"San, ntar gue izinin ya..." Sembari meletakkan handuk di gantungan, aku memberitahu Sania. Aku tidak bisa mengikuti kegiatan di hari ketiga ini karena mengalami red day - dan sedari pagi perutku sudah tidak enak. Aku tidak mau memaksakan diri, karena mungkin jatuhnya malah akan merepotkan yang lain.
Sania yang sedang memoleskan liptint di bibirnya menoleh. "Masih sakit?" tanyanya. Sepertinya melihat tanganku yang berada di perut. Kebetulan memang rasa karamnya kembali.
Aku mengangguk. "Lumayan." Jawabku. Lalu berjalan menuju ke ranjang untuk rebahan. "Udah gak sesakit tadi sih, tapi masih berasa keramnya."
"Nanti tolong bilangin semuanya ya, gue minta maaf." Sebenarnya aku sangat tidak enak untuk izin. Apalagi mengingat waktuku di sini cuma seminggu, rasa tidak enakku pun semakin besar. Namun mau bagaimana lagi, sekali lagi aku juga tak mau memaksakan diri. Sudah menjadi kebiasaan di hari pertama perutku memang terasa sakit. Badanku juga lemah, jadi tak memungkinkan juga untuk melakukan aktivitas out dor sepanjang hari.
"Nggak papa, Ra. Ntar gue bilangin ke anak-anak yang lain."
"Tapi lo beneran gapapa ditinggal sendiri?" dia terlihat tidak yakin.
"Gapapa kok, cuma efek hari pertama aja." Jawabku menyakinkan. "Ntar dibawa istirahat juga sembuh sendiri," meski tak yakin, aku berusaha terlihat meyakinkan. Setidaknya dihadapannya. Pasalnya pernah beberapa kali, sakit perut yang aku alami ketika datang bulan sampai membuatku harus dibawa ke rumah sakit. Namun untuk kali ini aku yakin tidak akan mengalaminya. Setidaknya jika aku tidak bisa membantu, aku tak akan merepotkan yang lain kan?
"Udah sana berangkat, udah siang. Ntar lo telat."
"Ini seriusan?"
Aku mengangguk. "Iya, santai. Ntar kalau ada apa-apa gue pasti ngehubungin lo kok." Untuk semakin meyakinkannya, aku memberitahu akan menghubunginya apabila membutuhkan bantuan. Untunglah hal ini manjur. Dengan tatapan tak teganya, akhirnya dia mau pergi.
***
Entah untuk ke berapa kalinya, aku melenguh pelan. Wajah ku sudah penuh keringat karena menahan rasa sakit, sementara badanku sudah meringkuk di atas kasur karena rasa sakit periode yang aku alami terasa semakin meningkat.
"Kenapa sih?" keluhku pada diri sendiri.
Meski aku sudah mengatakan untuk menghubungi Sania ketika terjadi sesuatu, nyatanya hal itu tak bisa aku lakukan. Tadi sewaktu aku merasa agak enakan, aku men charger ponsel di ruang tengah karena di kamar tidak ada stopkontak. Hal ini lah yang aku sesali, sebab di kondisiku yang seperti ini aku tak bisa beranjak untuk mengambil alat komunikasi tersebut. Mau tidak mau, aku harus menahan rasa sakit sendirian sebab untuk sekedar bangkit dari ranjang saja aku sudah tak memiliki tenaga.
Samar-samar aku dengar suara seseorang mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Namun tidak ada yang bisa aku lakukan, sebab ke ruang tengah saja aku tidak bisa. Apalagi sampai depan untuk sekedar membukakan pintu. Sepertinya memang belum ada yang pulang, batinku. Dalam hati juga meminta maaf karena tidak bisa merespon tamu yang datang.
"Rayana ..." Aku tidak tahu ini nyata atau hanya halusinasi saja. Tepat beberapa saat setelah suara ketukan pintu itu menghilang, aku mendengar suara seseorang yang memanggil-manggil namaku. Namun siapa? Pak Amin dan istrinya sedang pergi ke ladang untuk mengurus tanaman-tanamannya, sedangkan Sania sedang mengikuti kegiatan di lapangan desa.
"Rayana, di mana?" aku berusaha untuk menjawab. Meski tidak tahu bagaimana orang tersebut bisa masuk ke rumah ini, aku tidak lagi memedulikannya. Aku malah bersyukur karena setidaknya bisa meminta tolong.
"Gue di kamar," dengan suara yang sangat pelan aku menjawab. Sepertinya tidak akan terdengar karena suaraku yang sangat lemah. Namun beruntungnya, suara yang memanggil-manggil terdengar semakin dekat. Entah karena mendengar suaraku yang lemah itu, atau karena memang rumah ini tidak begitu besar sehingga suaranya semakin dekat.
"Rayana, lo di dalem?" kali ini suaranya tepat berada di balik pintu kamar yang aku tempati.
"Tolong bukain pintu ya. Gue bawa makan siang buat lo." Sepertinya ini sudah lewat tengah hari, karena orang yang berada di balik pintu mengatakan membawa makan siangku.
Siapa? suaranya kaya familiar?
"Lo gak papa, kan?" suara ketukan pintunya semakin menuntut, sementara panggilannya terdengar penuh dengan kekhawatiran.
"Kata Sania lo lagi sakit, lo gapapa? bisa denger gue?" sebenernya aku sudah memberikan jawaban, tetapi orang yang ada di luar pasti tidak mendengarnya.
Please masuk aja. Pintunya gak gue kunci.
"Gue izin masuk ya?" dan beberapa detik setelahnya, aku mendengar suara knop pintu yang didorong. Lalu dilanjutkan dengan panggilan seseorang padaku - yang terdengar seperti teriakan orang kaget, dan diikuti suara langkah kaki yang berjalan mendekat.
"Hei, lo gapapa?" usapan pelan di pipiku berhasil membuat mataku yang terpejam karena menahan sakit terbuka. Samar-samar aku melihat siluet seorang laki-laki, dan kemudian kedua sudut bibirku tertarik, sebelum akhirnya mataku kembali terpejam. Aku pingsan.
Kalian suka sakit perut juga gak kalau datang bulan?
Kalau iya, biasanya pake apa buat ngeredainnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Love
ChickLitBaru saja mengucap salam, bola mata ku hampir keluar dari tempatnya. "Mas Angka?" ujarku saat melihat sesosok laki-laki yang pernah aku temui ketika dalam misi melarikan diri akibat putus cinta. "Mbak Raya, kamu kenal sama Pak Wali Kota?" Hah? Gima...