The Second Time

1.7K 186 16
                                    

Aku merenggangkan tubuhku ke kanan dan ke kiri. Udara pagi hari pedesaan benar-benar menyenangkan - apalagi untukku yang terbiasa terpapar sinar matahari dan polusi yang begitu tebal.

Aku mengangkat lutut kanan ke atas, sedikit peregangan karena semalam tidak bisa tidur hingga larut malam. Sepertinya sedikit kaget tinggal di tempat baru sehingga membutuhkan lebih lama waktu untuk beradaptasi.

Namun sisi baiknya, aku jadi bisa menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan Sania. Kebetulan dia seperti gen z pada umumnya, yang menyukai begadang walau sebenarnya tidak punya kegiatan penting yang mesti dilakukan. Of course meski dia tidak terkena gangguan insomnia, tetapi memang sudah menjadi kebiasaannya untuk tidur ketika waktu sudah mendekati, atau bahkan setelah lewat tengah malam.

Fyi, menurut informasi yang aku dapatkan dari Sania, kami tidak akan tinggal di sini lama. Tidak sebulan seperti perkiraan ku, tetapi hanya seminggu karena posisi kami yang hanyalah relawan pembantu. Aku, dia, dan beberapa anak lain yang bukan anggota komunitas hanya diberi kesempatan seminggu untuk mengikuti semua aktivitas yang ada sini. Membangun hubungan baik dengan masyarakat, melihat potensi lokal yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, lalu mengajar anak-anak kecil setelah mereka pulang dari sekolah.

Aku menarik napas dalam dan memasukkan sebanyak mungkin oksigen ke rongga paru. Memaksimalkan udara yang didapat mumpung sedang berada di sebuah wilayah yang begitu asri.

Pada dasarnya desa yang aku tinggali ini tidak terlalu terpencil. Meski berada di pinggiran, orang-orangnya tidak terlalu tertinggal zaman. Namun jika dibandingkan dengan lingkunganku selama ini, memang perbedaanya akan amat terasa.

Anyway, sebenarnya semalam aku sudah bertanya nama desanya pada Sania. Namun karena aku punya sedikit love hate relationship dengan short term memory jadi sekarang aku lupa lagi nama desa yang seminggu ke depan akan menjadi tempat tinggal ku.

"San," aku memanggil Sania yang juga sedang peregangan sepertiku.

"Kenapa, Ra?" jawabnya tanpa berhenti menggerakkan bagian-bagian tubuhnya.

"Nama komunitas kita apa?" tanyaku pelan. Takut ketahuan orang lain jika aku tidak tau perkumpulan macam apa yang sebenarnya sedang aku ikuti.

Sania menoleh ke arahku dan menaikan kedua alis. "Seriusan lo nanya itu?" aku mengangguk. "Lah kocak!" Responnya aneh.

"Lah lo bukannya daftar dari awal? kan ada tesnya."

Aku menggeleng. Sepertinya harus mengakui bahwa aku menjadi relawan dengan jalur nepotisme. Bukan karena lolos seleksi berkas atau pun wawancara seperti pada umumnya.

"Gue masuk jalur langit, San."

"Anjir! Beneran ternyata ...." Dia tidak terlihat kaget dengan pernyataan yang aku lontarkan.

"Lo gak kaget?" dia menggeleng.

"Gue udah nebak sih dari awal. Soalnya lo dateng terakhiran, dan nama lo juga gak ada di daftar full funded atau pun self funded."

Aku meringis mendengar penuturannya. Aku memang mengeluarkan biaya sendiri - maksudnya dengan sebagian besar dari sokongan papa, karena pemikiran untuk melakukan kerja sosial memang baru datang sebulan terakhir sejak terjadi insiden tidak mengenakan dalam kehidupanku. "Jangan-jangan orang di sini pada tau kalo gue masuk lewat jalur dalam ya, San?"

"Gue ngerasa mereka agak beda kalo liat gue." Lanjutku menambahkan. Sementara orang yang ku ajak ngobrol hanya mengendikkan bahu.

"Perasaan lo aja kali, Ra. Sebenernya selain lo, ada beberapa cowok juga kok yang tiba-tiba join. Cuma katanya mereka orang-orang yang dulu ikut ngebentuk SEC."

Aku mengerutkan dahi. "SEC?"

Sania menatapku tidak percaya. "Lo beneran gatau?" aku mengangguk.

"Walah-walah, parah banget lo, Ra. SEC itu nama komunitas kita, Social education community."

"OOO," aku mengangguk mengerti. Dari kepanjangannya, sepertinya SEC ini adalah sebuah organisasi yang bergerak untuk membantu warga desa agar lebih sejahtera dan mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik.

Sebuah komunitas yang mungkin terbentuk karena orang-orang di dalamnya begitu tertarik membuat kegiatan sosial dan pendidikan untuk warga desa di seluruh Indonesia.

"Jadi fokus mereka tentang literasi sama edukasi, Ra. Belajar bersama warga setempat, jadi bagian dari mereka juga." Lagi-lagi aku hanya mengangguk.

"Tapi siapa pun boleh ikutan, San?" aku cukup penasaran dengan ini. Meski kuliah di ilmu komunikasi, pada dasarnya aku belum pernah berinteraksi intens dengan masyarakat. Selama ini aku selalu bekerja di balik layar, dan belum berpengalaman dalam urusan menjalin hubungan dengan masyarakat - terutama warga desa seperti yang akan aku lakukan seminggu ke depan.

Sania mengangguk. "Yup, semuanya. Bahkan lo gak punya background studi pedagogi pun gak masalah. Asal lo udah 18 tahun dan lolos seleksi - kalau misalnya mau dibiayai komunitas, ya lo bisa ikutan."

"Selain ngajar anak-anak, katanya mereka juga ngajar kelas parenting dan creative teaching yang sampe ngundang pembicara." Kata Sania lagi. "Kelas parenting ditujukan kepada orang tua di desa, sementara kelas creative teaching ditujukan buat para guru agar cari metode belajar mengajar yang menyenangkan."

Kulihat Sania menggerakkan tangannya ke samping kiri. Masih berbicara, tapi tak mau menghentikan pemanasan yang dia lakukan. "Nah kalo kaya kita, biasanya ngisi kelas inspirasi yang ditujukan buat para siswa sekolah dasar."

"Kelas yang ini biasanya diisi sukarelawan mahasiswa yang memperagakan pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan oleh program studi tempatnya belajar. Harapannya, anak-anak bisa dapet pengalaman berinteraksi dengan orang dengan profesi yang berbeda dari yang biasa mereka lihat. Kaya lo di ilkom, gue di psikologi."

Aku mengangguk. Mendengarkan penjelasan Sania yang sudah seperti juru bicara komunitas. Padahal jika mau menilik, statusnya sama sepertiku. Hanya seorang relawan yang akan tinggal dan menetap selama seminggu saja.

"Tapi ya, San. Setau gue biasanya kegiatan ginian cuma buat anak-anak. Kok ini sampe nyasar ke orang tua sama guru juga?" tanyaku heran.

"Gue baca di postingan Instagram sih, Ra. Jadi gatau ya ini beneran apa nggak." Dia memberitahu bahwa informasi yang akan diberikannya ini belum tervalidasi. "Menurut mereka yang butuh pendidikan nggak cuma siswa aja, tetapi juga orang tua dan guru. Mereka berperan penting dalam pendidikan anak-anak. Jadi kalau yang diajar cuma siswa saja jadi kurang optimal,"

Jujur aku tidak pernah menyangka jika mengobrol santai di pagi hari bersama Sania akan menambah insight ku sebanyak ini. Darinya, aku jadi tahu banyak hal tentang SEC - termasuk kemungkinan paling mendekati fakta tentang apa yang akan aku lakukan di waktu-waktu mendatang.

"Oh iya, Ra. Gue punya kabar bagus." Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Sania menepuk pundak ku. "Lo harus tau kalo cowok-cowok yang datengnya belakangan, yang tadi sempet gue bilang kalo mereka orang-orang yang bangun SEC itu cakep-cakep semua."

Mataku berkedip tidak percaya. Bukan karena sosok yang dikatakannya tampan, tetapi karena kaget dengan perubahan topik obrolan kami yang tiba-tiba terlalu jauh berbeda.

Belum juga aku menanggapi, suara panggilan dari seseorang berhasil menginterupsi. "Rayana?"

Enaknya update setiap hari apa ya?
Jangan lupa komen ya biar aku lebih semangat buat nulis 😊

Terima kasih ❤️

Coffee LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang