik dan mental. Namun alih-alih memilih untuk liburan, aku justru dengan percaya dirinya malah melemparkan diri ke dalam salah satu lembaga swadaya masyarakat yang terfokus pada masalah di bidang agraria. Sebuah gerakan hati yang amat sangat mulia, namun sebenarnya aku tidak terlalu tahu alasan dibalik keputusan sepihakku itu.
Selesai dengan segala urusan, aku mencari nomor kursi yang tertulis di dalam tiket. Mencoba berpikiran positif bahwa teman dudukku selama perjalanan akan cukup menyenangkan untuk diajak menghabiskan waktu bersama. Meski waktu yang ditempuh tidak lama, aku memang berniat mengajak teman sebangkuku itu mengobrol agar aku tidak berakhir dengan overthinking karena tidak ada kegiatan.
"Permisi.." Ucapku pada seorang laki-laki dengan gaya SWAG nya yang sedang asik membaca buku.
Ucapanku tidak dihiraukan sama sekali, dan masih asyik membolak-balikkan buku di atas pangkuannya.
"Uhuk." Aku berdehem untuk mengalihkan atensinya dari lembar bergambar organ manusia yang sepertinya sedang dipelajarinya itu. Dan bersyukurlah karena usahaku kali ini berhasil membuat arah pandangnya sedikit bergeser ke arahku.
"Eh, sori." Ucapnya sembari memundurkan duduk agar aku dapat melewatinya dan duduk di bangkuku sendiri.
Aku tersenyum, lalu mengangguk. "Iya nggak papa." Jawabku seadanya. Sebenarnya aku cukup kesal karena responnya yang lama. Tapi karena mempertimbangkan tampangnya yang good looking, serta mengingat efek kesan pertama yang begitu penting aku terpaksa untuk menekan kekesalanku sendiri.
"Mahasiswa kedokteran ya?" aku bertanya setelah berhasil menemukan posisi duduk yang nyaman. Lalu karena belum merasa mengantuk, aku akhirnya memutuskan untuk merealisasikan rencana di awal untuk membuka obrolan dengan kaum adam tampan di samping.
Aku menoleh dan mengamati penampilannya sekilas. Dari fashionnya yang menggunakan gaya 'Style With a Little Bit Gangsta', aku meyakini bahwa sosoknya adalah lelaki yang cukup fashionable dan menarik di lingkungan pertemanannya. Dan jika tebakanku benar, sepertinya dia adalah seorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir karena tampangnya yang masih kelihatan muda. Sekaligus juga hawa di sekitar ku yang terasa seperti vibes vibes ketika duduk bersama Mas Bian yang juga seorang dokter.
Lelaki di sampingku menoleh dan menyunggingkan senyum. Damn! Little crazy smile, batinku seketika.
"Bukan," jawabnya mengkonfirmasi pertanyaanku barusan.
Alisku menyatu heran. Jika bukan seorang mahasiswa kedokteran seperti tebakanku, lalu apa? Apakah pemilik wajah shining simmering splendid ini seorang dokter sungguhan? berbagai asumsi berseliweran di dalam kepalaku seketika.
"Tapi itu ...." Aku menunjuk buku yang sedang dia bawa.
Laki-laki ini mengikuti arah pandangku. "Oh ini... punya temen di belakang. Kebetulan tadi gabut aja, jadi pinjam buku dia."
Mataku membola sempurna. Apa dia orang normal? apakah membaca buku kedokteran adalah solusi mengatasi kegabutan?
***
"Angka, Angkasa." Kalimat pertamanya setelah terkuak bahwa sosoknya adalah seorang lulusan fakultas hukum. Seorang staff kementerian yang katanya sedang ingin liburan.
Jujur aku benar-benar tidak menyangka jika laki-laki yang kelihatannya baru masuk usia kepala dua ini nyatanya malah sudah berumur 28 tahun. Wajah dan gaya berpakaiannya benar-benar tidak menunjukkan sebagai seorang laki-laki dewasa yang sudah mapan, dan membuat orang seperti ku menjadi salah paham.
Dengan kaos polos hitam pendek dan headphone yang tertempel apik di lehernya, menurutku semakin membuat orang tidak menyangka sekaligus tidak percaya bahwa dia adalah seorang yang bekerja di lingkungan pemerintahan. Bahkan jika dibandingkan dengan pekerjaan yang dia katakan, aku mungkin akan lebih percaya jika dia menjawab bahwa dia adalah seorang artis atau pun selebgram.
Aku memperhatikan uluran tangannya yang mengajakku salaman. Lalu tanpa menunggu lama, menyambut baik ajakannya berkenalan dengan mengucapkan. "Rayana, biasa dipanggil Raya."
Sosoknya mengangguk, lalu sesi bersalaman pun selesai.
Sembari menutup buku di pangkuannya, ia kembali berujar. "Mahasiswa?" tanyanya sembari menoleh ke arahku.
Jujur aku benar-benar dibuat kaget sekarang. Kenapa hanya dengan sekali lihat saja, dia langsung tau bahwa aku adalah seorang mahasiswa. Apakah gayaku terlihat sekali jika seorang mahasiswa?
"Iya."
"Mahasiswa baru?" lanjutnya mengonfirmasi.
Waduh! Apakah wajahku masih terlihat menggemaskan ya? pikir ku begitu percaya diri. "Iya, beberapa tahun lalu."
"Eh.. " Aku tersenyum menanggapinya yang kini terlihat kaget.
"Mahasiswa kedokteran?" timpalnya dengan ragu. Mungkin karena sebelumnya aku melemparkan pertanyaan yang sama, dia mengira bahwa aku adalah seorang mahasiswa kedokteran juga.
Walah — apa sekarang aku terlihat seperti orang pintar?
Kuliah di komunikasi saja aku engap-engapan, malah dikira kuliah di kedokteran.
"Salah lagi ya?" ucapnya sembari menggaruk tengkuknya. Entah karena apa.
Aku mengulum bibirku ke dalam. Berusaha menahan senyum dari tingkah lakunya yang menggemaskan. "Kalo gue jawab benar, percaya nggak?" dia mengangguk ragu.
Aku menggeleng. Semakin tidak percaya dengan tebakannya terhadap diriku, serta seberapa polosnya dia. Ternyata ada mas-mas yang kerja di kementerian yang cukup lucu — batinku merasa gemas.
"Bukan. Tampang gini mah nggak mungkin jadi dokter." Jelasku untuk menjawab kebingungannya. Pasalnya aku memang tidak begitu ahli dalam dunia per-IPA an. Jadi alih-alih menjadi dokter, aku bahkan dulu mati-matian mencari jurusan anak IPS yang menerima dari peminatan IPA di SMA-nya.
"Jadi?" ucapnya yang sedikit terjeda.
"Mahasiswa komunikasi tingkat akhir, Mas. Masih skripsian."

KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Love
Literatura FemininaBaru saja mengucap salam, bola mata ku hampir keluar dari tempatnya. "Mas Angka?" ujarku saat melihat sesosok laki-laki yang pernah aku temui ketika dalam misi melarikan diri akibat putus cinta. "Mbak Raya, kamu kenal sama Pak Wali Kota?" Hah? Gima...