Pelan-pelan mataku mulai terbuka. Lalu menutupnya perlahan untuk menyesuaikan cahaya yang masuk, sebelum akhirnya kembali terbuka dengan sempurna. Samar-samar aku dengar suara beberapa orang yang sedang mengobrol. Tidak jelas apa yang sedang menjadi topik pembicaraannya, tetapi sepertinya ada tiga sampai empat orang yang terlibat dalam obrolan tersebut.
Aku menoleh ke arah samping. Tepat di samping ranjang tempatku beristirahat, kulihat Sania, Bang Rifan, dan juga Mas Bian. Kenapa Mas Bian tiba-tiba ada di sini?
"Ra, lo udah sadar?" Sania menjadi orang pertama yang menyadari aku sudah bangun. Ketiganya pun langsung berjalan mendekat ke arah ranjang, sementara Mas Bian langsung menggoyang-goyangkan badanku pelan.
"Kenapa sih, Mas?" tanyaku atas perbuatan yang dia lakukan. Pasalnya bukannya diam, dia malah membuatku tidak nyaman.
"Lo gapapa kan?" tanyanya khawatir. "Ada yang sakit gak?"
Aku menggeleng. "Nggak kok." Memang benar bahwa sudah tidak ada lagi rasa sakit yang aku rasakan. Sepertinya efek nyeri haidku sudah berakhir sehingga keadaanku sudah baik-baik saja. Kembali seperti sedia kala.
"Gue khawatir banget tau pas denger kabar kalau lo di puskesmas." Kalimat yang terlontar dari Sania membuatku mengernyitkan dahi. Kalau dia kaget dengan kabarku yang masuk puskesmas, lalu siapa yang menemukanku tergeletak di rumah?
"Maksudnya bukan lo yang bawa gue ke sini?" tanyaku heran.
Sania menggeleng. "Mas Angka yang bawa lo ke puskesmas."
Hah?
Kenapa tiba-tiba jadi Mas Angka?
Lalu jika beneran dia, ke mana orangnya sekarang?"Udah gak usah mikirin siapa yang bawa lo ke sini. Yang penting lo sekarang udah baik-baik aja."
Aku menoleh ke arah Mas Bian dan cemberut. Masku yang satu ini memang super protektif, padahal aku masuk puskesmas bukan karena sakit.
"Gue gak apa-apa kali, Mas. Lagian udah biasa kaya gini."
"Sekarang gue juga udah bisa balik. Aktivitas kaya biasanya." Lanjutku terlihat kuat.
"Udah istirahat dulu, R) a." Bang Rifan yang sedari tadi diam, kini bersuara. Sebagai seorang ketua komunitas, dia pasti merasa bertanggung jawab atas diriku yang tiba-tiba masuk rumah sakit. Padahal itu bukan salahnya, karena rasa sakitku adalah karena tamu bulanan. Istilahnya emang sudah langganan aja!
"Gue gapapa, Bang. Maaf ya jadi ngerepotin." Setelah ku ingat bahwa Bang Rifan adalah temannya Mas Bian, aku mulai paham kenapa orang yang satu itu bisa berada di sini. Pasti Bang Rifan lah yang menghubunginya.
Bang Rifan tersenyum. "Nggak papa, santai aja. Semua kegiatan juga udah ke handle kok. Jadi lo gak perlu khawatir." Sepertinya dia menangkap kegelisahan pada wajahku. Tentunya sebagai orang baru, aku khawatir bahwa sakitku akan menganggu jalannya acara. Apalagi dengan keberadaan ketua komunitas yang ada di sini, tentu saja aku takut kalau kegiatan di lapangan menjadi terganggu.
"Karena lo udah sadar, gue izin pamit dulu ya."
Aku mengangguk. "Iya, Bang. Makasih banyak ya." Jawabku sembari melirik Sania. Mengirimkan signal untuk menanyakan apakah dia akan stay atau kembali ke desa.
"Gue balik juga ya. Tapi ntar sorean gue balik lagi ke sini." Seolah paham dengan kontak mataku, dia langsung menjawab. Menjelaskan bahwa dia akan pulang ke desa terlebih dahulu, tetapi akan kembali lagi ke sini.
"Ngapain? gue kan gak nginep."
"Nginep." Suara bariton dari sebelah kananku terdengar. "Lo harus nginep, Dek. Orang masih lemes gitu."
"Gue udah gapapa, Mas."
"Nginep atau gue telfon mama lo." Ancamnya yang langsung membuatku diam. Bagaimana pun aku tidak mau membuat orang rumah khawatir, apalagi untuk perkara yang sebenarnya remeh temeh seperti ini.
"Kita balik dulu ya, Ra." Sepertinya Bang Rifan dan Sania menyadari perubahan atmosfer di ruangan ini. Dibandingkan menyaksikan kami yang mungkin saja akan bertengkar, mereka berdua justru memilih untuk segera undur diri.
"Thanks ya, Fan. Ntar gue kabarin buat kelanjutannya." Respon Mas Bian. Sedangkan aku hanya mengangguk dan tersenyum, lalu mengikuti langkah kaki keduanya yang perlahan ke luar dari ruangan.
"Alay banget sih lo, Mas." Kataku ketika tinggal kami berdua yang ada di ruangan puskesmas ini.
"Alay-alay ini, gue yang paling gercep soal lo." Meski enggan, perkataannya memang benar. Jika tak ada dia, aku tidak tahu harus meminta tolong pada siapa. Meski Sania atau teman yang lain akan suka rela membantu, tetap saja aku merasa sungkan.
"Mas Angka ke mana, Mas?" tiba-tiba aku kepikiran dengan orang yang menolongku. Ternyata semua ingatanku sebelum pingsan bukan halusinasi, sebab memang dialah orang yang terakhir aku lihat sebelum kehilangan kesadaran.
"Angka?" tanyanya mengulang.
"Yang bawa gue ke sini," jelasku singkat.
Mas Bian mengangguk-angguk. "Balik, katanya tadi masih ada urusan."
"Tapi lo sempat ketemu?" lagi-lagi dia mengangguk.
"Iya. Sempet ngobrol juga, sama ngucapin terima kasih karena udah nolongin lo."
Aku mengangguk. Meski kecewa, aku juga tidak bisa melakukan apa-apa. Harusnya malah aku bersyukur, sebab dia sudah menolongku. Aku tidak tahu akan seperti apa nasibku kalau tidak ditemukannya.
Ntar kalau udah sehat, gue ucapin makasih secara pribadi deh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Love
ChickLitBaru saja mengucap salam, bola mata ku hampir keluar dari tempatnya. "Mas Angka?" ujarku saat melihat sesosok laki-laki yang pernah aku temui ketika dalam misi melarikan diri akibat putus cinta. "Mbak Raya, kamu kenal sama Pak Wali Kota?" Hah? Gima...