Berfikir itu sulit, itulah sebabnya kebanyakan orang menilai
- Carl G. Jung -
"Gue minta tolong banget ya, Fan." Mas Angka mengakhiri pembicaraan kami — tepatnya aku, Sania, Bang Rifan, dan dirinya sendiri, dengan menekankan kata permintaan tolong pada sang ketua komunitas.
Setelah berbicara mengenai kasus kedua orang tua Satria, pada akhinya kami sepakat untuk menyerahkan kasus ini pada komunitas dengan melalui Bang Satria. Selain karena Mas Angka yang memang sudah harus kembali ke ibu kota dan melanjutkan kewajibannya, aku dan Sania juga tidak cukup mampu untuk menyelesaikan urusan yang cukup rumit tersebut.
Satu-satunya harapan kami hanya Bang Rifan, yang memang masih akan stay di desa jauh lebih lama dibandingkan kami. Aku sangat berharap dia mampu menyadarkan Ibunya Satria bahwa pilihannya untuk terus bertahan dengan hubungan toxic-nya bukan lah pilihan terbaik. Beliau masih punya banyak pilihan yang jauh lebih baik, dan sudah saat nya untuk mengambil pilihan tersebut.
"Aman, nanti gue obrolin dulu sama anak-anak," kami semua mengangguk, dan itu adalah akhir dari pembicaraan serius kami sejak hampir satu jam yang lalu.
"Gue duluan ya," ini adalah kalimat pamit yang dilontarkan Sania. Meninggalkan aku dan Mas Angka yang masih berdiri di tempat yang sama karena Bang Rifan sudah meninggalkan kami lebih dulu.
Suasana di sekitar kami mendadak berubah. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba ada perasaan canggung yang menyeruak. Padahal sebelumnya kami selalu bersikap santai.
"Na," panggilnya pelan.
Aku menoleh dan menatapnya. "Kenapa, Mas?" dahiku mengernyit heran.
"Thanks ya," ucapnya tiba-tiba. Membuatku heran karena dia belum memberikan konteks pada ucapan terima kasih yang dia berikan.
"For? I didn't do anything, Mas." Jawabku sembari terkekeh.
Mas Angka ikut menyunggingkan senyum. Meski sangat tipis, pipinya yang membentuk lekukan itu tetap bisa tertangkap oleh kedua inderaku. "To be one of my good friend while I was here."
"I really happy to know you, and spent a great time with you too."
"Is this a farewell?" mendengar kalimatnya, sudah seperti ini akan menjadi pertemuan terakhir kami. Padahal kami datang dari kota yang sama, dan akan sangat mungkin untuk bertemu kembali. Namun untuk urusan apa? apakah dia akan mau meluangkan waktunya?
"Maybe, we don't know the future, right?"
"Kok gue mendadak sedih ya, Mas?" akuku. Toh seperti yang dia katakan, kami mungkin tidak akan bertemu kembali. Jadi tidak ada salahnya untuk terbuka dengan perasaanku. "Kesannya kaya ini bakal jadi our last meet aja."
"Semoga nggak," ujarnya. Membuatku yang sudah tidak menatapnya kembali untuk menatapnya, lagi. "Gue harap kita masih bisa ketemu lagi pas di Jakarta."
Aku mengangguk. "Ya, semoga semesta mengamini, Mas." Hubungan kami tidak begitu jelas, jadi aku juga bingung bagaimana harus meresponnya. Namun jika sebagai teman seperti apa yang dia katakan, tidak ada salahnya untuk berharap agar kami dipertemukan kembali untuk memperpanjang tali silaturahmi.
"Lo beneran balik sore ini?" dia mengangguk.
"Flight-nya jam empat."
Aku mengangguk. Sedih? entahlah. "Safe flight ya, Mas."
Tentu itu bukan hanya sekedar basa basi semata, tetapi aku memang mengharapkan keselamatannya.
Aku memandang Mas Angka yang juga menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Lalu setelah beberapa saat kami terdiam, pada akhirnya aku menjadi pihak yang memutuskan pandangan lebih dulu. "Gue duluan ya, Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Love
ChickLitBaru saja mengucap salam, bola mata ku hampir keluar dari tempatnya. "Mas Angka?" ujarku saat melihat sesosok laki-laki yang pernah aku temui ketika dalam misi melarikan diri akibat putus cinta. "Mbak Raya, kamu kenal sama Pak Wali Kota?" Hah? Gima...